Episode 9 : Dicekam Rasa Takut, Sedih, dan Gelisah
Spontan, Laesti menggoyangkan kepalanya keras-keras, mencoba untuk menghalau hal buruk yang dilihatnya. Gerakan yang sebetulnya tidak direncanakannya.
Tak terhindar, dia terbingung-bingung.
Apakah aku berhalusinasi barusan? Mengapa aku menjadi tak tenang karenanya? Ini sejak kapan? Sejak..., tadi malam? Ataukah sudah beberapa hari sebetulnya hanya saja kurang aku sadari? Apa artinya ini? Semula aku pikir kemungkinan ada hubungannya dengan rasa takutku bahwa akan terjadi sesuatu hal yang buruk terhadap Adikku. Tapi sekarang jadi bias buatku. Aku merasa seperti sedang diperingatkan, ditakut-takuti, diganggu, dirusak ketentraman hatiku. Aku merasa ada yang memantau pergerakanku, memata-matai aku. Apakah aku terlalu lelah belakangan ini? Ataukah memang aku kurang berdoa dan kurang konsentrasi saja belakangan ini, karena sibuk mengkhawatirkan Adikku dan kurang ikhlas melepasnya ke pengelaman bekerja kantoran yang pertama kalinya? Pekerjaan yang kurang ideal di mataku? Atau apa?
Berbagai pertanyaan yang tak terjawab memenuhi kepala Laesti, datang bertubi-tubi.
Dia menatap kembali ke arah kaca spion walau masih ada sedikit rasa takut bahwa dirinya akan melihat penampakkan yang serupa di sana.
Laesti bahkan melakukan gerakan super lambat bagai gerakan di film, seolah hendak mengulur waktu, memberikan cukup kesempatan pada apa pun itu, untuk pergi jauh-jauh dan tidak mengintidimidasi dirinya lagi. Ini berdasarkan pengalaman di kantor tadi, di mana Sang Teror pergi setelah beberapa saat.
Tindakannya ternyata berhasil.
Sudah tak ada lagi bayangan Sosok gelap yang tadi terlihat olehnya di sana.
Sosok gelap dengan tatapan mata yang tajam dan penuh pesan ancaman. Tida bedanya dengan teror yang dilancarkan dengan kejam kepadanya.
Semua tampak normal saja. Tidak ada yang mencurigakan di sana. Tidak ada yang aneh. Bak tidak pernah terjadi apa-apa, malahan!
Hanya ada dinding parkiran yang tercermin di kaca spion.
Laesti menarik napas panjang, menahannya sekian detik sebelum mengembuskannya dengan amat sangat perlahan.
Apa aku ini darah rendah? Atau memang karena hari ini aku kurang makan? Ya, tadi sore juga aku menolak sewaktu Delia menawariku untuk membeli ketopraknya Bu Ijah. Tapi kalau memang karena aku terlambat makan, mengapa jantungku juga seperti bekerja lebih keras dari biasanya? Ini kenapa sih? Aduh! Aku pusing sendiri jadinya. Dan mengapa aku merasa sangat gelisah begini? Dan sekarang aku merasa sedih sekali, seperti halnya tadi. Aku juga takut sekali. Seakan-akan aku bakal mengalami kejadian yang akan membuat aku sangat sedih dan kehilangan. Aduh jangan sampai! Aku harus melawan semua ini. Ditinggal pergi sama Kedua Orangtuaku saja sudah merupakan pukulan dan kehilangan besar bagiku. Jangan sampai aku kehilangan apa pun lagi. Oh Tuhan, tolong aku! Ratap Laesti dalam diamnya.
“Dipakai dong, safety belt-nya. Atau, mau aku pakaian?” perkataan lembut Nanang mengejutkannya.
Laesti agak kaget.
“Oh, ya, nggak usah. Maaf Mas, kelupaan,”ucap Laesti pelan.
“Kamu ngelamun? Banyak pekerjaan banget hari ini ya?” tanya Nanang.
Baru saja Laesti akan menjawab “TIDAK”, perutnya sudah telanjur berbunyi duluan.
Nanang terheran.
“Kamu lapar, Sayang? Astaga. Kalau begitu apa kita ke Mal Orchid saja, supaya kamu bisa makan dulu?” tanya Nanang dengan khawatir.
“Nggak, nggak. Nggak usah Mas. Ini, tadi Delia membelikan aku banyak makanan basah yang belum sempat aku sentuh Mas, dan dimasukin ke kotak makanan sama dia,” kata Laesti sambil menunjukkan kotak makanan dari dalam tasnya.
Nanang tertawa.
“Yakin, kamu kenyang cuma makan itu?”
Laesti mengangguk.
“Ya sudah, kamu makan dulu deh. Kalau kamu milih kemejanya nggak lama, tentunya kamu ngak akan pingsan kaena lapar ya,” kata Nanang.
“Enggak akan lama Mas. Kan pakaian kerja Cowok tuh paling modelnya ya begitu saja. Aku tinggal pilih tiga warna atau tiga corak berbeda. Fahri itu nggak pernah rewel kok kalau perkara penampilan. Asalkan rapi, itu sudah membuat dia nyaman.”
“Nanti aku bantu mencarikan.”
“Terima kasih, Mas.”
*
Kendaraan yang dikemudikan oleh Nanang melaju dengan kecepatan sedang di atas jalan beraspal menuju rumah Laesti.
Laesti menoleh sesaat ke arah jok tengah.
Seakan-akan, dia hendak memastikan semua yang dia beli di mal tadi terbawa semua.
Padahal sejatinya, dia tengah mengusir rasa gelisah yang kembali mengusiknya, seiring dengan ingatannya akan apa yang dialaminya selama di dalam Mal tadi.
Tadi itu, ada saat-saat dimana dia merasa kehilangan fokus secara mendadak. Dan lucunya, hal itu seperti di luar kendalinya. Untung saja, Nanang tidak sempat memergokinya karena seang ke toilet atau sedang membantu memilihkan kemeja yang dianggapnya cocok untuk Fahri.
Laesti mengingat-ingat.
Setidaknya tiga kali aku merasa seperti kehilangan konsentrasi. Untung saja Mas Nanang pas berada agak jauh dari aku jadi dia nggak khawatir. Pertama, saat Mbak Penjaganya mengambilkan dua buah kemeja ke aku dan mempersilakan aku memilih. Setelah itu, sewaktu aku memerhatikan Mbak Penjaganya melipat kembali kemeja yang tak jadi aku pilih. Lalu terakhir, hanya beberapa saat setelah Mas Nanang yang telah membayar semua pakaian buat Fahri, meninggalkanku sebentar untuk ke kamar kecil. Aku sempat terbengong sampai ada Seseorang yang hampir menabrakku, batin Laesti.
Dia sendiri merasa aneh. Tadi itu setiap kali hilang fokus, dia merasa keadaan sekitarnya seolah berhenti, hanya dirinya saja yang hidup dan bergerak. Dia sampai curiga jangan-jangan dirinya mengalami dehidrasi sehingga pikirannya melantur.
Sayangnya ‘gangguan’ yang terjadi bukan sebatas itu.
Laesti juga merasa seolah ada yang mengikuti dan mengintai dirinya, tetapi setiap kali dia mencuri kesempatan untuk menoleh dengan gerakan super halus agar tak menerbitkan rasa curiga kepada Nanang, tidak ada Seorang pun yang patut dia curigai di belakang sana.
Dia berusaha keras meredakan perasaannya yang bagai bergelombang.
Tidak selalu berhasil.
Karena setiap kali dia hampir berhasil mengalihkan keresahan yang berkumpul itu, perasaan lain seperti bersekongkol menghajarnya. Ada rasa bingung, ada rasa takut, lalu rasa sepi yang disambung dengan rasa sedih. Semua datang silih berganti.
Kenapa aku ini? Kalau aku diamkan terus, lama-lama aku bisa gila. Tapi kalau aku ceritakan ke Mas Nanang, kaasihan dia, takutnya jadi kepikiran. Ah, sepertinya memang aku harus menyibukkan diri terus supaya nggak sempat diintimidasi lagi. Sepertinya aku harus lebih mendekatkan diriku kepada Sang Pencipta, bisik Laesti dalam diam.
Berpikir macam itu, Laesti menatapi hasil buruan mereka sore hari ini.
Dari satu buah kemeja lengan pendek berwarna kuning polos, satu buah kemeja lengan pajang bergaris dengan warna dominan biru tua dan biru muda, kemeja lengan panjang berwarna merah marun tanpa corak, serta celana panjang yang masing-masing berwarna hitam dan coklat, semua sudah terbungkus rapi di dalam sebuah tas berlabel departemen store terkenal. Nanang tadi dengan setengah memaksa, membayari semuanya.
Laesti tak dapat menolak.
Akhirnya, dia berganti peran.
Dia sendiri yang membayar semua makanan dan minuman yang mereka beli untuk dibawa pulang. Dari mulai pizza, spagghetti bolognaise, berbagai minuman segar serta garlic bread. Dan Nanang tak keberatan.
Sekarang semua yang dia beli telah ada di jok tengah itu.
“Kenapa, Laesti? Ada yang kelupaan untuk dibeli? Kita masih bisa putar balik di depan sana,” ucap Nanang dengan nada rendah.
Laesti lekas menggeleng.
Diam-diam dia mengucap syukur dalam hatinya.
Dia menatap Nanang dengan tatapan penuh terima kasih. Dia merasa dirinya sungguh tidak salah pilih.
Nanang rupanya menyadari tengah ditatap dari samping.
“Ada apa Laesti? Ada yang mau kamu sampaikan?” tanya Nanang.
Laesti tersenyum.
“Aku..”
“Kamu kenapa?”
“Aku merasa bersyukur Mas, karena diberikan Seseorang yang sesabar kamu.”
“Aku lebih beruntung lagi, karena mendapatkan Seseorang yang hatinya baik seperti kamu.”
“Aku serius, Mas. Kamu mau menunggu selama ini.”
Nanang tersenyum.
“Kalau sudah waktunya, pasti kita bersatu. Kita doakan saja supaya karir Fahri terus meningkat ya, supaya kamu juga mantap untuk berumah tangga.”
“Amin, Mas.”
Alih-alih mengucapkannya dengan mantap, Laesti justru merasakan hatinya bergetar hebat. Ada rasa gentar yang kembali menyapa dirinya. Dan dia tak sempat menghindari.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $