Episode 10 : Perasaan yang Berbeda
Roda waktu terus berputar, tiada henti barang sekejap pun.
Kehidupan berjalan sebagaimana adanya. Demikian pula bagi Fahri, Laesti serta Nanang.
Meski, mereka bertiga yang sejatinya terkoneksi satu sama lain ini, menjalani sehari demi sehari dalam suasana hati yang berlainan satu sama lain.
Nanang sedang rajin menjemput berbagai proyek kecil meskipun hanya renovasi rumah, untuk mengisi pundi-pundi uangnya. Dia bagai termotivasi untuk menambah tabungannya sebanyak mungkin sebelum mempersunting Laesti. Dan dia melihat, harapan itu semakin nyata dengan telah bekerjanya Fahri. Dia merasa bahwa ke depannya nanti Laesti mulai dapat belajar untuk mengurangi rasa tanggung jawabnya kepada Sang Adik, memberikan kepercayaan yang amat diperlukan bahgi Sang Adik untuk dapat membuktikan kemandiriannya.
Sementara Fahri yang baru saja memasuki dunia kerja, tampaknya cukup dapat menerima bahwa kesempatan kerja yang datang kepadanya tidak sepenuhnya dapat dipergunakan bagi dirinya untuk mengimplementasikan segenap kemampuan yang dia miliki.
Pun begitu, di tempat kerjanya Fahri tampil sebagai Seorang Pegawai Baru yang rajin mempelajari apa saja, bahkan yang di luar tanggung jawabnya. Fahri menjadi Sosok yang menyenangkan dan ringan tangan. Dia mau membantu Siapa saja setelah apa yang menjadi tanggung jawabnya terselesaikan. Satu lagi, dia adalah Sosok yang cepat belajar.
Makanya, tentu agak mengherankan bagi Laesti setiap kali melihat Fahri yang berangkat pagi-pagi tetapi pulang ke rumah menjelang malam. Dia sangat terusik menyaksikan wajah lelah Fahri setiap kali tiba di rumah. Dia juga tak rela kalau waktu istirahat Sang Adik menjadi terpangkas begitu banyak karena pekerjaan yang seolah tiada habisnya. Yang paling membuatnya tak rela adalah, karena dia tahu berapa kisaran nominal yang akan diterima oleh Fakri atas kerja kerasnya.
Laesti berpikir, jumlahnya terlalu kecil. Kurang layak karena juga belum mendapatkan berbagai tunjangan seperti Karyawan lain yang telah lolos masa percobaan.
Laesti tak ingin Adiknya itu jatuh sakit.
Saking terusik, pernah Laesti bertanya, “Fahri, sebenarnya pekerjaan kamu itu seberapa banyak, sih, kok jam kerjanya panjang sekali?”
Pertanyaan yang ditanggapi oleh Fahri dengan senyuman dan memberikan isyarat bahwa dirinya hendak membersihkan badan dulu, baru setelah itu mau mengobrolkan apa yang ditanya oleh Sang Kakak.
Tetapi apa yang terjadi?
Seusai Fahri mandi, dia malah mendapati Sang Kakak tertidur di sofa.
Fahri tahu, Kakaknya juga pasti mengalami kepenatan. Sudah lelah bekerja di kantor, sepulang dari kantor masih kerap menyiapkan makanan untuknya pula.
Karenanya Fahri tak pernah ingin mengusik Sang Kakak dengan membangunkannya dan menyuruh pindah ke dalam kamar.
Dia memilih mengambil selimut untuk Sang Kakak, sementara dirinya sendiri juga mengalah, tidur di sofa lainnya di ruangan tengah yang merangkap ruang makan tersebut. Dia tidak tidur di kamarnya melainkan menemani Sang Kakak.
Pada kesempatan lain, Laesti yang melihat Sang Adik menikmati sarapan dengan terburu-buru, menegurnya, “Kenapa makannya buru-buru Nanti kamu bisa tersedak, Fahri.”
Fahri langsung menggeleng dan menjawab, “Nggak Kak Laesti. Tapi setiap menit memang berharga kok. Supaya aku bisa lebih cepat sampai di tempatku bekerja.”
Laesti menelan rasa kesalnya.
Padahal sejatinya, banyak keluhan yang mendesak, hendak keluar dari mulutnya. Dia sadar, kalau dia mengeluarkan unek-uneknya secara terperinci, dapat memetahkan semangar kerja Sang Adik.
“Fahri, nggak salah untuk rajin bekerja. Tapi Kakak nggak mau kamu sampai jatuh sakit. Kamu berangkat sepagi ini, lalu pulangnya saja sudah larut malam. Kakak saja sampai mengantuk menunggu kamu.”
Fahri terdiam sejenak.
Ada sesal yang menyelip di sanubarinya.
Lalu sambil menelan makanan yang ada di mulutnya, Fahri berkata dengan nada rendah, “Kak Laesti, aku minta maaf, merepotkan Kak Laesti terus.”
Laesti mengernyitkan kening.
“Merepotkan bagaimana?”
“Itu, Kak Laesti sampai mengantuk menunggu aku. Lain kali Kak Laesti langsung istirahat saja kalau sudah mengantuk.”
Laesti geregetan karena Sang Adik malah salah memaknai kecemasannya.
“Bukan itu yang menjadi poin-nya Fahri. Kakak nggak pernah merasa direpotkan. Kakak hanya...”
“Hanya apa Kak?”
Laesti meneguk minumnya. Tenggorokannya mendadak terasa seret akibat pertanyaan yang diajukan Fahri.
Disentuhnya pundak Sang Adik.
“Fahri, kamu jangan salah sangka. Kakak senang karena kamu terlihat bersemangat dalam bekerja. Tetapi..”
“Tetapi apa Kak?” kejar Fahri yang merasa tak enak untuk segera berangkat bekerja dengan meninggalkan sebuah pertanyaan yang belum terjawab.
Dengan susah payah Laesti menata kata, mengungkapkannya sehari-hati mungkin dan berharap Sang Adik tidak akan tersinggung.
“Fahri, bukannya di tempatmu bekerja itu pakai sistem shift, nya? Kok kamu itu seperti menjalani long shift terus? Apakah ada yang mengerjai kamu yang Anak baru, menyuruhmu ini itu sehingga kamu pulang malam terus?”
Fahri tercengang mendengar pertanyaan Sang Kakak.
Dia menggeleng cepat.
“Aku mau belajar ini dan itu Kak. Dan aku senang kok menjalaninya,” ucap Fahri lirih.
Laesti menahan diri.
Dia tak mau menambah beban Fahri meski dia merasakan ada yang tak beres.
“Yang penting, kamu ukur tenaga kamu, ya. Jangan setiap hari juga pulang malam. Kamu itu perlu istirahat yang cukup. Dan kita juga semakin jarang ngobrol-ngobrol.”
Fahri mengangguk.
“Pasti, Kak. Nanti deh, kalau sudah diangkat jadi Karyawan tetap, mungkin aku bisa lebih enjoy kerjanya.”
Laesti tak ingin memperpanjang masalah, meski sebenarnya ada rasa tak puas yang mengganggunya.
Seusai masa percobaan? Masa percobaan itu tiga bulan! Kakak nggak rela! Kalau begini terus, Kakak akan bicara ke Ahmad. Biar dia bisa mencarikan jalan keluar. Atau jangan-jangan, dia nggak tahu apa yang terjadi sama kamu? Batin Laesti sebal.
Seakan tahu jalan pikiran Sang Kakak, Fahri langsung berkata, “Kak, percaya deh sama aku. Ya nggak mungkin juga aku ini sampai tiga bulan setiap hari pergi pagi pulang malam. Semoga hanya dua atau paling lama tiga minggu, ya.”
Jawaban itu saja hampir membuat Laesti menjerit.
Untung saja masih ada kesadaran yang menegurnya untuk tak melakukan hal itu.
Dia hanya mengangguk dengan berat hati seraya berharap, bahwa dua minggu adalah waktu maksimal.
“Kak, mau kemana?” tanya Fahri yang melihat Sang Kakak bangkit berdiri.
“Sebentar,” sahut Laesti.
Laesti melangkah ke dapur, lantas kembali dengan rantang plastik berbentuk kotak dan berwarna-warni.
“Apa itu Kak? Kak Laesti mau bawa bekal?” tanya Fahri.
Laesti menyentuh sisi luar dari tiga buah kotak yang dia bawa, lantas menyusunnya setelah memastikan kotak itu sudah tak panas lagi.
Dia lantas memasukkan tiga buah kotak tersebut ke dalam sebuah tas ramah lingkungan.
“Kamu bawa ini, ya. Lumayan untuk ngirit. Bisa untuk makan siang dan sore. Ini ada nasi putih, ada lauk pauk, sayur dan juga mi goreng. Yang mie goreng sama telur ceplok bisa untuk makan sore.”
Fahri menatap Sang Kakak dengan penuh haru.
“Tuh kan, aku merepotkan Kak Laesti terus. Lain kali nggak usah repot-repot Kak. Tadi aku pikir Kak Laesti bawa bawa semua itu untuk bekal Kak Laesti. Lagi pula, di dekat tempat kerjaku banyak yang jual makanan, Kak.”
“Nggak apa. Kakak khawatir kamu terlalu sibuk bekerja sampai terlambat makan. Terus kalau bawa dari rumah kan lebih bersih, Fahri.”
“Terima kasih banyak Kak.”
“Sama-sama. Nanti kamu bawa sepeda motornya jangan ngebut, ya. Hati-hati di jalan. Pokoknya, kalau kamu bisa pulang seawal mungkin, ya lakukan saja. Percaya sama Kakak, yang namanya pekerjaan itu nggak akan pernah ada habisnya.”
“Iya, Kak. Sekali lagi terima kasih.”
Ada sebuah tekad yang tertanam kuat di benak Fahri saat itu juga. Dan itu diucapkannya.
“Aku nggak akan mengecewakanmu, Kak. Nanti kalau aku gajian, aku traktir, ya.”
Laesti tersenyum.
“Nanti Kakak akan ingatkan kalau lupa,” godanya.
Fahri balas tersenyum.
“Boleh Kak. Asal jangan yang mahal-mahal ya.”
“Wah, aku pasti pilih makanan yang termahal.”
Sesaat, keduanya tertawa kecil secara bersamaan.
Fahri sangat terhibur.
Karenanya dia dapat berangkat ke tempat kerjanya dengan hati yang riang, lantaran merasa bahwa Sang Kakak sudah tak terlampau mencemaskan dirinya.
Sayangnya, tidak demikian dengan Laesti.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun kala dia melepaskan kepergian Sang Adik hingga ke teras depan, dia tersapa rasa hampa yang serupa. Hampa yang betah mengendap seharian, dan baru sedikit terusir malam harinya ketika Sang Adik pulang, dan akan kembali hadir saat dia menatap punggung Sang Adik yang kian menjauh.
Itu yang terjadi setiap harinya.
Laesti merasa dirinya bak berada di ruangan yang kosong melompong, hanya dirinya saja yang ada di sana.
Perasaan yang baru dapat sedikit teralihkan setibanya dirinya di kantor dan menekuni tugas hariannya.
Laesti ragu, apakah dia akan mampu melewati semua ini.
Terlebih, memasuki minggu kedua Sang Adik bekerja, mimpi buruk mulai menyambangi tidurnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $