Episode 6 : Fakta ,Ataukah Fatamorgana? (2)
Sekian detik Chika menanti, di dalam harap yang bercampur cemas.
Mengantisipasi kemungkinan Sang Perawat akan curiga jika memergoki dirinya terlalu lama berdiam diri, Chika berlagak mengarahkan pandang ke sekelilingnya. Sekadar memberikan kesan adanya pergerakan darinya. Dia menyempatkan menoleh ke belakang . Dilihatnya Sang perawat sudah dalam posisi menundukkan kepala kembali, dengan tatap mata terarah ke atas meja.
Sesaat usai memastikan bahwa Sang Perawat yang berada di Nurse Station itu sudah kembali berkutat dengan pekerjaan catat-mencatatnya yang semula, Chika merasa sedikit bebas. Ia kembali memusatkan pandangan matanya ke arah koridor yang tampak semakin remang saja menurutnya.
Dia bertanya-tanya di dalam hatinya, apakah malam ini akan kembali melihat Sang Target, untuk terakhir kalinya, sehingga esok ketika dia membawa Sang Bunda keluar dari rumah sakit ini, tidak ada lagi yang mengganjal di hatinya.
Satu detik, dua detik, satu menit, dua menit. Waktu terus bergulir. Chika sungguh brharap Wanita hamil itu akan muncul.
Ternyata harapannya meleset.
Sebuah rasa lega sekaligus kecewa berbaur menyesaki benak Chika. Lega, lantaran berharap adanya kabar baik bagi Wanita hamil tersebut. Dan kecewa, karena dia harus menerima kenyataan bahwa misteri yang dia dapatkan tidak akan peernah terpecahkan sampai kapan pun.
Chika melihat jam tangannya.
Saat ini sudah pukul setengah empat lewat lima menit. Tidak kurang, juga tidak lebih.
Semoga saja kerabat ibu hamil itu sudah pulang ke rumah, harap Chika, tak terucap pada akhirnya.
“Ya sudah lah. Aku berharap yang terbaik saja,” gumam Chika lirih, menujukannya kepada dirinya sendiri.
Chika lekas melangkahkan kaki kembali dan menjangkau handel pintu ruang rawat di mana Sang Bunda berada. Chika pun menggerakkan handel pintu sepelan mungkin. Dipikirnya, semua yang di dalam kamar 303, toh tengah terlelap. Tidak tega dia mengganggu mereka.
Setelah masuk ke dalam ruangan perawatan bernomor 303, Gadis itu terkejut campur bingung. Ia merasakan hawa dingin penyejuk ruangan yang jauh lebih dingin jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, bahkan juga aat dia meninggalkan ruang tersebut untuk mengambil air panas tadi. Dinginnya terasa begitu menusuk tulang, sampai-sampai Chika curiga dirinya mungkin mendadak diserang penyakit rematik yang parah.
Chika melirik remote air conditioning yang kebetulan berada di dinding yang tak jauh dari tempatnya tengah berdiri. Dia juga memperhatikan bahwa suhu udara telah disetel ke angka 25 derajad celcius, sama seperti beberapa hari ini. Semestinya tidak ada masalah dengan hal itu.
Berarti masalahnya di pendingin udara yang sentral. Aku harus memberitahu ke Suster. Kasihan ini yang sakit pasti kedinginan sekali. Aku saja yang sehat rasanya mau menggigil begini, pikir Chika meski dia sendiri juga merasa heran karena baik Sang Bunda maupun dua Orang lain yang tengah berada di dalam ruangan perawatan tersebut sepertinya lelap-lelap saja tidurnya.
Chika hampir saja berbalik badan dan hendak memberitahukan kepada Suster yang berjaga di Nurse Station, jika saja tidak ada hal lain yang menambah kebingungannya.
Chika menyaksikan, tirai di dekat pembaringan Pasien yang menempati ranjang di dekat toilet itu, terbuka seluruhnya. Pasien yang masuk tiga hari setelah Ibu Sarwendah dirawat itu, usianya sudah cukup sepuh. Dia dipanggil Nenek Yunita Wongso, yang sejak dirawat di rumah sakit ini sehingga sekarang, dijagai oleh Putrinya yang diperkirakan oleh Chika usianya tidak berbeda jauh dengan Sang Bunda. Nama Putri dari Nenek Yunita Wongso adalah Bu Rohaya Saptarini.
Chika jelas terusik, sebab tidak biasanya Bu Rohaya membuka lebar-lebar tirai itu, apalagi pada jam istirahat begini.Lupa juga tak mungkin menurutnya.
Perasaan sewaktu aku keluar dari kamar ini, tirai itu tertutup rapat. Apakah Bu Rohaya sempat terbangun lalu karena sesuatu hal dia menguak tirai itu? Atau atas permintaan Nenek Yunita, yang merasa pengap atau apa? Ah, entahlah. Mungkin sebaiknya aku diamkan saja. Sebab kalau aku bantu dengan menarik tirainya takut menimbulkan bunyi dan malah membuat mereka terjaga. Kasihan, pikir Chika pula.
Chika memerhatikan, hanya tirai dekat pembaringan Sang Bunda saja yang masih tertutup rapat, persis sebagaimana ketika ditinggalkannya tadi.
Lantas Chika juga melihat, Bu Rohaya tengah tidur menyamping, beralaskan tikar di lantai kamar, di samping ranjang pasien. Bu Rohaya yang mungkin merasa bantal sofa yang dia bawa dari rumah kurang tinggi, memanfaatkan sebelah lengannya untuk menumpu kepalanya sehingga tinggi bantal sofa menjadi lebih ideal sesuai seleranya. Sedangkan Nenek Yunita, sepertinya baru saja terjaga.
Melihat bagaimana nyenyaknya tidur Bu Rohaya, Chika jadi tak habis pikir, Siapa gerangan yang menyibakkan tirai, dan kapan hal itu dilakukan. Sebab, dia merasa terlampau cepat kalau Nenek Yunita yang melakukan hal tersebut.
Belum juga terjawab pertanyaan yang ada di kepalanya, sudah ada pemandangan lain yang segera menyita perhatiannya.
Pemandangan yang teramat jauh dari nalar Gadis itu.
Alangkah ingin Chika mengabaikan apa yang dilihatnya dan mengangguk santun pada Nenek Yunita lalu segera kembali ke sisi Sang Bunda sebetulnya, jika saja, yang dilihatnya tidak membuat dirinya dilanda penasaran.
Ya, di dekat pembaringan Nenek Yunita, dia melihat, apa yang sempat dibahasnya dengan Suster beberapa menit lalu. Tak lain, Wanita hamil itu! Sang Target yang sempat ditunggu kemunculannya oleh Chika tadi!
Lantas yang lebih mencengangkan Chika, pintu ruangan perawatan 303 terbuka lebar disertai embusan angin yang membuat Chika merinding. Dia kembali merasakan tulang-tulangnya ngilu.
Chika tidak tahu kapan tepatnya dan dari mana datangnya, di depan kamar sana tampak sekelompok Orang berdiri. Ada yang menatap ke arahnya, ada yang menatap ke arah Nenek Yunita. Dan ada pula yang tengah bercakap-cakap. Anehnya, seketika Chika seperti mendengar banyaknya percakapan tetapi dalam bahasa yang tidak dapat dimngerti olehnya. Lucunya, suara riuh rendah percakapan serta ramainya itu dirasakan Chika bukan berasal dari luar ruangan, melainkan seperti mengelilinginya.
Chika merasa dirinya tengah berada di sebuah pasar, atau malah di persimpangan jalan yang ramai. Dan dia tercekat, sebab tak dapat melihat Siapa-Siapa di sekelilingnya, meski suara berisik itu amatlah dekat, seolah hanya sejarak satu dua senti dari telinganya.
Apa aku terpengaruh dengan ceritanya Bunda, sampai-sampai aku berhalusinasi begini? Batin Chika di dalam bimbangnya.
Chika merasa agak pening sekarang. Lebih dari itu, dia juga mengalami kesulitan untuk menggerakkan kakinya. Kedua kakinya bagai dipaku saja. Jangankan diangkat untuk melangkah, sedangkan untuk digerakkan saja terasa demikian beratnya.
“Ak ak ak...” Chika berusaha untuk membuka mulut dan mengeluarkan suara, tetapi tenggorokannya seperti kering dan tercekik. Dia tidak sanggup mengeluarkan kata-kata.
Chika juga mengangkat tangan dan hendak menunjuk ke sembarang arah. Celakanya, tubuhnya serasa tidak bertulang. Lemas sekali. Dia bagai terpaku, beku bak patung. Yang membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa kakinya tetap menopang badannya, sehingga dapat mempertahankan posisi berdirinya saat ini, sementara dia jelas-jelas tidak tengah bersandar. Lagi pula, sebelah tangannya juga masih dalam posisi memegang cangkir kopi.
Kemudian, bagai digerakan oleh sesuatu kekuatan yang tak mampu untuk dilawan, tatapan Chika kini terarah ke ranjang Nenek Yunita. Seakan-akan dirinya ‘diminta’ untuk menatap dan berfokus ke bagian itu saja, bukannya mendengarkan berbagai kebisingan yang bagai berputar-putar di dekat kepalanya, juga ‘munculnya’ Orang-orang asing yang tak dikenalnya di depan pintu sana. Orang-orang yang tampaknya sengaja membuka pintu, entah untuk tujuan apa, tetapi tidak melangkah ke dalam.
Maka Chika menatap lurus-lurus kepada Nenek Yunita serta Si Wanita hamil tua yang berada di dekatnya.
Seketika alis Chika mengernyit.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan Pages B!telucy
Fan Pages Enjoy Ur Moments