Episode 12 : Awan Hitam, Kabut Gelap (2)
Laesti menggoyangkan kepalanya dengan kuat, seakan dengan begitu, rasa takutnya bakal terusir dan semua kembali terkendali.
Malangnya, usaha yang dilakukan oleh Laesti tersebut tidak terlalu membantu dirinya dalam menghalau rasa resah dan panik.
Yang tampak olehnya kini adalah pekat yang datang begitu cepat ke arahnya, bagaikan gelombang tinggi yang menghempas area pantai. Pekat yang tak tertembus oleh tatapan mata.
Laesti merasa pekat itu kini mengelilingi kendaraan yang akan membawa mereka ke tempat piknik. Laesti seolah mendapatkan petunjuk yang sulit dimengerti. Firasat buruk yang entah apa. Seketika, hal itu membuat langkahnya yang semula bermaksud untuk menyusul Ayah, Ibu, serta Fahri ke dalam mobil ke mobil terhenti.
Badan Laesti menegang layaknya Orang yang tengah mengalami serangan kram yang parah.
Pekat yang menyelimuti, kini terlihat bagai membungkus badan mobil juga, membuat Laesti berusaha meraba-raba dengan kedua telapak tangannya seperti yang dilakukan Orang buta untuk memastikan tidak ada penghalang di depan mereka.
Dia keheranan karena tak dapat lagi melihat Ketiga Orang yang dicintainya di dalam mobil saking gelapnya.
“Ayah, Ibu, Fahri! Kalian ke mana?” teriak Laesti sekeras mungkin.
Tetapi tidak ada satu orang pun dari mereka yang menjawabnya.
Laesti kembali berteriak. Kali ini lebih keras lagi. Dia berharap ada yang menyahuti dirinya. Akan tetapi, lain yang diharapkannya, lain pula yang didapatkannya. Sampai lelah dia berteriak, rasanya suaranya bagai di ruangan kosong, terdengar bergema di telinganya sendiri.
Laesti putus asa.
“Ayah! Ibu! Fahri! Ayah! Ibu! Fahri!” serunya dengan setengah putus asa.
Dia merasa hujan mulai menderas.
Dia menggigil kedinginan.
Dia merasa sendirian, hanya berteman sunyi saja.
Ya ampun! Apa yang sebenarnya terjadi? Mana mungkin hujan yang turun nggak bisa mengusir pekat yang menghalangi pandangan mataku? Ini yang dinamakan badai atau apa? Pikir Laesti.
Lantas dia merasakan angin kencang yang menghempas tubuhnya.
“Tuhan, tolong!” teriak Laesti ketakutan.
Leasti berusaha menatap ke sekelilingnya, ke atas, ke bawah, ke depan, tetapi selebar apa pun dia membelalakkan matanya, tidak ada sesuatu benda pun yang tertangkap pandangan matanya. Hanya hitam. Kelam. Melebihi suasana malam.
“Ayah! Ayah, tolong Laesti!” teriak Laesti lagi.
Tiada respons dari Sang Ayah.
“Ibu, Laesti kedinginan. Apa nggak sebaiknya kita batalkan saja acara pikniknya? Kita menghabiskan waktu di rumah saja?” rengek Laesti kemudian.
Ini juga sama saja dengan pekerjaan yang sia-sia. Suaranya laksana memantul, dari mulut berputar sekian senti untuk kembali ke telinganya.
“Fahri! Fahri, kamu dengar Kakak tidak? Turun dari mobil, Fahri! Kak Laesti nggak bisa melihat apa-apa. Sepertinya kita nggak usah pergi saja,” pinta Laesti kemudian.
Hasilnya setali tiga uang.
Tiada suara lain kecuali suara dirinya Seorang.
Bahkan deru angin atau kilat juga semakin menjauh pergi. Seperti tidak pernah ada suara kilat.
Laesti baru tersadar, ternyata senyap yang merayap itu lebih menyeramkan ketimbang jenis suara lain yang tadi mengintimidasi dirinya.
“Kak Laesti! Cepat! Nanti keburu panas. Nggak asyik mainnya di sana!”
Suara Fahri terdengar.
Bersamaan dengan itu, segalanya menjadi normal kembali sebagaimana sebelum Laesti mendapatkan kilatan bayangan serta ‘pengalaman’ aneh yang menggetarkan hatinya.
Dia dapat melihat Fahri sudah memasang wajah tak sabar, sementara Ayah dan Ibu yang duduk di jok depan memberikan isyarat agar dirinya segera masuk ke dalam mobil.
“Apa sih maksud penglihatan yang aku alami barusan? Kok seram sekali?” gumam Leasti lirih.
“Kak Laesti! Bengongin apa sih! Fahri hitung sampai sepuluh ya, kalau nggak cepat duduk di samping Fahri, kita tinggal saja ya Yah!”
Sang Ayah tertawa mendengar ancaman Putra Bungsunya.
“Laesti, ayo masuk! Cepat, Nak! Supaya kita bisa lebih lama bersenang-senang di alam bebas,” ujar Sang Ibu.
“I.. iya, Bu,” sahut Laesti, tergeragap.
Laesti menatap ke langit.
Kemana perginya awan hitam tadi? Yang mengawali ‘teror’ barusan? Dan mengapa..., mengapa pakaianku juga kering? Jadi tadi itu sebenarnya hujan atau nggak? Terus kok sikap Ayah, Ibu, dan Fahri biasa saja? Seperti nggak terjadi apa pun ke diri mereka? Ataukah..., aku saja yang mengalami? Nggak mungkin, kan? Apa jangan-jangan, aku berhalusinasi? Atau bisa jadi..., ini adalah sebuah pesan terselebung yang hendak disampaikan oleh semesta kepadaku? Tapi artinya apa? Siapa yang bisa aku tanyai? Batin Laesti sambil memerhatikan pakaiannya yang tidak basah sama sekali.
Laesti tak habis pikir, mengapa tidak ada satu Orang pun, baik Kedua Orang tuanya maupun Sang Adik, yang juga ada di dalam ‘pengalaman singkat’nya barusan.
Pasti mereka nggak melihat situasi yang mengherankan barusan. Kalau melihat, mana mungkin wajah Ayah, Ibu, serta Fahri masih semringah dan penuh semangat begitu? Kejadian barusan itu sangat menyeramkan. Ini aku kenapa sih? Apakah karena aku kurang tidur, jadinya pikirannya melantur? Atau bagaimana sebenarnya? Aku kok jadi pusing memikirkan ini, keluh Laesti di dalam hati.
Apa yang dilakukan Laesti jelas memperlambat gerakannya. Di sisi lain, mempercepat ‘menguapnya’ rasa sabar Fahri yang merasa Kakaknya itu membuang waktu secara tidak jelas.
“Kakak! Satu, dua..,” Fahri mulai menghitung.
Laesti menatap Sang Adik.
Wajah Fahri sudah disetel menyaingi Dosen Killer yang mendapati Mahasiswa baru terlambat datang ke kelas di mana dia mengajar dan berpakaian serampangan pula.
“Iya, iya,” sahut Laesti mangkel.
Fahri meleletkan lidahnya, merasakan kemenangannya.
“Nggak sabaran banget sih kamu, Fahri? Sabar sedikit kenapa? Cuma beda berapa menit juga,” tegur Laesti seraya menutup pintu mobil.
“Habis, Kak Laesti kelamaan ngelamun, tahu nggak! Berapa menit apaan, lama lho itu! Kakak drama banget, ah.”
Sang Ibu menoleh ke belakang untuk memastikan kedua buah hatinya telah siap berangkat.
Lantas Ia menepuk pundak Suaminya dan berkata, “Ayo Yah, kita jalan sekarang.”
“Oke, semua sudah siap, kan?” sahut Sang Suami ringan sekaigus melemparkan kalimat tanya.
“Kalau yang ditanya Fahri, sudah dari tadi siap, Yah. Kalau Kak Laesti, entah juga. Biar Kak Laesti jawab sendiri.”
Sang Ayah tertawa.
Ibu ikut tertawa.
Laesti hanya sanggup mengerucutkan bibirnya.
Mobil pun distarter dan melaju meninggalkan area rumah mereka.
Di saat ini, hampir saja Laesti mengucapkan ke Sang Ayah untuk menghentikan laju mobil dan sebaiknya berputar balik sebelum jarak kian jauh. Mulut Gadis itu telah terbuka. Akan tetapi, ia merasa ada yang membekap mulutnya dengan kuat, tak kuasa dilawannya.
Sekali lagi Laesti merasakan sebuah perasaan yang aneh melintas.
Hatinya terasa demikian berat. Seberat langkah kakinya yang bagai tertancam ke dalam tanah.
Dia seperti tak rela meninggalkan rumah. Seperti ada yang akan tercabut dari dirinya. Tercabut secara paksa dan dilakukan dengan begitu cepat, oleh sebuah kekuatan asing yang tak terlihat dan tak terdeteksi kehadirannya.
Pada detik berikutnya seakan-akan ada yang membisikkan ke telinga Laesti bahwa saat ini rumah adalah tempat perlindungan paling baik bagi mereka sekeluarga.
Pandangan matanya terus tertuju ke bangunan rumah yang ditinggalkannya.
Dia tak tahu kalau tindakannya itu dieprgoki oleh Sang Adik.
“Tuh kan, dramanya semakin kental,” komentar Fahri.
“Apa sih drama, drama? Drama apaan, Fahri?” protes Laesti.
“Kakak itu kelamaan banget minta kita semua nungguin Kakak, tahu nggak.”
Fahri bersungut-sungut.
“Sudah, sudah, jangan bertengkar lagi. Yang penting sekarang kita sudah di perjalanan,” lerai Sang Ibu.
Fahri mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Fahri, ada apa? Kamu yang benar duduknya. Ayo bersandar dan pakai safety belt kamu.”
“Cuma sebentar saja Bu, ada yang mau Fahri bilang ke Ibu.”
“Cepat, jangan lama-lama.”
Fahri mengangguk.
“Bu, tadi lihat kelakuan Kak Laesti nggak?”
“Yang mana?”
“Ya waktu mau pergi itu.”
“Oh..”
Laesti mengerling tajam ke Sang Adik.
“Lama kan Bu, ngelamunnya? Menurut Ibu, itu berlebihan nggak? Kita itu cuma mau piknik sebentaran dan nanti sore menjelang malam juga sudah balik ke rumah. Eh Si Kakak, kayak mau berpisah selamanya sama rumah. Kayak lagu lama itu Bu, apa judulnya...?” Fahri menggaruk-garuk kepalanya.
Lalu dia bagai mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
“Oh ya ya ya! House for sale... you can read it on the sign, house for sale..,” ucap Fahri setelahnya sembari berdendang.
Sang Ibu terbahak.
“Kamu jangan menggoda Kakakmu terus, Fahri!”
Laesti yang gemas akan perbuatan Sang Adik mencubit Fahri.
“Aduh! Cubitannya Kak Laesti maut,” jerit Fahri keras.
Jelas ada nada mengejek yang terisrat di dalamnya.
“Ciiit!”
Mendadak terdengar rem mobil berdecit.
Mobil direm secara mendadak.
Badan Fahri terguncang ke depan, tetapi jauh sebelum kepalanya telanjur membentur dashboard mobil, dia merasakan ada tarikan keras dari arah belakang. Tangan Laesti spontanmenjangkau dan melingkari tubuh Sang Adik, menahannya sekaligus menarik ke arah belakang.
Fahri tercengang dan menoleh ke samping. Dia belum sempat mengatkaan apa pun ketika telinganya mendengar suara Sang Ayah, “Maaf. Maaf. Kalian semua kaget, ya? Fahri, kamu nggak apa-apa?”
Fahri mengeleng dan menatap penuh terima kasih kepada Laesti.
“Kak..”
Itu saja yang mampu dilontarkannya.
Laesti mengangguk dan memberi isyarat agar Sang Adik bersandar .
Bukan itu saja.
Laesti juga menyodorkan sebotol air minum kemasan kepada Fahri.
Fahri menatapnya dan berkata, “Terima kasih Kak.”
“Minum dulu, Tenangkan diri kamu.”
“He eh.”
“Ayah! Ada apa?” tanya Sang Ibu.
“Lihat di depan itu. Tadi ada yang menyeberang sembarangan dan secara mendadak,” jelas Ayah.
Diam-diam Laesti menyesal, karena dia terlalu berfokus pada Fahri, jadinya tidak ikut memerhatikan keadaan jalan di depan mereka. Andai saja dia turut memerhatikan, dia yakin dia akan sempat memperingati Sang Ayah. Lebih-lehib, tadi badan Fahri agak menghalangi pandangan matanya ke depan.
“Fahri sempat terbentur nggak tadi?” tanya Sang Ayah setelahnya.
Fahri menghentikan kegiatannya minum.
“Enggak, Yah. Sudah keburu ditarik sama Kak Laesti.”
Sang Ayah menarik napas panjang.
“Terima kasih ya Laesti,” kata Sang Ayah lantas mulai melajukan kendaraannya lagi.
“Nggak apa, Yah. Untung juga tadi itu Ayah nggak sedang mengebut ya.”
“Ibu juga minta maaf karena nggak ikut memerhatikan keadaan jalan. Maaf ya, Yah,” ucap Ibu.
“Fahri yang paling salah. Fahri ajakin Ibu ngobrol soalnya. Atau jangan-jangan, karena Fahri kebanyakan bercanda dan menyebut-nyebut kata maut segala tadi itu. Maafkan Fahri ya, Yah.”
Sang Ibu menoleh sesaat ke belakang.
“Jangan terlalu dipikirkan, ya. Tapi benar juga, kita jangan kebanyakan bercanda dan sebaiknya memang menghindari untuk menyebut kata-kata yang tidak baik,” kata Ibu lembut.
Fahri mengangguk-angguk membenarkan Sang Ibu.
Dalam sekejap, suasana jadi terusik.
Ayah rupanya amat menyadari perubahan itu.
“Eeeh..., ini apa coba, mengapa semua saling menyalahkan diri sendiri dan meminta maaf. Ayah yang mengemudikan kendaraan ini. Jadi tanggung jawab sepenuhnya ya di tangan Ayah. Tadi itu Ayah nggak tahu, sempat sekian detik pandangan Ayah seperti terhalang secara mendadak, lalu secara tiba-tiba juga, ada Orang yang menyeberang sembari berlari,” kata Ayah.
Laesti tercenung.
Pandangan Ayah terhalang? Apa ini semacam peringatan bahwa sebaiknya kami pulang saja? Toh rencana piknik ini nggak harus banget? Tanya Laesti dalam diam.
Dia menimbang-nimbang.
Selagi Laesti hendak mengutarakan apa yang ada di pikirannya, Ibunya berkata, “Jalannya lebih pelan dan lebih hati-hati saja, Ayah. Ibu bantu melihat ke depan. Buat berjaga-jaga.”
Ucapan Sang Ibu ampuh untuk mengurungkan niat Laesti.
Dia menangkap kesan, Ibunya masih bersemangat untuk menjalankan rencana mereka. Dia tak ingin merusak suasana hati Sang Ibu.
Ya sudahlah. Mungkin sebaiknya aku berdoa dalam hati meminta perlindungan dan keselamatan, serta menyingkirkan prasangka buruk yang mengganggu ini, pikir Laesti akhirnya.
“Ya, Bu. Skeali lagi Ayah minta maaf.”
“Nggak apa, Ayah. Aaah, setidaknya kita semua masih dilindungi. Semoga perjalanan ini menyenangkan dan semoga kita diberi keselamatan,” sahut Ibu.
“Amin,” sahut Ayah, Laesti, dan Fahri bersamaan.
“Tapi Ibu mau berterima kasih sama Laesti.”
“Kenapa, Bu?”
“Semestinya tadi Ibu yang bergerak refleks. Tetapi entah mengapa tangan Ibu seperti susah untuk digerakkan. Nah, kalau tadi Laesti nggak cepat menarik Fahri, mungkin kepala Fahri sudah benjol kena dashboard.”
“Sudah seharusnya, Bu,” sahut Laesti.
Ibu tersenyum.
“Seperti itu terus ya kalian berdua. Saling jaga. Laesti, biarpun kamu ini Anak Perempuan, tetapi karena kamu adalah Anak yang tertua, jadinya lindungi Adikmu, ya, terutama kalau nanti Ayah dan Ibu sudah tidak ada lagi bersama kalian.”
Laesti tercekat.
Dia tak menduga sama sekali Sang Ibu akan berkata seperti itu.
Ada keresahan yang menyapanya lagi, tiada terhindarkan.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $