Cerita 1 : Ojek Daring Pengantar Makanan (6)

1302 Kata
Episode 6 : Dari mana Asal Lumuran Darah Kental Ini?               Ruri melihat, ambulance yang dimaksud oleh Si Anak Muda ternyata ambulance dari rumah sakit Kencana, tempatnya bekerja. Tanpa harus meihat logo dan tulisan di badan mobil ambulance pun, Ruri sudah teramat mengenalnya. Dia agak bingung dengan apa yang dilihatnya ini. Juga tak habis pikir. Entah bagaimana, mereka, Pihak Rumah Sakit di mana dirinya bekerja bisa sesigap itu. Padahal biasanya, mengurus administrasi saja sering lama dan makan waktu, yang berakibat ambulance tertunda dikirim ke alamat untuk menjemput Pasien. Sebagai kelanjutannya, kalau bukan kondisi dari pasien lebih memburuk, tak jarang ada Pasien yang telanjur mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan dan tak sempat lagi tertolong. Ruri mengira bisa jadi kali ini, mereka tergugah hatinya dan menolong. Apalagi kejadiannya juga tepat terjadi di depan gedung mereka. Atau bisa juga, Bapak-bapak Petugas yang menangani kecelakaan, bertindak cepat dan tepat plus sedikit memaksa, sehingga Pihak rumah sakit Kencana tak punya pilihan lain kecuali merespon cepat pula.             “Mas Wahyu! Mas!” teriak Ruri spontan, ketika mengenali bahwa Salah Satu yang tengah mengangkat korban kecelakaan tersebut adalah Wahyu Irwansyah. Dia ingat, Rekan kerjanya yang satu itu seharusnya masuk pagi, hari ini.             Yang diteriaki tidak menoleh. Fokus dengan pekerjaannya. Jeda waktu ini dimanfaatkan oleh Ruri untuk meminta tolong pada beberapa Orang, supaya menurunkan sepeda motornya dari trotoar. Mujur baginya, mereka bahu-membahu menolongnya. Mereka juga mendorong sepeda motornya memasuki pelataran parkir rumah sakit. Ruri sedikit terhibur sebab semua berjalan lancar. “Terima kasih ya Mas, Pak,” ucap Ruri kepada Orang yang membantunya. Dia tak mengenal mereka. “Sama-sama, Suster.” Dua Orang itu tersnyum ramah lalu meninggalkannya. Tak mengharapkan apa-apa darinya. Suster. Hati Ruri tersentuh dipanggil demikian. Ia menatapi punggung Dua Orang itu yang menjauh. Dia jadi berpikir, kesediaan serta kesigapan Dua Orang itu membantunya barusan, bisa saja dipengaruhi seragam perawat yang dikenakannya. Bisa saja, kan? Tak mustahil kalau mereka mengira Ruri tengah tergesa untuk menolong Pasien, misalnya, sehingga terpaksa menaikkan sepeda motor ke trotoar, tadi? Di detik ini, sekelumit percakapan dengan Sang Ibu sebelum dirinya berangkat bkerja tadi bagai terngiang di telinganya. Iya, Bu. Ruri ini Seorang Perawat. Ruri tahu kok, bagaimana harus bersikap. Tapi kan tadi itu…! Huh! Si Shandro kan memang bikin susah Ruri! Batin Ruri, menolak sebersit rasa bersalah yang menyelinap ke lubuk hatinya. Ruti menggoyangkan kepalanya. “Ngapain aku berlarut-larut begini? Sebaiknya aku titipkan ini dulu. Aku mau melihat situasi terkini,” gumam Ruri perlahan dan mengulurkan tangan, hendak menjangkau bawaannya.             Sesuatu hal mengusik terjadi, ketika Ruri hendak mengambil tas plastik berisi makanan yang tadi Ia terima dari Shandro dan bermaksud menitipkannya kepada Satpam rumah sakit, sementara dia hendak melihat kembali situasi di jalan raya sana. Tas plastik itu tidak hilang. Dia masih ada di sana, tergantung di tempatnya. Bisa jadi, malahan tidak ada Orang yang berminat menyentuhnya. Dan bisa saja tidak bergeser barang satu senti saja. Yang membedakannya sekarang adalah tampilannya. Ruri tercengang. Tangannya  agai melayang di udara. Batl menyentuh tas plastik tersebut. Tampak olehnya, tas plastik itu berlumur darah kental pada permukaan luarnya. Darah yang warna pekatnya sama dengan darah yang menetes pada dahi dan pipi Shandro. Juga sewarna dengan darah yang berceceran di bekas tempat kecelakaan. Ruri sampai mundur saking kagetnya. Dirasanya, bulu kuduknya meremang seketika. Tiada tercegah. Dengan mengumpulkan kesadarannya, Ruri segera berlari kembali, ke arah ambulance yang berada di depan sana. Ambulance tersebut baru saja bergerak, menuju rumah sakit yang disebutkan oleh Seorang Petugas. Wahyu tampaknya turut berada di dalam kendaraan ambulance itu. Dia merasa seperti kehilangan petunjuk. Ia menatap sekelilingnya. Saat itulah Ruri melihat, Anak Muda yang tadi melakukan siaran langsung, masih berdiri di tempat semula. Ia menarik napas lega. Dipikirnya, dia akan dapat menuntaskan rasa ingin tahunya. Ruri lekas mendekatinya. Tampaknya, Anak Muda itu sudah selesai melakukan siaran langsung. Dia tengah mengirim foto-foto dan video yang ia rekam ke berbagai grup di mana dirinya bergabung. Ruri  juga melihat Anak Muda itu sesekali mengetik lincah dengan kedua ibu jarinya di atas layar telepon seluler, sepertinya tengah membalas beberapa pesan yang masuk ke gawai-nya. Ruri menanti sebentar sampai ‘kesibukan’ Anak Muda itu sedikit menurun. Saat memperkirakan waktunya tepat, dia langsung beraksi.             “Mas, tadi sempat ambil gambar dari dekat kan ya?” tanya Ruri. Ia mengesampingkan kemungkinan bahwa dia bakal terlambat masuk shift siang. Bahkan sudah pasti takkan sempat lagi untuk menikmati makan siang sebelun bertugas. Rasa penasaran yang hebat menderanya. Menuntutnya untuk dijawab. Pertanyaan bertubi-tubi yang singgah di kepalanya, menuntut penjelasan yang masuk akal! Apa maksud darah yang melumuri tas plastik itu? Asalnya dari mana? Siapa yang begitu iseng melumuri darah itu  ke sana? Sungguh aneh, bukan? Jelas sekali dia terus memerhatikan saat Dua Orang yang membantunya menurunkan sepeda motornya dari trotoar. Juga saat mereka berbaik hati mendorongnya ke parkiran. Namun yang terutama, dia berani bertaruh, dirinya endiri, ketika memarkirkan sepeda motor tersebut, juga terus melihat kea rah tas plastik berisi makanan. Dan tas plastik itu tampaknya masih putih bersih. Tapi mengapa setelah aku mau mengambilnya untuk aku titipkan ke Satpam, mendadak jadi berlumur darah begitu? Aku ingat, nggak ada ada celah barang satu detik pun, yang memungkinkan Orang, Siapa pun dia, untuk iseng melumuri tas plastik itu dengan darah. Dan juga, dari mana Orang iseng itu mendapat ide tersebut, serta mendapatkan darah untuk dilumurkan di sana? Dari aspal? Itu nggak mungkin! Kata Ruri dalam diam. “Apa jangan-jangan..” Ruri setengah bergumam. Sekuat hati Ruri menepis rasa takut yang sekonyong-konyong melingkupinya. Ah, baru membayangkan kemungkinannya saja, Ruri langsung bergidik ngeri. Ia curiga, jangan-jangan keringat dingin juga sudah membasahi tubuhnya.             “Nah, kalau mau tanya-tanya sekarang, boleh Mbak. Kalau tadi, namanya ganggu!” kata Anak Muda itu dengan kalem. Dia terlihat menoleh kepada Ruri.             “Mas, boleh saya melihat foto yang berhasil Mas ambil?” tanya Ruri tanpa basa-basi.             Anak Muda itu menganggukinya. Diserahkannya gawainya kepada Ruri dan berkata, “Silakan, Mbak. Nih, dilihat saja!”             Ruri menerimanya dengan tangan yang gemetar. Seolah dirinya bakal melihat sesuatu yang seram. Reaksi yang sungguh aneh dan di luaar kendalinya. Dia sendiri juga terheran. Sebab, sehari-hari dia bekerja di bidang kesehatan. Yang namanya melihat luka, nanah maupun darah, bukanlah sesuatu hal yang baru baginya. Banyak Pasien yang datang dengan luka luar yang menganga. Bukan satu dua korban kecelakaan, Orang yang mengalami luka bakar, hingga akibat kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, beberapa kali dia menyaksikan sendiri orang yang mengembuskan napas terakhir, pada waktu dirinya tengah bertugas. Tetapi sekarang ini? Bukan hanya tangan, tubuhnya mulai ikut gemetaran. Alangkah anehnya! Ruri menarik napas dalam-dalam dan menahannya sekian detik sebelum mengembuskannya dengan amat perlahan. Diulanginya sampai beberapa kali. Dia mempersiapkan hati sebelum melihat semua hasil foto yang dipastikannya akan membuat dirinya tidak tega, sekaligus berusaha keras untuk menguasai tubuhnya yang bereaksi di luar kehendaknya. Apa daya, usahanya tidak seketika berhasil. Pun begitu, dia masih menghibur diri dan mengundang pemikiran positif.             “Aku gemetaran pasti karena belum makan,” gumam Ruri pelan, ditujukan pada dirinya sendiri, demi mensugesti dirinya yang didera perasaan misterius. Campuran perasaan penasaran, cemas, ngeri, dan selintas... rasa bersalah, yang membuatnya kian terheran sendiri!             “Huft!” ucap Ruri sambil mengembuskan napas kuat-kuat.             Lantas jemari Ruri menggeser satu persatu dari kumpulan foto yang ada dalam folder yang ditunjukkan oleh Si Anak Muda. Sebagian besar memang agak blur, sebab diambil dari jarak yang jauh dan di-zoom pula. Dan sangat mungkin kamera agak bergoyang karena tersenggol. Banyak pula yang terhalang oleh kerumunan Orang. Tetapi dia seperti terdorong untuk terus melihat foto-foto lainnya.             Ruri terus saja menggulirkan jarinya di atas layar gawai Si Anak Muda. Pada foto yang kesekian, dia tercekat, mendapati nomor kendaraan yang diingatnya, sama persis dengan nomor kendaraan yang tadi mengantar pesanannya. Dia langsung membandingkan dengan informasi di gawainya sendiri. Ya, dia sempat men-screen shot informasi berisi nama Mitra ojek daring itu, nomor kendaraan serta nomor telepon genggam-nya. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN