Episode 4 : Apakah Arti Dari Firasat Yang Didapatkan Oleh Ruri?
“Ruri..,” panggil Sang Ibu.
Walau dia memergoki bias tidak tenang di wajah Ruri dan ingin bertanya namun akhirnya memilih untuk tidak memperpanjang bahasan mengenai ‘halusinasi’ lantaran melihat Ruri sudah bersiap untuk berangkat kerja.
“Kamu mau berangkat sekarang Nak?” tanya Bu Halimah, melihat Sang Anak menghampiri sepeda motornya.
Ruri juga sudah menyelempangkan tasnya yang semula ia gantungkan di atas stang sepeda motor.
Ruri menengadahkan wajahnya menatap Sang Ibu. Dirasanya suara Sang Ibu sekarang sudah tidak ‘sekeras’ tadi. Dan paras Bu Halimah juga tak lagi menyiratkan menyalahkan dirinya. Ruri sedikit melunak karenanya.
“Iya, Bu. Ruri harus berangkat sekarang. Supaya masih sempat makan. Ruri kan harus lewat jalan depan hari ini, soalnya jalan di belakang rumah sakit yang biasa Ruri lewati itu, lagi diacak-acak. Katanya mau dibikin trotoar. Ya begitu deh, kebijakan ajaib Bapak-bapak yang berkuasa itu. Jalan yang rusak dan berlubang, di depan rumah sakit pula, yang jelas-jelas merupakan akses keluar masuk Pasien, Keluarga Pasien, dan ambulans, didiamin begitu saja. Sudah lama tuh rusaknya dan sudah banyak yang melapor ke Pemerintah daerah. Padahal, kasihan banget itu kalau yang sakit parah, lewati jalan itu bisa makin terasa sakitnya, mau kendaraan ambulance-nya berjalan selambat apa pun. Giliran jalan yang nggak kenapa-napa, malah diacak-acak, dibikinin trotoar. Ribet, deh,” cerocos Ruri. Mungkin untuk melampiaskan sisa-sisa kejengkelannya kepada shandro yang belum sepenuhnya sirna.
Sang Ibu tersenyum maklum.
“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya. Jangan ngelamun. Konsentrasi bawa sepeda motornya. Dan satu lagi, tolong dijaga itu, mulutnya. Jangan suka mencaci apalagi menyumpahi orang. Dosa, tahu!” kata Bu Halimah dengan nada rendah.
Ruri tak menjawab. Dia hanya mendesah enggan.
Ruri langsung menghidupkan mesin sepeda motornya.
Sebentar kemudian, dia sudah duduk di atas sepeda motornya, meninggalkan rumahnya, menuju tempat tugasnya.
Sepanjang perjalanan, entah mengapa perasaannya tidak tenang. Dan rasa tak tenang itu semakin mengganggunya ketika jarak menuju ke rumah sakit tempatnya bertuas kian dekat.
*
Ruri terus mencoba untuk berkonsentrasi. Ia mencoba menepis rasa tak enak tersebut. Namun semakin dirinya berusaha, jantungnya malah berdebar kian keras.
“Kenapa ya? Apa akan ada satu kejadian heboh di rumah sakit nanti? Atau aku bakalan terlambat datang ke tempat tugasku dan diomeli sama Atasanku? Atau apa?” gumam Ruri pelan.
Berpikir demikian, hatinya semakin kebat-kebit saja.
Apalagi sekarang tampaknya dia mulai merasa bahwa pemikirannya itu benar.
Di depan sana, sejarak kurang lebih empat ratus meter dari tempatnya sekarang berada, tampak antrian kendaraan yang mengular panjang.
Ya ampun! Keluh Ruti dalam hati.
“Oh. Jadi benar, aku bakalan diomeli sama Atasanku. Ya gara-gara macet parah di depan sana itu. Dan lebih sialnya lagi, ditegur dalam keadaan perut kosong. Bisa bad mood nih nanti akunya. Sialan. Ini gara-gara Si Shandro. Dasar nggak becus dia. Biang kerok! Kalau saja dia nggak kelamaan antar pesanan makananku, aku kan masih bisa makan di rumah. Setelah makan, tentunya otakku lebih bisa diajak kompak buat mikir dan cari celah, mau lewat jalan tikus yang mana. Dan hatiku juga menuruti perintah otak untuk tenang. b******k! Ini gara-gara Shandro!” gerutu Ruri panjang pendek.
Merasa sudah tidak mungkin lagi untuk mencari jalan alternative karena sekarang ini dirinya sedang meluncur di jalan utama, di mana rute yang dikenalnya ini dalah juga sebagai rute terdekat menuju Rumah Sakit Kencana, dia mencoba pasrah.
Terlebih ketika dirinya mulai masuk ke antrian panjang kendaraan bermotor. Dia menoleh ke belakang dan dalam waktu singkat, dia telah melihat pula, banyak kendaraan lain yang telah berada di belakangnya.
“Lengkap sudah penderitaan aku hari ini. Ini benar-benar stuck di tengah-tengah judulnya. Nggak bisa maju, nggak bisa mundur. Nyebelin! Semua gara-gara Si Tukang Ojek yang nggak bertanggung jawab itu.”
Ruri sedikit menyesal karena posisi sepeda motornya berada agak ke tengah. Matanya sudah mulai melirik ke arah trotoar.
Dia mengembuskan napas dengan berat.
Bahkan untuk memberanikan diri memakai jalur yang berlawanan juga tidak memungkinkan. Kemacetan yang terjadi ini benar-benar dua arah. Bedanya, yang searah dengan dirinya jauh lebih parah. Agak sulit bergerak. Sedangkan di arah yang berlawanan, kendaraan tampak padat merayap.
Sempat terpikir oleh Ruri untuk menghubungi Atasannya, sekadar mengabarkan bahwa dirinya sedang terjebak macet demi mengantisipasi situasi yang tidak terkendali. Namun teingat pesan Sang Ibu untuk tidak menggunakan telepon seluler jika sedang berkendara, dibatalkannya niatnya itu. Ya meskipun saat ini posisinya seang benar-benar berhenti. Belum ada pergerakan kendaraan di depannya. Lebih-lebih, bunyi suara klaksonyang bersahutan juga membuat kepalanya dilanda pening. Aneh memang Para Pengguna jalan ini. Sudah tahu macet kok malah adu nyaring suara klakson yang berpotensi membuat tensi darah menjadi tinggi saja!
“Ada apa sih, Pak? Kok macetnya super parah, hari ini? Coba saja memungkinkan, Lama-lama saya naikkan sepeda motor saya ke trotoar. Soalnya untuk menuntun sepia motor ini juga nggak mungkin,” ucap Ruri pada Seorang Pengendara motor dari arah berlawanan yang juga mengemudikan sepeda motornya dengan super pelan. Benar-benar menyerupai gerakan merayap.
“Itu, Mbak, ada kecelakaan. Pas banget, di depan rumah sakit Kencana,” terang pengendara yang ditanyainya. Pengemudi sepeda motor itu setengah berteriak untukmengimbangi kebisingan yang ada di sekitar mereka.
“Hah? Rumah sakit Kencana? Itu tempat kerja saya,” pekik Ruri yang terkaget.
Dia mulai berpikir, barangkali perasaan tak enak yang melandanya semenjak tadi karena harus menyaksikan kecelakaan lalu lintas di depan rumah sakit tempatnya bertugas.
Yang ditanya sudah tidak merespon lagi. Pengemudi sepeda motor tesebut hanya melanjutkan perjalanan, karena sudah ada Petugas yang memandu mengurai kemacetan dua arah ini. Sejatinya ini hal yang sedikit melegakan bagi Ruri karena akan dapat melalui kemacetan ini. Namun keterangan yang didapatnya bahwa ada kecelakaan di depan rumah sakit Kencan, tak urung mengusiknya.
Aduh. Sebenarnya bukan hal yang besar juga sih. Yang namanya melihat luka atau darah kan hampir setiap hari aku alami. Tapi kenapa ini? Kok aku makin deg-degan begini ya? Apa jangan-jangan kecelakaan itu melibatkan Rekan kerjaku? Atau Orang yang aku kenal? Semoga bukan. Dan andai itu salah satu Rekan kerjaku atau Siapa saja yang bahkan tidak aku kenal, aku berharap, semoga saja lukanya nggak parah! Kata Ruri dalam hati.
Dan harapannya bak mengawang-awang. Sungguh bertolak belakang dengan fakta yang dia hadapi. Pasalnya, jika kecelakaannya tidak parah, semestinya tidak mungkin sampai membuat kemacetan yang separah itu.
Lebih jauh memikirkan hal itu, Ruri merasa resah luar biasa. Mendadak dia merasa jantungnya memacu lebih cepat. Melihat antrian yang belum kunjung teerurai spenuhnya pada jalur yang dimana ia berada, dia benar-benar nekad. Walau harus menulikan telinganya dengan makian sejumlah Pengendara lain, perlahan Ruri mencoba mencari celah dan beralih ke arah bahu jalan. Namun usahanya tidak semulus itu.
“Bisa sabar, nggak sih, Mbak! Semua Orang juga mau buru-buru!” omel Pengendara motor lainnya, saat Ruri memaksa menyelip-nyelip di celah sempit dan meminta jalan untuk lebih mendekat ke bahu jalan, setiap kali ada kesempatan.
“Cewek, pakai Seragam Perawat, tapi kok kelakuannya minus! Bikin malu!” terdengar seruan lain.
“Yang model begini yang bikin kemacetan makin parah!” sahut yang lainnya.
Ketika ada kesempatan yang terbuka, akhirnya Ruri turun dari sepeda motor dan menuntunnya. Pasalnya, rumah sakit tempatnya bekerja telah terlihat. Dan, kerumunan orang banyak, juga tampak jelas, di area tersebut.
Ruri terus mengabaikan semua sumpah serapah Para Pengemudi yang terganggu oleh ulahnya. Dia tetap menuntun sepeda motornya. Begitu ada kesempatan, Ruri sengaja pula, naik ke atas trotoar. Tindakannya segera diikuti oleh Para Pengendara sepeda motor lainnya. Makin ruwet saja situasi!
Sekarang posisi Ruri semakin dekat dengan pelataran rumah sakit yang Ia tuju. Paling jauh hanyalah sekitar Sembilan puluh meter lagi.
Tetapi untuk menuju ke pelataran tersebut, bahkan pagar putih yang membatasinya dengan jalan raya, Ruri harus melewati kerumunan itu ebih dahulu. Artinya, dia tidak mungkin melintas. Dia juga sulit turun dari trotoar.
Keadaan Ruri benar-benar terjepit, rasanya. Akhirnya, lantran merasa amat mengenal daerah trsebut dan merasa aman, Ruri terpaksa menghentikan sepeda motornya dan menguncinya baik-baik, tepat sejauh dua meter dari kerumunan. Apa yang dilakukannya berbuah pelototan sadis dari orang-orang yang berkerumun.
“Bubar, bubar! Bubar semuanya sekarang juga! Jangan bikin susah tugas pihak yang berwajib,” terdengar sebuah suara tegas.
Yang disuruh bubar tidak bergeming barang sedikit saja. Mereka semua tetap saja bertahan di tempatnya. Malah banyak yang lagaknya sudah seperti wartawan amatir saja, memotret dengan ponselnya, mem-videokannya, dan sok-sokan melakukan siaran langsung pada akun media sosialnya. Betapa sesungguhnya itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, sebab mereka melakukannya bisa dikatakan tidak ada manfaatnya sama sekali bagi Orang lain kecuali untuk popularitas pribadi. Sudah begitu mereka juga tega manayangkan konten yang sesungguhnya juga kurang layak untuk disaksikan Pemirsa.
Salah satunya, adalah yang berada tak jauh dari Ruri.
Seorang Anak muda, dengan gawai di tangannya.
“Teman-teman, saya sekarang berada di depan Rumah Sakit Kencana, tempat terjadinya kecelakaan lalu lintas sekitar empat puluh menit yang lalu. Saya sedang berada di warung nasi yang tepat berada di seberang rumah sakit, ketika kecelakaan terjadi,” Anak muda tersebut menjeda keterangannya.
Ruri kian mendekat. Dia sungguh-sungguh ingin tahu kendaraan apa yang terlibat dalam kecelakaan, dan seandainya memungkinkan, mencari tahu Siapa korbannya.
Dia tidak pernah menyangka sama sekali, apa yang akan diketahuinya dalam beberapa menit ke depan berpotensi membuat dirinya terguncang hebat.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $