Cerita 1 : Ojek Daring Pengantar Makanan (2)

1328 Kata
Episode 2 : Kesabaran yang terbuang sia-sia? Shandro tidak segera menjawab. Entahkah dia tengah menyabarkan diri, atau berusaha untuk sedikit melipir demi memosisikan dirinya ke tempat yang tidak terlalu berisik dengan tujuan supaya suaranya bisa terkirim kepada Sang Penelepon yang tengah marah-marah. “Hallo! Hallo! Kamu dengar tidak? Atau budek?” Suara Ruri terdengar amat nyaring. Emosi Gadis itu tampaknya meuap sempurna. Shandro berusaha untuk meredam kemarahan Ruri. “Mohon sabar ya, Kak. Ini jalannya sedang macet sekali. Mohon ditunggu, dan sekali lagi saya mohon maaf atas keterlambatan pengantaran ini. Saya akan usahakan untuk segera tiba di tempat Kakak. Terima kasih atas pengertiannya ya, Kak,” terdengar ucapan Shandro di antara hiruk pikuk situasi yang melatar belakangi suaranya. Seolah belum puas dengan keterangan Shandro yang masih sabar menghadapinya, Ruri masih terus mengomel panjang pendek. Sejumlah kata-kata makian pedas bahkan terucap dengan lancar dari celah bibir Gadis itu. Bedanya, kali ini dia tidak lagi mendengar sahutan dari Shandro. Ini jelas membuat Ruri bertambah gemas dan merasa tidak dihargai. “Heh! Dasar nggak sopan! Diajak bicara malahan diam saja! Seenaknya digratisin. Cepat, ya! Jangan lelet! Jangan kebanyakan alasan macetlah inilah, itulah! Cari jalan dong. Dasar Ojek t***l! Jangan sampai kesabaran saya habis dan membatalkan ordernya! Saya laporkan juga kamu ke Customer Service atas keterlambatan serta sikapmu yang nggak sopan dalam menangani keluhan pelanggan ini!” bentak Ruri ganas. Masih saja tidak ada sahutan dari Shandro. Hati Ruri semakin panas dibuatnya. Kemudian samar-samar, Ruri mendengar suara berisik bercampur suara panik dari beberapa wanita. Ada pekikan ngeri juga yang meerasuki gendang telingganya. Anehnya, Shandro malah tetap tak mengatakan apa-apa. Makin panas lah, hati Ruri, merasa Shandro benar-benar menantang dirinya dengan sengaja mengabaikannya. “Kurang ajar, diajak ngomong malah nggak nyahut.” Ruri yang sewot menutup teleponnya dengan kasar. Tetapi rasa penasaran menggodanya. Dia merasa belum sepenuhnya puas menegur Shandro. Karenanya dia lalu mencoba menghubungi lagi. Celakanya, jaringan yang sibuk menghalangi tersambungnya panggilan teleponnya. Ruri berjalan mondar-mandir, menyerupai tingkah laku Anggota Keluarga Pasien yang tengah menanti kabar tentang perkembangan kesehatan dari Kerabat mereka yang tengah berada di ruang tindakan. Bedanya, wajah Ruri bukannya menampilkan kegelisahan saja, melainkan sarat kemarahan. Decak kesalnya saja masih terdengar sesekali. Malangnya, itu belum seberapa, sebelum ibunya tiba, sebenarnya Ruri sudah menghubungi lagi nomor telepon Shandro. Dan alih-alih beroleh jawaban yang pasti sehingga dia dapat memperkirakan akan berapa lama lagi pesanan makanannya tiba, dia maahan semakin dibuat gusar. Penyebabnya adalah, Shandro tidak menjawab panggilan teleponnya. Sang Ibu menggelengkan kepala menyaksikan tingkah Ruri. “Ruri, jangan kekanakan begitu dong.” Ruri menoleh dan menyahut, “Kekanakan bagaimana maksud Ibu?” “Ya itu! Apa namanya kalau bukan kekanakan? Seperti baru pertama kali saja kamu memesan makanan melalui ojek daring. Dan seolah-olah kamu tidak tahu bahwa keadaan jalan yang macet itu di luar kuasanya Pengguna jalan. Contohnya Si Abang Ojek yang dari tadi kamu hubungi.” Merasa Sang Ibu memosisikan diri sebagai ‘Lawan’, Ruri kecewa berat. “Itu urusan dia, Bu. Kalau tahu macet ya jangan lewat jalan yang itu. Kan banyak jalan tikus. Dia itu kerjanya sebagai Tukang Ojek, harusnya ya kreatif cari jalan alternative. Coba kalau yang pesan itu sudah kelaparan berat. Bisa pingsan, yang ada.” Bu Halimah menggelengkan kepala. Tatap prihatinnya tertuju kepada Sang Anak. “Ya ampun. Kamu itu sungguh berlebihan, Nak.” “Berlebihan bagaimana maksud Ibu? Bu, setiap profesi itu mempunyai tanggung jawabnya masing-masing. Ruri saja kalau kerjanya lelet atau keliru, ya berbesar hati ditegur bahkan sering kali diomeli. Malahan kadang-kadang nggak salah saja Ruri dimarahi sama Pasien yang memang sedang punya persoalan pribadi. Nah, wajar dong kalau sekarang Ruri sedikit mengajari Si Tukang Ojek cara bekerja yang benar? Biar dia sedikit menunjukkan tanggung jawabnya!” kata Ruri, merepet. Sang Ibu mendesah kecewa mendengar tanggapan Ruri. Seakan dia menyesal telah lalau mendidik Sang Anak. “Hei, kamu itu jangan jahat sama Orang. Jangan mentang-mentang. Nggak boleh begitu. Kamu itu kan kerjanya sebagai Perawat, ya berbelas kasih dan tenggang rasa, lah, sama Orang. Itu sudah seharusnya.” Ruri berdecak kesal. “Sudah, sebaiknya ditunggu saja. Nggak usah telepon melulu. Bikin konsentrasi Orang di jalan jadi buyar. Nanti kalau dia kenapa-napa di jalan lalu bagaimana? Kamu mau tanggung jawab?” tegur Bu Halimah. Dia bisa berkata demikian sebab kerap memergoki, Para Pengemudi sepeda motor, walau terlihat tidak sedang memboncengkan Seseorang, namun berteriak-teriak sembari terus melaju. Karenanya dia menengangarai, bisa jadi mereka itu tengah menerima telepon. Apalagi dia juga memergoki di telinga Sang Pengemudi sepeda motor juga ada ear phone. Ruri mencibir. Bila dilihat dari gelagatnya, sepertinya Ruri sudah akan menghubungi Shandro kembali. Barangkali karena terlampau sebal, Bu Halimah bertindak sigap merebut telepon genggam Sang Anak. Ruri jelas meradang. Dia langsung menatap gemas pada Sang Ibu yang dianggapnya sudah keterlaluan mencampuri urusannya. Sudah begitu, bukannya memosisikan diri di Pihak Sang Anak, justru terang-terangan menentang Sang Anak, alias membela Si Tukang Ojek. “Apaan sih, Bu. Ini Ruri sudah dirugikan lho sama dia. Tahu nggak, Bu?” keluh Ruri dalam kemangkelannya. Sang Ibu menatap Ruri lekat-lekat. “Dirugikan apa maksudnya? Kamu itu kan selalu bayar di tempat. Dan Abang Ojeknya itu menalangi p********n atas pembelian order kamu terlebih dulu. Terus, makanannya kan bakal diantar juga pada akhirnya.” Dengan runut Sang Ibu berusaha memberikan pengertian kepada Ruri. Nadanya biasa saja, ada sedikit tersirat bujukan di dalamnya. Tetapi Ruri toh tetap saja keras kepala. Dia merasa dirinya bertindak benar. “Ya rugi waktu, lah, Bu. Ibu nih malah pakai tanya segala. Harusnya Ruri sudah makan, dari tadi. Nah, gara-gara dia, nanti masih harus makan dulu, sebelum bertugas di rumah sakit. Sudah nggak berselera, rasanya. Soalnya bakalan terburu-buru juga mau siap-siap bertugas,” dumal Ruri. “Kamu ini sungguh egois. Itu kan hanya persoalan kecil saja. Jangan kamu besar-besarkan dengan mempertaruhkan keselamatan Orang lain. Kamu jangan membahayakan nyawa orang, deh. Ingat, Mereka itu punya keluarga, punya orang-orang yang disayangi, yang menunggu mereka di rumah. Jangan mempersulit tugas mereka. Kamu tadi bilang sendiri, aplikasinya lagi bermasalah, ya mungkin Tukang ojeknya jadi agak sulit untuk mencari alamat kirim. Sabar sedikit lah. Biar dia yang menghubungimu, kalau kesulitan menemukan alamat ini. Kalau dia yang menghubungimu, artinya dia sudah melipir, atau mencari tempat yang terbilang aman untuk menelepon,” saran Bu Halimah panjang lebar. Sekarang Ruri benar-benar merasa naik darah. Dia merasa perlu meluruskan anggapan Sang Ibu yang dinilainya salah besar. “Ibu ini kenapa sih? Bukannya membela Anaknya malah membela Orang yang jelas-jelas nggak becus kerjanya?” protes Ruri jengkel. Sang Ibu mengibaskan tangan.  “Sudah, Ruri. Cukup. Berhenti ngomel kamu. Yang ada cepat tua nanti kamu. Masa mau kasih lihat ke Para Pasien muka merengut begitu? Bisa tambah parah, nanti, sakitnya Si Pasien, bukannya cepat sembuh,” lagi-lagi Bu Halimah menganjurkan hal yang sederhana dan benar, untuk dilakukan Ruri. Ruri enggan menjawab. Dipikirnya, dia takkan mungkin menang beradu argument dengan Sang Ibu. Dia mengempaskan pantatnya ke salah satu kursi teras. Ibunya turut duduk di sebelahnya. Seperti hendak mengasi tindak-tanduknya. “Haduh! Lama banget sih. Ruri ambil tas Ruri dulu, deh. Biar nanti pas dia datang, Ruri sekalian berangkat saja,” baru juga dua menit duduk, Ruri sudah blingsatan, seperti cacing kepanasan saja. Padahal sejatinya kursi teras adalah salah satu tempat favoritnya untuk duduk bersantai sembari menatapi tanaman hias koleksi Sang Ibu. Tapi gara-gara Seorang Shandro, mood-nya hancur lebur. Dia masuk ke dalam rumah, menyambar tasnya, dan menyampirkannya pada stang sepeda motornya. “Ingat. Nanti bawa motornya nggak usah ngebut-ngebut,” kata Bu Halimah. “Ya kalau ngebut, itu juga gara-gara si Abang tukang ojek. Kelamaan sih, ngantar makanan pesanan Ruri kemari. Nanti Ibu omeli saja dia. Gara-gara dia lambat mengantarkan pesanan, akibatnya jadi membahayakan Ruri kan,” sahut Ruri seenaknya. Ibunya berdecak gemas. “Ck! Ck! Ck! Ruri, Ruri! Kamu ini benar-benar seperti Anak kecil saja, sedikit-sedikit bawaannya ngambek. Memangnya lagi pe em es, kamu?” tanya sang Ibu, sedikit mengolok untuk mengundang senyum Ruri. Usaha Bu Halimah masih gagal total.  Wajah Ruri kini semakin merengut. Nggak lucu! gerutu Ruri dalam diam. * $ $  Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN