Cermis 3 : Lift Barang Pembawa Petaka (11)

1876 Kata
Episode 11 : Awan Hitam, Kabut Gelap (1) Kicau burung tampak bersahutan menyambut pagi. Sinar matahari yang masih lembut, menembus jendela, masuk ke dalam rumah yang ditempati Laesti. Laesti belum menyibak tirai kaca jendela kamarnya, tetapi dia sudah mendengar percakapan di samping kamarnya. “Ayah, Kak Laesti belum bangun juga?” Suara yang amat familiar bagi teling Laesti. Itu suara Fahri, Adiknya. Tetapi suaranya bening sekali. Belum ada perubahan suara layaknya Anak Lelaki yang sudah beranjak dewasa. Ada keceriaan dalam suara yang khas suara kanak-kanak tersebut. Laesti mencoba membuka matanya yang masih terasa berat. Dia memang tidur larut malam, sebab harus mempersiapkan diri untuk mempelajari banyak materi ujian tadi malam. “Masa belum bangun tidur juga?” tanya Sang Ayah. “Ini, lihat saja. Jendelanya saja masih rapat.” Sang Ayah manggut-manggut. “Nggak apa deh, ini kan hari libur. Biarkan Kakakmu bangun tidur agak siang. Dia belajar terus sepanjang minggu. Kasihan. Sudah begitu, kalau pulang sekolah juga masih membantu pekerjaan Ibumu.” “Lho, tapi nanti Kak Laesti jadi nggak bisa ikut sarapan sama kita. Bagaiman kalau Fahri bangunkan saja, Yah?” “Iya juga ya, Fahri. Kalau begitu, coba kamu masuk ke dalam rumah. Sekalian cuci tanganmu. Kamu masuk lewat pintu belakang saja, jadi sekalian ce ke dapura dan lihat apakah Ibumu sudah selesai masaknya. Kalau sudah, ya kamu ketuk pintu kamar Kakakmu. Tapi kalau ternyata masakan Ibumu belum siap, nanti saja lah,” kata Sang Ayah. “Baik, Yah. Ayah nggak sekaligus masuk ke dalam rumah juga?” “Tanggung. Ini sebentar lagi selesai tanam bunganya,” sahut Sang Ayah. Fahri mengangguk dan bersiap meninggalkan Sang Ayah yang tetap berada bagian luar rumah, tepatnya di samping kamar Laesti. Hari libur ini memang Fahri dan Ayahnya sengaja membeli menanam tanaman bunga yang telah dibeli oleh Sang Ayah kemarin sore. Kata Sang Ayah, mumpung dirinya juga sedang libur bekerja. Sang Ibu tentu saja dobel senangnya. Kemarin sore Sang Suami pulang bekerja dengan membawa bebrapa pot tanaman bunga, dan hari ini mencangkul sedikit lahan kosong untuk menanam bebungaan itu. Fahri mencuci tangannya di kran yang berada tak jauh dari tempatnya membantu Sang Ayah tadi. Sang Ayah mengamati Anak Bungsunya itu. “Nanti di dalam rumah cuci lagi pakai sabun. Itu tanganmu hanya bersih dari belepotan tangan, tapi nggak menjamin ada kuman-kuman yang masih ada di telapan tanganmu,” kata Ayahnya. “Iya, Yah.” Fahri mempercepat gerakannya mencuci tangan dan kakinya, lalu bergegas memasuki rumahnya. Ketika dia masuk ke area dapur, aroma masakan Sang Ibu menyapa indra penciumannya. “Wah, Ibu kok masak banyak sekali. Seperti mau buat makan siang saja,” kata Fahri. Dia sempat tergoda untuk mencomot tempe keripik hangat yang baru saja ditiris oleh Sang Ibu, kalau saja dia tidak ingat bahwa tangannya belum bersih benar. “Memang ini sekalian untuk sarapan dan makan siang, Fahri.” “Oh, biar Ibu nggak capek, ya, jadi masaknya sekalian?” tanya Fahri. Sembari menyabuni telapak tangannya dan membuka kran di dapur, mata Fahri sesekali mengerling kepada aneka masakan yang tengah disiapkan Sang Ibu. Ada sejumlah tumisan sayur, telur dan tempe balado, berbagai gorengan yang menggoda, bahkan ada juga nasi goreng dan nasi putih serta buah potong dan puding coklat. Sementara sekarang, Sang Ibu juga masih mempersiapkan jenis makanan lainnya. Sang Ibu tersenyum saja. “Bu, Kak Laesti belum bangun tidur ya?” Pertanyaan Fahri terdengar seiring gerakan tangannya mengeringkan tangannya. “Belum kelihatannya. Ini sebentar lagi kalau makanan sudah siap semua, biar Ibu bangunkan.” “Fahri saja yang ketuk pintunya, Bu.” “Oh, boleh kalau begitu.” Fahri bergegas menuju ke kamar Laesti. Diketuknya daun pintu beberapa kali. “Kak Laesti, bangun Kak! Kita mau sarapan sama-sama. Kak Laesti mandi dulu, ya.” Di dalam kamar, Laesti membuka matanya lebar-lebar. Dibuangnya jauh-jauh sisa rasa kantuk yang masih menggayut di kepalanya. “Iya, tunggu.” “Oke, Kak.” “Terima kasih ya Fahri.” Laesti langsung bangun dan membereskan tempat tidurnya. Dibukanya jendela kamarnya. Dia mengeluarkan kepalanya dan mendapati Sang Ayah tengah menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. Sepertinya pekerjaan Sang Ayah telah tuntas. “Pagi, Yah.” “Hai Laesti, pagi. Kamu sudah bangun?” Laesti menguap. “Iya, Yah. Laesti mandi dulu ya.” “Iya, sana. Nanti kita ketemu di ruang makan, ya.” “Baik, Yah.” Laesti bergegas menyambar handuknya dan memasuki kamar mandi. Segarnya air yang membasahi tubuhnya, lumayan sukses mengusir rasa penat dan kantuknya. Dia tidak berlama-lama di kamar mandi, karena sadar kedatangannya ditunggu oleh Ayah dan Adiknya. Dia menepuk jidatnya ketika membuka pintu kamarnya. Penyebabnya yaitu karena aroma sedap masakan Sang Ibu yang tercium olehnya. “Aduh, kasihan Ibu. Saking tidurku nyenyak jadi nggak bantuin Ibu. Jangan-jangan tadi Ibu sudah ketuk-ketuk pintu tapi aku nggak dengar,” sesalnya. Setengah berlari dia menuju dapur. “Pagi Bu. Kok Ibu nggak bangunin Laesti sih Bu?” “Pagi Laesti. Nggak apa. Kamu itu sudah kecapekan belajar terus. Mumpung hari libur ya nggak masalah kalau tidurnya agak lama.” Laesti sedikit merengut. Didekatinya Ibunya. “Ibu, kok begitu sih! Mustinya bangunkan saja.” “Ibu nggak tega. Sehari-hari kamu sudah membantu banyak pekerjaan rumah.” “Ya itu kan memang tugas Laesti.” “Duh, senangnya Ibu sama Ayah, punya Sepasang Anak yang rajin membantu Orang tua. Kamu setiap hari membantu Ibu. Itu, Adikmu dari pagi juga membantu Ayahmu.” “Kan Laesti sudah bilang, memang sudah seharusnya, Bu.” “itu yang Ibu syukuri.” Laesti tersenyum tipis. “Sini, biar Laesti bantu bawakan ke meja makan,” kata Laesti. “Eh, jangan yang itu. Yang itu biar saja,” cegah Ibunya. “Lho! Kenapa memangnya, Bu?” “Sarapannya kita makan nasi goreng, irisan telur dadar, buah potong sama puding coklat saja. Kalau puding buahnya sama semua masakan yang lain tinggalkan saja di sini, Biar Ibu yang bereskan.” “Memangnya mau untuk apa, Bu?” Ibunya tersenyum manis. “Itu cukup, kan? Atau ada gorengan yang kepengen kamu makan? Ambil sedikit dari sini, deh,” kata Sang Ibu. Ucapan Sang Ibu membuat kening Laesti berkerut. Penuh teka-teki. Sudah jelas-jelas memisahkan aneka hidangan yang disiapkannya ke dalam ‘dua kubu’, tidak bilang pula untuk apa. “Yang lain buat apa, Bu? Mau dimasukkan ke lemari makan? Untuk makan siang, ya?” Sang Ibu mengangguk, menahan senyumnya. Laesti tak terlalu memikirkannya. “Ya sudah, Laesti bereskan ini dulu.” “Kamu sekalian sediakan peralatan makan ya. Itu Ayah dan Adikmu pasti sudah lapar. Sebentar lagi Ibu nyusul.” “Ya, Bu.” Dengan terampil Laesti mengerjakan apa yang diperintahkan Ibunya. Mereka berempat sarapan dengan nikmat. Sesekali ada percakapan di antara mereka. Begitu usai sarapan, Sang Ibu mendadak berkata, “Laesti, Fahri, hari ini kalian nggak ada rencana untuk main sama Teman-teman kalian, kan?” Laesti dan Fahri saling berpandangan, lantas menggelengkan kepala mereka secara bersamaan. “Cocok tuh, Bu,” sela Ayah mereka. “Cocok apanya, Ayah?” tanya Fahri. “Mau nggak, kalau hari ini kita pergi berpiknik? Kan sudah lama kita nggak bersantai-santai. Ini kebetulan Ayah, Laesti dan Fahri libur semua, kan? Laesti juga Ayah rasa perlu hiburan, dan mendapatkan udara segar di luar, supaya nggak jenuh belajarnya.” Mata Fahri dan Laesti membulat. “Serius, Yah?” tanya mereka berdua bersamaan. “Tentu serius dong.” “Asyik! Kita piknik!” seru Fahri gembira. Laesti manggut-manggut. “Oh, pantas. Jadi masakan yang Ibu siapkan tadi itu untuk dibawa pergi berpiknik? Katanya mau buat makan siang,” kata Laesti. “Lho, benar kata Ibu kan? Untuk makan siang. Kan nanti kita makan siang di alam terbuka. Terus untuk makan malamnya Ibu juga sudah siapkan kering-keringan. Tinggal beli tambahan sayur saja, pas arah pulang nanti. Jaga-jaga kalau kita semua kecapekan setelah piknik,” jelas sang Ibu. “Hm, Ibu. Coba bilang dari kemarin. Kan Laesti bisa buatkan kue untuk dibawa,” keluh Laesti. “Sudah, bawaannya sudah lumayan banyak kok. Nanti kalau nggak cukup kan bisa jajan di jalan.” Laesti mengangkat bahunya. Fahri menjawil lengan Laesti. “Apa?” “Kok Kak Laesti nggak sesemangat Fahri? Ini kan pasti seru, Kak! Ayo dong, senyumnya mana?” “Nih,” kata Laesti sambil meringis, memarmerkan giginya. “Ih, ada cabe yang keselip di gigi,” goda Fahri. Laesti mencibir. “Nggak mungkin, Orang Ibu kalau buat nasi goreng itu bumbunya super halus kok!” “He he he! Kirain bakalan ketipu,” ungkap Fahri iseng. “Nah. Setelah ini kalian siap-siap sambil nunggu makan turun, ya. Ayah sambil bawakan tikar ke depan.” “Fahri bantu, Yah.” “Kalau Laesti bantu Ibu untuk membungkus makanan yang mau dibawa.” “Wah, Ibu bilang juga apa? Nggak ada berkah yang lebih besar dibandingkan memiliki Sepasang anak yang berbakti seperti kalian berdua.” Tawa mereka berderai. Suasana rumah tampak cerah ceria. Demikian juga ketika mereka berempat sudah berada di luar pagar rumah. Namun Laesti bagai terhalang untuk meresapi sepenuhnya suka cita yang dominan mewarnai rumah mereka saat ini. Dia seperti dibayang-bayangi sesuatu yang misterius, yang dia sendiri tak dapat menerjemahkannya secara jelas. Entahkah itu berupa zat, bayangan, rasa, ataukah roh yang beterbangan. Dia hanya tahu, dia ingin menggenggam kebersamaan ini erat-erat. Dia takut, ‘Sang Pengancam’ hendak merebut keindahan yang tengah mereka miliki saat ini. Tak sadar, tangan Laesti mengepal, menyerupai gerakan menggenggam, memeprtahankan sesuatu. Sementara Sang Ayah memastikan pagar terkunci dengan benar, Fahri dan Laesti berdendang. Ibu mereka mengamati dengan senyum yang terus terkembang di bibir. “Ih, hujan begini lho Yah!” Seruan Laesti mengusik Tiga Orang yang berdiri di dekatnya. “Mana hujan? Enggak kok,” kata Sang Ayah sembari tertawa lebar, seolah mendengar Sang Putri tengah melucu. Laesti menadahkan telapak tangannya ke langit. “Ini,” kata Laesti, yang merasakan ada tetes air hujan membasahi telapak tangannya. “Enggak dong, Orang langitnya cerah begini,” kata Sang Ibu. “Iya nih, Kak Laesti mengada-ada.” “Ini, lihat, tangan Laesti basah. Ada tetes-tetes air hujan. Memang baru seperti bakal gerimis. Kan kadang ada hujan yang turun walau langit terang, Bu.” “Mana coba?” Fahri yang penasaran memegang tangan Kakaknya. “Ih, Kak Laesti masih ngantuk, ya? Atau mungkin makannya kebanyakan, jadi ngantuk jilid dua? Ini lho Kak, tangan Kak Laesti kering kerontang begini,” komentar Fahri. “Ih kamu kok nggak percaya.” Laesti menggosokkan telapak tangannya yang dirasanya sudah basah kini. “Ayo, kita berangkat.” Ajakan Sang Ayah yang telah memastikan pagar rumah mereka terkunci, terdengar. Laesti mendengar gemuruh di angkasa. Firasat buruk melintas di benaknya. “Yah, bagaimana kalau kita tunggu sampai hujan benar-benar turun dan akhirnya mereda? Dari pada kita terganggu nanti, sudah gelar tikar piknik, lagi makan, tahu-tahu hujan lebat. Kebingungan nanti kita.” “Enggak. Tenang saja, kita ada bawa payung juga. Ayo, semua masuk ke dalam mobil,” kata Sang Ayah, menunjuk mobil inventaris kantor yang sehari-hari dipergunakannya untuk pergi dan pulang dari kantor. Keresahan menggoda. Laesti menengadahkan kepalanya. Dia tercekat. Dia melihat ada awan hitam di atas sana. Dan awan hitam itu bergerak terus, sehingga kini tepat berada di atas mereka. Laesti ketakutan. Dicekalnya tangan Sang Ayah. “Ayah,” kata Laesti lirih. Laesti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada kilasan peristiwa yang mendadak bagai film singkat yang diputar tepat di depan matanya. “Tidak! Tidak!” Laesti ketakutan luar biasa. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN