Episode 1 : Akhirnya Bunda Mendapatkan Kamar Perawatan
Suara derit roda ranjang pasien yang bergesekan dengan lantai keramik di sepanjang koridor dari ruangan IMC (Intermidiate Care Unit) menuju ke ruang lift terdengar, memecah suasana senyap yang cukup dominan di pagi hari tersebut. Suara yang pelan, namun berkelanjutan sebab roda terus bergerak.
Ranjang pasien itu terus didorong melintasi koridor di antara deretan ruangan yang tampak minim kegiatan. Di ruang tunggu nan luas yang ditempati oleh sejumlah Keluarga Pasien, aura murung dan cemas tampak demikian nyata lagi dominan.
Tiba di depan lift, Para Suster tak membuang waktu. Bagai terburu-buru, Salah Satunya langsung memencet tombol lift dan memegang ujung ranjang untuk dapat menariknya ke dalam. Gerakan menarik yang begitu pelan namun mantap, agar sedapat mungkin dapat mengurangi getaran yang menyebabkan ketidaknyamanan kepada Sang Pasien.
Lift berhenti di lantai yang mereka tuju. Pintu lift pun terbuka lebar. Suster Ghea yang berdiri di dekat pintu lift menahan tombol lift, supaya pintu lift tetap dalam keadaan terbuka.
Ranjang Pasien lantas didorong keluar dari kotak lift, terus diarahkan melewati area selasar yang menuju kamar Anggrek Ungu 303. Ya, itu merupakan kamar terakhir yang kosong, setelah beberapa hari Chika Ariestyani berusaha mendapatkan kamar perawatan untuk Sang Bunda yang tercinta. Di atas ranjang pasien yang didorong tersebut, terbaring lemah Bundanya, Ibu Sarwendah Artanti. Chika memegang besi di bagian samping ranjang, turut mengiringi langkah kaki dua Orang Perawat yang mendorong ranjang Bundanya.
Saat mereka melewati bagian depan nurse station, salah satu dari Perawat yang bernama Priska Setyorini, berhenti sebentar dan segera masuk ke dalamnya, entah mengambil sebuah data yang dia perlukan atau justru mencatat sesuatu di sana. Sedangkan Perawat satunya, yang kemudian diketahui oleh Chika bernama Suster Ghea Pradipta, dibantu oleh Chika, melanjutkan ke tujuan semula. Mereka berbelok di ruangan bertuliskan 303. Setibanya di depan ruangan, Suster Ghea sigap membuka pintu ruangan.
Ternyata ruangan perawatan bernomor 303 tersebut diperuntukkan untuk dua orang Pasien, dan Ibu Sarwendah mendapatkan tempat di dekat jendela.
Diam-diam Chika bersyukur dalam hati. Setidaknya, dia dapat berharap, pemandangan yang terlihat dari jendela, dari pagi hingga senja tiba, akan dapat mengusir rasa jenuh bundanya serta mempercepat kesembuhan bu Sarwendah. Itulah harapan yang membersit di benak Chika.
Dengan ramah dan sembari melempar senyum segar, Suster Ghea menyapa Pasien yang tempat tidurnya dekat dengan kamar mandi. Pasien tersebut nantinya akan menjadi teman sekamar ibu Sarwendah.
“Selamat Pagi Mbak Reva. Bagaimana tidurnya tadi malam? Bisa tidur, kan?” tanya Suster Ghea.
Yang disapa hanya tersenyum tipis.
Sang Kakak berinisiatif untuk mewakilinya, “Selamat Pagi Suster. Reva tidurnya kurang nyenyak tadi malam. Sudah kepengen pulang dan merasa sudah sangat sehat, katanya. Sudah bosan dia bilang.”
Suster Ghea tersenyum lagi lalu menjawab, “Setahu saya kondisi Mbak Reva sudah semakin membaik kok. Sudah nggak sabar ya, mau tidur di rumh. Nanti tunggu Dokter yang kontrol kemari untuk status terakhirnya, ya.”
“Baik, Suster,” sahut Sang Kakak.
Chika mengerling sesaat.
Teman sekamar Sang Bunda dan dipanggil dengan nama Reva itu adalah Seorang Gadis berusia sekitar pertengahan dua puluhan, yang saat ini tengah ditunggui oleh Kakak perempuannya. Menyadari adanya ‘Penghuni’ baru di kamar itu, Kakak dari Pasien pun menatap ke arah ranjang yang baru masuk. Tatapan Sang Kakak dari Pasien itu bersirobok dengan tatapan Chika yang memang tengah tertuju kepadanya.
Chika mengangguk santun saat melewati mereka berdua. Anggukan yang berbalas senyum ramah Sang Penunggu Pasien.
Selagi Suster Ghea mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan Ibu Sarwendah, termasuk mengatur posisi selang infus pada tiang di sebelah ranjang, Chika meletakkan tas berisi pakaian Bundanya di dalam lemari yang tersedia di samping ranjang.
Suster Ghea mengalihkan tatapannya matanya kepada Chika. Sepertinya dia telah usai dengan pekerjaannya.
“Mbak, ini sudah beres, ya. Sekitar satu jam lagi, makan malam akan diantarkan kemari. Kalau Mbaknya perlu apa-apa, tinggal pencet tombol ini untuk panggil kami. Kebetulan Nurse Station letaknya nggak jauh dari kamar ini. Yang tadi kita lewati, Mbak,” terang Suster Ghea kepada Chika. Ditunjuknya sebuah tombol berwarna merah di dekat ranjang.
“Iya, Suster, terima kasih,” ucap Chika segera.
Suster Ghea menangguk.
“Oh, ya, Mbak, kalau Mbak mau ambil minuman, di Nurse Station ada dispenser. Jadi bisa lebih hemat, tidak perlu keluar uang untuk beli air mineral. Dan jangan lupa, Kartu Pengenal untuk penjaga pasien, tolong dikenakan ya, Mbak, selama Mbak berada di area rumah sakit. Tujuannya, supaya Mbaknya dikasih ijin untuk keluar masuk kamar Perawatan ini walau bukan pada jam bezuk. Terus, kalau misalnya besok pagi yang menjaga Ibu Sarwendah bukan Mbak, Mbak bisa berikan kartu pengenalnya ke yang jaga,” jelas Suster Ghea lagi.
“Oke, oke, Suster, terima kasih informasinya,” sahut Chika sambil manggut tanda mengerti.
“Sama-sama. Saya tinggal dulu, ya,” kata Suster Ghea pula.
Chika mengangguki Suster ramah itu lagi.
Suster Ghea segera beranjak pergi.
Sepeninggal Suster Ghea, Chika menarik kursi, mendekat ke salah satu sisi ranjang. Ia membasuh tangannya dengan anti septik, kemudian duduk di kursi dan memegang tangan Ibu Sarwendah dengan penuh sayang.
“Bun, buat istirahat saja sekarang. Dicoba buat memejamkan mata, ya. Nanti kalau makanan datang, Chika bangunkan Bunda. Nanti Chika suapi. Bunda harus rajin minum obat dan makan yang banyak, ya, supaya cepat sembuh,” kata Chika perlahan.
Ibu Sarwendah mengangguk dengan matanya, lalu menuruti saran Putrinya. Ia tak mengatakan apa-apa melainkan langng memejamkan matanya.
*
Ini sudah kedua kalinya Chika melihat Wanita hamil itu. Tadi malam, ketika melihat dari dekat demi memastikan bahwa Bundanya sudah tertidur pulas, ditinggalkannya sebentar untuk mengisi ulang thumbler-nya.
Nurse station tengah kosong saat itu.
Chika menengarai, kemungkinan besar sebagian Perawat sedang menolong Pasien yang memanggil mereka, dan sebagian lainnya mungkin sedang beristirahat di bagian dalam Nurse Station.
Suasana terasa demikian sepi. Bahkan saking senyapnya, Chika dapat mendengar helaan napasnya sendiri.
Hening yang aneh. Hening yang hampa dan beda-beda tipis dengan suasana mencekam. Chika terusik karenanya. Namun dengan kesadaran penuh dia membujuk hatinya sendiri dengan membatin, “Wajar, namanya juga rumah sakit dan jam segini. Tentu saja senyap. Kalau bising, namanya jalan raya di waktu jam sibuk.”
Lalu Chika melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Waktu telah menunjukkan Pukul setengah tiga dini hari.
Tuh kan? Namanya juga jam tidur. Memang wajar jika suasana sesenyap ini. Waktu yang cocok bagi para Pasien maupun yang menjaga mereka untuk tidur lelap, melepas penat, pikir Chika, menghibur diri. Pasalnya, entah entah mengapa, Chika merasa suasana ini terlalu sepi.
Pada saat itu lah, Chika melihat sosok Wanita hamil itu di dekat dispenser.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $