Episode 3 : Halusinasikah? Atau Pertunjuk Tertentu, Sebenarnya?
“Enggak ada hubungannya sama pe em es, Ibu. Si ‘bulan’ sudah datang seminggu lalu dan sekarang sudah selesai. Tuntas tas tas tas. Ini adalah soal kesabaran yang disia-siakan. Kesabaran yang diboroskan secara percuma, tidak pada tempatnya,” balas Ruri tak mau kalah.
Sang Ibu mulai tersapa rasa enggan menghadapi kekerasan hati Sang Anak. Pun begitu, dia masih berusaha mengajuk hati Ruri.
“Sudah, sudah! Kamu ya Ruri, dikasih tahu baik-baik sama Ibu bukannya mendengarkan tapi malahan ngebantah melulu dari tadi. Mendingan kamu duduk tenang di situ. Nggak usah blingsatan macam punya bisul besar di p****t yang mau pecah begitu,” suruh Bu Halimah.
“Ibu nggak masuk ke dalam?” tanya Ruri, mengalihkan pembicaraan.
Meski menangkap rasa tak suka dari Ruri atas keberadaannya di teras, Sang Ibu menegarkan hati. Ia menggeleng.
“Enggak. Nanti saja, sekalian mau menutup pagar pas kamu sudah berangkat,” sahut Bu Halimah ringan.
“Ya sudah kalau begitu,” sahut Ruri ogah-ogahan.
Baru saja Ruri mengatupkan bibirnya, terdengar deru mesin sepeda motor yang mendekat. Tak seberapa lama kemudian, sebuah sepeda motor tampak melipir di dekat pagar, diringi bunyi suara klakson.
“Tuh, mungkin makananmu datang. Nah, samperin, sana! Sekalian minta maaf, karena kamu sudah neleponin si Abang Ojek melulu,” suruh Bu Halimah.
Ruri mengernyitkan kening mendengarnya.
Minta maaf? Abangnya kali, yang harus minta maaf ke aku! Batinnya mangkel.
Ruri segera beranjak dari teras dan melesat ke arah pagar. Dibukanya pagar, siap mengomel Seorang tukang Ojek yang mengenakan jaket berwarna oranye khas Gerep Jek mengangguk santun pada Ruri.
“Selamat Siang. Betul ini rumahnya Kak Ruri? Saya Shandro dari Gercep Jek mau mengantarkan pesanan makanan Kak Ruri,” sapa Shandro sopan, sesuai dengan Standard Operating Procedure yang berlaku di perusahaan tempatnya bekerja.
“Pakai tanya segala. Nggak perlu basa-basi. Ngulur waktu saja bisanya. Sini, pesanan makanan saya mana?” sahut Ruti yang sewot.
Shandro masih mengangguk sopan. Dia merasa lega karena tidak salah alamat. Terlebih karena yang menerima pesanan ternyata adalah Ruri sendiri.
“Oh. Baik Kak Ruri. Ini pesanannya mohon dicek dulu Kak,” ucap Shandro sembari menyodorkan tas plastik bertuliskan ‘Spicy, Delicious, only for you’ yang merupakan tag line dari restaurant Bento yang satu itu, kepada Ruri.
“Kamu itu benar-benar bikin saya kehabisan kesabaran tahu nggak? Jangan-jangan baru belajar naik motor ya, jadinya lelet bawa motornya!”
Dengan kasar, Ruri setengah merebut tas plastik yang disodorkan padanya. Dia mendelik sebal kepada Shandro.
Shandro diam sesaat, menyadari kesalahannya.
“Mohon maaf agak lama mengantar pesanan Kakak. Jalannya macet sekali, terutama di depan rumah sakit ‘Kencana’ karena ada jalan berlubang yang cukup besar. Terima kasih atas kesabaran Kakak menunggu,” sesal Shandro.
Ruri mendengkus.
“Agak lama dari Kong Kong! Saya nunggunya lama banget, tahu nggak? Bikin selera makan saya hilang saja. Saya kasih bintang satu, nanti. Dan saya akan laporkan juga ke Customer Service supaya kamu ditegur,” cerca Ruri sembari membayar pas, nilai pesanan makanannya. Jangan berharap memberi tip, namanya juga dia sedang kesal to the max. Sedangkan dalam keadaan normal saja dia jarang tergerak untuk memberikan tip.
“Terima kasih banyak ya Kak. Dan maaf telah membuat Kakak menunggu,” ujar Shandro sembari menerima p********n dari Ruri.
“Terus ngapain kamu masih di sini? Kamu berharap saya mau memberi kamu tip? Huh! Dasar nggak tahu diri. Saya nggak batalkan orderannya saja sudah bagus tahu nggak!”
Shandro mempertemukan kedua telapak tangannya di d**a seraya mengangguk santun.
“Mohon maaf. Tidak seperti itu Kak. Saya hanya hendak memastikan, apakah pesanannya sudah sesuai Kak? Kalau Kakak tidak keberatan, mohon dicocokkan dengan struk penjualan dari restaurant. Dan Mohon maaf, sekali lagi. Saya mengaku salah tentang keterlambatan pengantaran dan layanan yang kurang berkenan.”
Shandro menganggukkan kepalanya yang masih mengenakan helm itu. Walau terus diomeli, dia masih saja bersabar dan menjalankan prosedur pengantaran yang berlaku. Juga tindakan antisipasi. Sebab, ada kalanya Pelanggan yang menyampaikan keluhan bahwa makanan yang dikirimkan tidak sesuai dengan pesanan, lama setelah sang Ojek Pengantar Makanan pergi.
Bukannya menyambut baik, Ruri justru membuang muka.
“Ruri, jangan begitu. Nggak sopan kamu ini!” teriak sang Ibu dari arah teras.
Shandro hanya mengangguk ke arah teras, sementara Ruri semakin panas hati, lntran merasa sang Ibu malah membela Shandro terus menerus.
“Maaf, maaf! Enak sekali, semua-mua diselesaikan dengan maaf. Lain kali jangan begitu, ke Pelanggan lain ya Mas! Lagi pula, ngapain lewat depan rumah sakit Kencana segala? Sudah tahu di situ setiap jam segini macet parah dan jalannya berlubang-lubang besar begitu. Kepengen kecelakaan, apa? Lawan tuh, truk trailer, sekalian, biar tahu rasa! Sudah tahu itu juga jalur kendaraan besar yang mau ke arah bandara. Dasar tukang ojek baru kali ya, jadi nggak tahu jalan!” Omel Ruri lagi. Lancar, selancar jalan bebas hambatan. Kelihatannya mulut Ruri sudah tidak memiliki rem lagi, untuk menyetop ocehan kasarnya.
“Ruri! Jaga omongan kamu!” kali ini Bu Halimah tergopoh melangkah ke arah pagar.
“Biarin, Bu, sudah seharusnya dia diomeli!” sahut Ruri seenaknya.
“Sekali lagi mohon dimaafkan. Tadi aplikasi error dan semua jalan macet, karenanya saya berusaha lewat jalan yang itu,” terang Shandro, berusaha meredakan kemarahan Ruri.
“Sudah! Pergi sana! Muak saya melihat kamu berlama-lama di depan rumah saya!” usir Ruri kejam.
Shandro tetap mengangguk santun padanya. Dengan sabar, dia menatap wajah Ruri dan berkata, “Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.”
Bu Halimah setengah berlari. Jarak dari teras rumahnya ke pagar memang lumayan. Ia bergegas mendekati pagar dan berkata, “Mas, maafkan Anak saya. Mohon jangan diambil hati, ya. Maafkan dia. Soalnya dia lagi ada masalah berat, itu, jadi uring-uringan bawaannya. Masnya tetap hati-hati di jalan, ya. Ini Mas, sekadar tip karena sudah mengantarkan makanan.”
“Tidak usah, Bu. Tidak apa-apa. Saya mohon dimaafkan, karena terlambat mengantar pesanan. Terima kasih. Mari Bu, Mbak,” Shandro menolak pemberian Bu Halimah dan mohon diri.
“Mas, tolong diterima. Tidak baik menolak rejeki.”
Shandro hanya mengangguk dan menstarter sepeda motornya.
“Terima kasih, Bu. Saya langsung saja. Semoga niat baik Ibu dibalas Tuhan.”
Bu Halimah merasa tak enak hati karena Shandro tetap tak mengambil tip yang ia sodorkan.
Langsung dipelototinya Anak gadisnya. Yang dipelototi berlagak tidak melihat.
Usai berkata begitu, Shandro membunyikan klakson dan berlalu. Tetapi sekelebatan, Ruri sempat melihat, ada darah kental yang menetes dari dahi ke arah pipi dan mulut Shandro. Ruri sedikit tercekat dan tak memercayai penglihatannya. Pun begitu, dia meraasa penasaran juga. Maka dilebarkannya pandangan matanya demi memastikan apa yang barusan ditangkap oleh indra penglihatannya itu.
“Aku ngaco dan berhalusinasi kali ya barusan, karena terlalu lapar? Uh, gara-gara tuh tukang ojek,” gerutu Ruri sendirian.
Sang Ibu terusik.
“Halusinasi apa?” tanya Sang Ibu yang mendengar gerutuan Anak Gadisnya.
Ruri mengedikkan bahu.
“Sudah, Bu, nggak usah dibahas,” elak Ruri, yang enggan membahas soal apa yang dilihatnya sekejap, barusan. Penglihatan yang tak sepenuhnya ia percayai. Bahkan sengaja iia halau sejauh mungkin agar tidak sempat mengendap di memory otak kirinya.
Sang Ibu mengernyitkan kening sesaat. Dicermatinya wajah Ruri tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Ruri kurang menyadari hal itu.
Ia sibuk sendiri dengan apa yang ada di pikirannya.
Untuk sebuah alasan yang tak dapat dimengerti, selintas perasaan tak nyaman menerpa Ruri. Tapi dia tahu, ini bukan rasa tak nyaman dikarenakan dirinya merasa bersalah atas perlakuannnya kepada Shandro. Dia yakin, ini tak ada hubungannya sama sekali dengan semua umpatan yang dilontarkannya kepada Shandro. Dia yakin bukan itu.
Dan semakin lama menerka-nerka dalam diam, Ruri merasa dadanya berdebar demikian kencang, seakan bakal ada kejadian yang mengejutkannya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $