Vania memulai hari barunya dengan membuka sebuah pesan dari Daniel. Rutinitas pasangan yang dimabuk asmara itu memang selalu mengawali pagi dan malam mereka dengan pesan mesra yang saling menyemangati. Tak heran bila Vania kerap senyum senyum sendiri saat melihat ponselnya.
Pagi sayang, ayo bangun dan lekas bersiap-siap. Dandan yang cantik ya. Muuach....
Vania tersenyum geli membaca emoticon mesra itu, Daniel memang selalu punya ide untuk membuatnya tertawa. Tetapi Vania belum mengerti apa yang direncanakan Daniel, tampaknya pria itu begitu yakin bisa mendapatkan restu dari Arman hari ini juga. Vania mengetik balasan untuk kekasihnya dengan cepat.
Untuk apa berdandan? Kita mau jalan ke mana? Bukankah kau harus kerja?
Tiga pertanyaan dalam satu pesan sekaligus itu dengan cepat mendapatkan balasan. Vania membacanya dengan mata berbinar, ia sungguh beruntung karena Daniel tidak membuatnya penasaran terlalu lama menunggu balasan. Tetapi setelah membaca pesan balasan itul, bibirnya kembali manyun. Daniel tampak tidak niat menjawabnya dan masih meninggalkan teka-teki.
Lakukan saja, sayang. Yang patuh ya, dan tunggu kedatanganku.
Vania berdecak, entah apalagi yang harus ia balas hingga ia memutuskan untuk membiarkan saja. “Baiklah, aku akan menunggumu dan melihat seberapa hebat dirimu.” Gumam Vania lalu ia beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi. Ini saatnya ia beraksi, membersihkan diri, mempercantik diri lalu menunggu kekasihnya datang membawa kejutan.
***
Suasana di ruang makan sangat tidak menyenangkan, Arman dan Desi masih saling diam pasca pertengkaran tengah malam. Desi sudah menyelesaikan kewajibannya dengan menyiapkan masakan serta menatanya di meja makan, tinggal menunggu Vania turun maka mereka akan sarapan bersama seperti biasa. Ya, seperti biasa... Yang berbeda kali ini hanya suasananya yang tidak sehangat hari-hari sebelumnya.
Desi mengambilkan nasi ke piring suaminya lalu meletakkan begitu saja tanpa bicara sepatah katapun. Begitu pula dengan Arman yang masih sangat gengsi untuk memulai percakapan meskipun ia tersiksa didiamkan istrinya. Vania berjalan menghampiri mereka, ia menuruti permintaan Daniel yang memintanya patuh dan berdandan yang cantik untuk menunggunya. Gara-gara itu pula yang menyita waktu Vania hingga agak lama turun untuk sarapan bersama.
Vania dan kedua orangtuanya saling bertatapan, masing-masing dari mereka punya pertanyaan dalam hati. Vania canggung berhadapan dengan ayahnya setelah kejadia semalam, dan juga ia heran mengapa ayahnya berpakaian biasa padahal semestinya ayahnya berangkat ke kantor.
Sebaliknya, Arman dan Desi terheran-heran menatap Vania yang sudah sangat rapi dan cantik sepagi ini. Suasana saat itu sungguh tidak bisa dijelaskan lagi, semua serba merasa bersalah.
“Pagi ayah.” Sapa Vania dengan berat hati hingga suaranya kecil.
“Pagi Ibu.” Lanjut Vania menyapa ibunya. Perbedaan yang kontras terdengar karena saat menyapa ibunya, terdengar lebih lembut dan akrab. Sedangkan saat menyapa ayahnya, suara Vania sangat nampak tertekan.
“Mau ke mana kamu? Pagi-pagi sudah serapi ini.” Tanya Arman dengan wajah kesal, tampaknya suasana hati pria itu masih buruk terhadap Vania. Ia tidak senang jika tahu putrinya akan keluar rumah lagi hari ini.
Vania sedikit menunduk, menghindari tatapan langsung dengan ayahnya. “Ng... Tidak ke mana-mana ayah.” Jawabnya dengan suara yang dipaksakan.
“Ayah nggak ngantor?” Tanya Vania basa-basi, sorot tajam ayahnya membuat ia merasa panas dingin dan lebih baik mengalihkan topik pembicaraan selagi bisa.
“Siapa yang kelewat rajin ngantor di tanggal merah?” Jawab Arman ketus.
Vania mengerutkan dahi, ia baru saja menampakkan kebodohan dirinya sendiri. Bukan hanya di depan ayahnya namun juga pada Daniel, ia teringat tadi pagi bertanya pada kekasihnya tentang berangkat kerja juga. Mengapa Vania harus mendadak lemot di saat yang tak menguntungkan baginya? Ia tak henti merutuki dirinya dalam hati.
“Kamu mau ke mana? Jangan bohongin ayah! Buat apa kamu berdandan kalau hanya di rumah saja!” Tanya Arman, ia menaikkan volume suaranya.
Vania terkesiap, ia berdiri menunduk sambil meremas tangannya yang mulai berkeringat saking gugupnya. Pagi ini saja Vania tak bisa menghindari keapesannya, apalagi nanti ketika Daniel sungguh nekad datang melamarnya.
“Pa, sudahlah. Lebih baik kita sarapan dulu. Kasian Vania, belum juga duduk sudah sarapan omelanmu.” Ucap Desi mencoba mencairkan suasana tegang. Ia pun terpaksa berlaku lembut pada suaminya meskipun hatinya masih tersiksa, namun demi melindungi Vania, ia harus menelan kekecewaan serta rasa sakit hatinya karena kelakuan Arman.
Arman tak menjawab, ia mulai menyendokkan sayur sup ke dalam piringnya. Desi melihat peringai suaminya kemudian beralih menatap putrinya.
“Sayang, ayo duduk. Kita sarapan sama-sama, mama masakin sup kesukaanmu.” Desi melambaikan tangannya pada Vania, mengajaknya duduk di dekatnya lalu menyiapkan piring di atas meja khusus untuk Vania.
“Iya, ma.” Jawab Vania lemah. Beruntung ia masih punya mama yang ada di pihaknya, yang selalu pasang badan untuk melindunginya, apapun masalah yang Vania hadapi. Ia menarik kursi kosong di samping Desi lalu duduk dengan canggung lantaran Arman terus melototinya.
Desi mengambilkan makanan ke piring putrinya, ia sibuk berbicara basa-basi seakan tidak terjadi apa-apa kemarin. Arman merasa diabaikan oleh istri dan putrinya, ia menelan makanannya dengan terpaksa lalu berdiri dan meninggalkan ruang makan. Arman berjalan begitu saja tanpa peduli bagaimana Desi dan Vania menatapnya.
“Kita lanjutin makannya sayang, biarin aja.” Ujar Desi, ia menyentuh pundak Vania dengan lembut.
Vania mengangguk pelan, ia mulai menyuap nasi dari sendok yang dipeganginya. Walaupun terasa aneh, namun ia tak punya pilihan selain menghadapi suasana saat ini.
“Vania, tunggu!” Pekik Desi saat Vania beranjak pergi dari dapur setelah membantunya membereskan meja makan.
Vania berhenti melangkah lalu berbalik menatap ibunya, senyuman manis dan tulus disunggingkan Vania untuk wanita yang melahirkannya itu. “Ada apa ma?”
Desi mendekati Vania setelah mengeringkan tangannya, ia menarik tangan Vania agar mengikuti langkahnya. Vania diam dan menuruti ibunya, meskipun ia penasaran. Desi ternyata mengajak Vania kembali ke dalam kamar gadis itu. Setelah memastikan Arman tidak tahu, Desi bergegas menutup pintu lalu menguncinya.
“Ada apa ma?” Vania mengulangi pertanyaan yang belum terjawab itu.
Desi menatapnya dengan cemas kemudian merapikan anak ambut Vania yang tergerai tak terikat di samping leher. “Nak, mama tahu niat baikmu dan mama mendukungmu. Hanya saja, apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu? Menikah itu tidak semudah yang dibayangkan, tidak seindah saat kamu pacaran. Kalian akan saling melihat kekurangan masing-masing dan jika cinta kalian tidak kuat, mungkin kalian akan gagal.” Ujar Desi penuh hati-hati, bagaimanapun ia tetap berusaha menjaga perasaan putrinya.
Vania meraih tangan ibunya untuk digenggam, betapa girangnya hati Vania karena dari kata-kata Desi yang perhatian itu, Vania yakin bahwa wanita itu merestuinya.
“Ma, jangan khawatir. Vania mantap dengan pilihan ini dan tidak akan pernah menyesali. Mama adalah panutan Vania, kelak Vania akan jadi istri yang baik seperti mama.” Ujar Vania tersenyum bahagia.
Desi terharu mendengar keputusan anaknya, ia menitikkan air mata. Vania mengusap lembut air mata ibunya kemudian menghambur dalam pelukannya.
“Kamu harus sabar ya, mama pasti bantu kamu meluluhkan hati papamu.” Ujar Desi yang masih memeluk erat Vania.
Vania mengangguk pelan, beban di hatinya sedikit berkurang. Setidaknya ia sudah mempunyai satu pendukung, tinggal mengandalkan kemampuan Daniel untuk meyakinkan Arman. Biarkan mereka menyelesaikan ketegangan itu antara sesama pria.
***