Cermis ke 3 : Lift Barang Pembawa Petaka (3)

1391 Kata
Episode 3 : Faktor Keberuntungan Semata? Hm. Bisa jadi. Mungkin aku harus membuang sial. Masalahnya, setiap kali setelah diwawancara, aku ini selalu melakukan evaluasi dan aku merasa hasilnya memuaskan. Apalagi kalau soal tes. Benar, aku rasa ada faktor eksternal yang di luar kendali aku. Ada semacam penghalang. Soalnya sudah berkali-kali, aku gagal mendapatkan peekerjaan dengan alasan yang nggak masuk akal, pikir Fahri yang mulai agak galau. Pemikiran macam itu mencuat secara otomatis dan tanpa direncana, dari benak Fahri. Dan semakin lama dirinya memikirkannya, semakin terbeban pulalah dirinya. Karenanya tak urung, segenap kegagalan beruntun yang telah dialaminya selama kurang lebih dua tahun belakangan ini di dalam mencari pekerjaan idaman, bagai bermain-main di pelupuk matanya, tak ubahnya seperti tayangan film yang diputar secara langsung untuknya... ... Rumah kantor atau sering disingkat ebagai RUKAN berlantai empat setengah  itu tampak sederhana bila dilihat dari luar, namun tatkala Fahri mulai melangkah masuk, dia menahan decak kagumnya. Seiring langkah kaki Fahri memasuki bagian dalam bangunan, indra penciumannya segera disapa oleh aroma segar bunga hidup yang ada di atas meja Sang Resepsionis yang berparas manis. Fahri tersenyum dan mengangguk santun ketika Sang Resepsionis menyapanya dan mempersilakan untuk menanti sesaatgilirannya diwawancarai. Sebuah harapan menyembul di hati Fahri. Diam-diam dia menilai bahwa langkahnya memasukkan lamaran pekerjaan di perusahaan ini sudah benar. Dia menganggap perusahaan ini cukup bonafide meski baru menempati rumah kantor belum gedung megah. Nggak apa deh belum dapat pekerjaan di korporat. Perusahaan kepemilikan juga nggak apa. Yang penting diterima. Anggap untuk menambah wawasan, mencari pengalaman dan mencari penghasilan. Nantinya siapa tahu ada kesempatan yang lebih baik lagi, entah di sini atau di tempat lain, pikir Fahri penuh harap. Sang Pemilik Perusahaan sepertinya mempunyai selera yang cukup tinggi dalam menata kantornya. Meja Resepsionisnya saja tampak kokoh dan unik. Sederet kursi yang disediakan untuk Para Tamu di depan meja Resepsionis juga terasa nyaman, sehingga sanggup meredakan kecanggungan dan sedikit perasaan dag dig dug Fahri yang baru pertama kalinya menghadapi wawancara kerja. Sesekali mata Fahri melayang ke arah wallpaper yang berwarna cerah. Saat tiba gilirannya diwawancarai, dia kembali terpana menelusuri selasar di antara dua ruangan kaca. Selasar itu cukup lebar dan ditata dengan baik. Ada tanaman hias plastik berwarna warni di kanan kiri selasar. Begitu dia memasuki ruangan tempat wawancara, dia juga terkagum dengan furnitur yang dinilainya lumayan mewah dan berkelas. Pendingin udara disetel pada angka yang nyaman, sekitar 23 sampai dengan derajad celcius. Wangi pengharum ruangan dari jeruk citrus sangat dominan. Selagi menunggu Sang Pewawancara datang menjumpainya, terdengar ketukan di pintu kaca. Fahri menoleh dan mengangguk. Seorang Office Girl masuk ke dalam ruangan dan mendatanginya. Seragam yang dikenakan Sang Office Girl juga tampak rapi di mata Fahri. “Selamat Pagi Pak. Bapak mau minum teh, kopi, atau air mineral?” tanya Sang Office Girl ramah. “Air mineral saja. Terima kasih, Mbak.” “Baik. Ditungu sebentar ya Pak.” Sang Office Girl segera mengangguk dan berlalu. Tidak seberapa lama, Dia datang kembali dengan membawa air mineral serta dua iris lapis surabaya yang diletakkan di piring kecil. “Silakan dinikmati Pak. Sebentar lagi Pak Wingky akan datang kemari. Saya permisi dulu.” “Terima kasih.” Fahri sedikit terpana. Dia tak menyangka kalau perusahaan ini mempunyai standard yang cukup lumayan dalam memperlakukan Tamu yang datang, meski hanya Seorang Calon Karyawan. Sejujurnya, dia agak tergoda melihat tampilan lapis Surabaya yang tampaknya lezat itu. Diam-diam dia agak menyesal karena semestinya lapis Surabaya itu lebih cocok jika disandingkaan dengan teh atau kopi. Pada saat Fahri sedang menatapi air minum dan makanan kecil di depannya, Sang Pewawancara datang. “Hallo,” sapa Pak Wingky akrab. Fahri segera bangkit dari duduknya dan berinisiatif untuk menyalami Pak Wingky. “Selamat pagi. Saya Fahri, Pak.” “Selamat pagi, Fahri. Saya Wingky. Kita sudah sempat mengobrol melalui telepon sebelumnya ya. Ayo, santai saja. Sambil dinikmati sajian sederhananya,” sahut Pak Wingky. Mereka berdua memang telah sedikit mengobrol walau sekadar lewat telepon kemarin. Obrolan singkat dan umum, untuk mengukur sampai di mana minat dan kemampuan Fahri. Dan Fahri mendapatkan kesan bahwa Pak Wingky sudah tertarik kepadanya, sampai-sampai memintanya agar segera datang hari ini. Sesi wawancara berlangsung dengan santai namun serius. Tidak hanya Pak Wingky yang bertanya kepada Fahri, namun Fahri juga diberikan kesempatan untuk bertanya lebih banyak mengenai bidang usaha perusahaan tersebut hingga ke detail pekerjaan yang dia lamar. Sangat berimbang. Bagaimana mungkin Fahri tidak merasa semakin berharap? Terlebih, ketika melepas kepergiannya dari ruangan tersebut, Fahri merasakan jabatan tangan Pak Wingky amat hangat dan menjanjikan. “Terima kasih untuk waktunya hari ini, Fahri. Nanti sekiranya Fahri cocok untuk posisi ini, akan dikabari untuk proses selanjutnya. Paling lama seminggu.” “Baik, terima kasih Pak.” Seminggu berlalu. Tidak ada kabar apa pun dari perusahaan tersebut. Fahri tak patah arang. Anak muda ini tetap berusaha mencari peluang pekerjaan yang lainnya. Begitu banyak panggilan wawancara yang datang kepadanya. Pertanda Pihak Perusahaan telah melakukan proses screening awal dan dirinya termasuk yang ‘lolos’ untuk mendapatkan undangan wawancara. Bermacam perusahaan juga telah didatangi oleh Anak Muda ini. Dari yang berkantor di rumah kantor sederhana, rumah kantor yang besar, menempati gedung mewah di pusat kota, hingga gedung sendiri yang letaknya lumayan jauh dari jalur angkutan umum sehingga memaksa dirinya untuk menggunakan jasa ojek lantaran tidak ada rute angkutan umum yang melewati daerah itu. Bukan satu dua kali dia harus mendatangi kantor yang terletak jauh di dalam kawasan industri, di mana dirinya harus berjalan kaki begitu jauh sepulang wawancara demi mendapatkan ojek untuk keluar dari kawasan tersebut. Sebab, berkali-kali dia memakai aplikasi ojek daring, tidak ada satu jua yang posisinya dekat dengan tempatnya menunggu. Ojek pangkalan yang melintas juga tidak ada. Ini agak berbeda dengan saat dirinya menuju kawasan tersebut, di mana dia dengan mudah dapat melambai ke salah satu Ojek Pangkalan yang menanti Calon Penumpang tak jauh dari mulut kawasan industri. Mungkin karena sudah bukan jam berangkat kerja, jadi tidak ada Ojek yang lalu lalang. Nggak apa, yang penting wawancaranya sudah selesai.Semoga saja ada kabar baik. Nanti kalau aku diterima bekerja di situ, aku akan pikirkan soal transportasi ini, pikir Fahri menghibur diri. Jumah tes yang dia ikuti juga nyaris sulit untuk dihitung. Tentu saja, nominal uang yang mengalir untuk membayar uang transportasi juga amat besar. Fahri sering menolak uang pemberian Sang Kakak karena tak enak hati. Dan Sang Kakak tak kehabisan akal, sengaja menyelipkan sejumlah uang ke dalam dompetnya di saat dirinya sedang mandi. Kelihatannya Laesti yakin bahwa Sang Adik pasti akan membutuhkan tambahan uang tersebut sebagai pegangan. Fahri jadi semakin merasa berhutang budi saja kepada Sang Kakak. Tetapi malangnya, hingga detik ini, hasil akhirnya belum sesuai dengan apa yang dia harapkan serta usahakan. Dua tahun. Jelas saja itu bukan waktu yang singkat baginya. Memelihara yang namanya semangat itu juga tidak mudah bagi Fahri. Kadang-kadang Fahri hampir putus asa, tetapi dia berkeras untuk menyembunyikan perasaannya, apalagi di depan Sang Kakak. Dia tak mau membuat Laesti bersedih. ... Angin yang bertiup kencang menerbangkan debu-debu. “Aduh!” Fahri memalingkan wajah ke sampinga dan memejamkan matanya. Ada debu yang masuk ke dalam matanya rupanya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Untung saja gangguan itu dapatsegera diatasi olehnya. Lamunan singkat Fahri buyar sudah. Tetapi tidak demikian dengan perasaan galaunya. Rasa galau itu masih menghuni hatinya. “Huft. Mungkin aku habiskan waktu sebentar di sini dulu untuk menetralkan suasana hatiku. Baru setelah agak membaik, aku pulang dan singgah ke tempat cuci motor di depan kompleks rumah. Lumayan kan, kalau ada bebrapa motor yang aku cuci, ada sedikit uang yang bisa aku peroleh?” gumam Fahri. Fahri melirik arlojinya. Saat itulah, sebuah kendaraan tampak merapat ke halte. Fahri tidak terlalu memedulikannya. Bahkan merubah posisi duduknya juga tidak. Ia berpikir, kemungkinan kendaraan tersebut memang mempunyai keperluan tertentu, tetapi tidak berhubungan dengan dirinya. Pikirnya, bilapun hendak menanyakan alamat atau semacamnya, pasti Sang Pengemudi akan turun dan menanyainya. Itu juga belum tentu dapat dijawab olehnya, mengingat dirinya bukanlah Warga setempat. Tetapi kendaraan itu akhirnya berhenti sempurna setelah semakin melambatan laju kecepatannya. Sang Pengemudi membunyikan klakson. Fahri terusik. Mau tak mau pandangannya tertuju ke arah kendaraan itu. Da merasa tak mengenal kendaraan itu. Itu bukanlah mobil Nanang, Sang Calon Kakak Iparnya. Dan dia yakin dia tak mengenal Siapa pun yang ada di dalam mobil.  Lebih-lebih kaca mobil juga dilapisi kaca film yang lumayan gelap. Di saat dirinya tengah berpikir dan menebak-nebak dalam diam, jendela di sisi kiri mobil terbuka. Seraut wajah menyembul dari sana. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN