KEMANTAPAN HATI MEMILIH
“Vania, mungkin ini terlalu cepat tapi aku sungguh berharap kamu menjawab ‘Ya’.”
Daniel berdiri tegap di hadapan gadis yang ia cintai, tangannya memegang sebuah kotak merah berisi cincin berlian. Pria itu sedang melamar gadis di depannya, gadis bernama Vania yang berhasil menduduki singgasana hatinya.
Vania terkesima, ia tak kuasa menahan haru sehingga harus membungkam mulutnya dan membiarkan air mata ikut mengekspresikan bahagianya. Dia sedang dilamar oleh pria yang baru merajut kasih dengannya dua bulan. Lamaran itu dilakukan Daniel dengan cara yang romantis, di tengah keramaian mall, disaksikan banyak orang bayaran Daniel yang diperintahkan untuk memberikan bunga mawar semenjak Vania masuk ke dalam pusat perbelanjaan itu. Dan di tengah panggung mini inilah, Daniel bak pangeran berdiri menunggu jawaban Vania yang memeluk kumpulan bunga mawar yang ia dapatkan.
Daniel menatap lembut serta penuh kesungguhan pada gadis cantik di hadapannya. Dari binar matanya terpancar harapan agar gadis itu menerima pinangannya. Vania yang masih shock hanya berdiri terpaku, namun bibirnya masih tersenyum dan belum melontarkan kata yang ingin didengar kekasihnya.
“Terima... Terima... Terima....” Sorakan serta tepuk tangan meriuhkan suasana. Pendukung bayaran Daniel itu agresif memprovokatori agar Vania segera menerima lamaran itu.
Vania menunduk pelan, menyembunyikan wajah senangnya yang tersenyum malu. Ia belum pernah merasakan getaran cinta sekuat ini, hanya Daniel yang berani melakukan hal-hal di luar perkiraan namun romantis sehingga membuat Vania merasa bagaikan seorang putri.
“Terima... Terima....” Teriakan itu mungkin tidak akan berhenti sebelum jawaban itu keluar.
Daniel berjalan maju setengah langkah lagi mendekati Vania, ia sedikit menundukkan wajahnya agar bisa mengintip wajah Vania. “Va, plis... Ijinkan aku menjadi imammu.”
Kata-kata manis itu menggetarkan hati Vania, ia jelas tahu bahwa Daniel sungguh-sungguh dengan pinangannya. Pun yakin kalau pria itu sanggup memberikan kebahagiaan padanya. Seharusnya tidak ada keraguan lagi, dan tak semestinya ia berdiam lebih lama, menggantung perasaan Daniel yang berharap mendengar jawaban darinya.
“Ya.”
Daniel langsung sumingrah, Vania angkat bicara meskipun singkat namun lantang. Daniel menatap gadis itu dengan senyuman bahagianya, namun ia masih ingin memastikan sekali lagi. “Kau bersedia menjadi istriku?”
Vania tersenyum manis, sebuah anggukan mantap mewakili isi hatinya. Tak ada yang perlu ia khawatirkan di kemudian hari, ia yakin Daniel adalah pria yang dikirimkan Tuhan sebagai jodohnya.
“Yes! She say yes!” Pekik Daniel sambil melompat girang. Sontak pendukung yang berdiri mengitari mereka ikut berteriak senang dan diriuhkan dengan suara tepuk tangan.
Vania tak bisa berkata-kata lagi, ia bahagia, sangat bahagia. Setelah mengekspresikan kebahagiaannya, Daniel kembali serius menatap hangat Vania kemudian menariknya ke dalam pelukan. Masa-masa yang membahagiakan ini terasa cukup bagi Vania, ia rela jika waktu berhenti detik ini juga, agar ia bisa lebih lama merasakan getaran bahagia ini.
***
“Terima kasih Va, kamu percayakan kebahagiaanmu padaku. Aku janji nggak akan bikin kamu kecewa dengan pernikahan kita nantinya.” Daniel masih belum berhenti mengutarakan rasa bersyukurnya karena berhasil meminang Vania. Merupakan sebuah kebanggaan baginya bisa mendapatkan seorang gadis belia yang masih polos, baik, cantik, berkulit cerah, memiliki senyuman manis dan menawan, serta yang paling penting bisa memberikan rasa nyaman kepada Daniel. Itulah poin plus yang memantapkan hati Daniel untuk segera mensahkan hubungan mereka, setiap kali kencan dengan Vania, ia kesulitan menahan hasratnya agar tidak menodai kesucian gadis itu sebelum waktunya.
Alasan itu pula yang meyakinkan Daniel agar dia segera mendapatkan Vania seutuhnya dengan cara menghalalkannya. Dengan kesediaan Vania menjadi istrinya, usai sudah petualangan cinta Daniel yang agak nakal lantaran tuntutan kebutuhan biologis namun karena ia belum menemukan yang sreg di hati, terpaksa ia sering menjadikan beberapa wanita sebagai tempat persinggahan di hati.
Vania tersenyum, ia tak henti tersipu malu padahal sesi lamaran yang mengharukan itu telah berlalu. Saat Daniel menatapnya dengan lembut serta wajah pria itu yang mulai mendekat hingga terbaca gelagat bahwa ia ingin mencium Vania, barulah Vania sengaja berdehem untuk melonggarkan jarak.
“Kita masih harus mendapatkan restu orangtuaku, mas.” Lirih Vania, bagaimanapun ia masih punya orangtua yang harus dimintai persetujuan. Mengingat usia Vania yang baru dinyatakan gadis dewasa, baru beberapa bulan ia mempunyai KTP, dan seragam putih abu-abu saja baru ia tanggalkan. Vania ragu jika Daniel bisa meyakinkan kedua orangtuanya agar memperoleh restu.
Daniel tersenyum optimis pada kekasihnya, dengan lembut ia membelai rambut panjang Vania. “Kamu tenang saja, percaya aku pasti bisa meyakinkan orangtuamu.”
Tak ada alasan bagi Vania untuk meragukan Daniel, sepanjang bersamanya pria itu selalu berhasil mendapatkan kesan baik di mata ayah dan ibu Vania. “Iya, aku percaya padamu.” Desis Vania.
Keduanya berada dalam mobil yang masih belum meninggalkan parkiran mall, dalam keadaan remang itu, Daniel berhasil mendapatkan satu ciuman panas dari Vania.
***
Mobil Pajero sport silver milik Daniel berhenti tepat di halaman rumah Vania. Sebenarnya Vania berasal dari keluarga yang berkecukupan, tetapi tidak bisa disebut mewah. Menemukan pria mapan dan royal seperti Daniel itu bagaikan bonus dari Tuhan yang dibayar kontan. Vania harus banyak bersyukur karena itu, bisa dibilang bahwa ia lah yang lebih beruntung mendapatkan Daniel ketimbang pria itu mendapatkannya.
“Ayo, kuantar masuk sekalian pamit sama calon mertuaku.” Ajak Daniel saat mesin mobil baru dimatikan.
Vania terharu mendengar kata-kata Daniel yang menyebut orangtuanya sebagai calon mertua. Daniel pribadi yang ramah, ia yakin akan sangat mudah mengantongi restu. Vania mengangguk, lalu keluar dari mobil dan membiarkan Daniel menggandeng tangannya. Mereka sengaja memperlambat langkah agar lebih lama merasakan genggaman hangat itu. Hingga sampai di depan pintu, dan ketika Vania hendak mengetuk pintu itu, justru ayahnya lebih cepat membukakannya.
“Ayah.” Sapa Vania agak kikuk saat melihat raut wajah ayahnya yang galak, seperti tidak senang melihat ia pulang dengan Daniel.
“Malam om.” Sapa Daniel sopan.
Arman menatap tak senang pada Daniel yang terkesan tak tahu diri membawa anak gadisnya keluar hingga pulang malam. “Jam berapa sekarang?” Ujar Arman tegas.
Vania sedikit takut, ia melirik ke arah Daniel tetapi justru heran melihat raut wajah Daniel yang bisa setenang itu. Dan lagi senyuman yang disunggingkan Daniel memancarkan wibawanya meskipun ayahnya terlihat tak tergugah dengan sikap optimis itu.
“Jam sepuluh lewat lima belas menit, om.” Jawab Daniel tenang, setelah melirik jam tangan mahalnya.
“Kamu tahu kan lagi bawa anak gadis orang keluar? Sudah ku bilang jangan pulang terlalu malam, tapi sepertinya kamu tidak tahu diri ternyata.” Hardik Arman, ia tak bisa memberi kelonggaran sekalipun Vania memang sudah masanya menikmati masa pacaran, tetapi tak bisa kelewatan batas.
Daniel tersenyum tenang, “Maafkan aku om, ini semua salahku. Kelak tidak akan terulang lagi, dan saya berani menjamin Vania akan baik-baik saja bersama saya.”
Vania memucat, Daniel terlalu santai padahal ayahnya tampak tidak bersahabat. Namun ia memilih bungkam membiarkan pria itu saling berbicara sebagai sesama pria.
“Bagus kalau kamu tahu diri, tidak ada lain kali lagi. Om tidak suka orang yang tak bisa dipegang komitmennya mendekati anak om.” Tegas Arman.
Daniel mengangguki dengan mantap, semantap kata-kata yang terlontar sebagai jawaban. “Baik om, saya akan ingat pesan itu. Dan saya bisa pastikan tidak ada lain kali lagi yang membuat om marah dan khawatir. Karena saya sudah memutuskan untuk berkomitmen dengan Vania. Om... Saya menyatakan keseriusan pada anak om, dan saya akan melamarnya secara resmi besok.”
Sorot mata tajam menjurus nanar ditujukan pada Daniel, herannya ia masih punya rasa percaya diri yang tinggi dengan bersikap tenang, padahal kemarahan ayah Vania sudah memuncak.
“Hentikan omong kosongmu, anak muda! Pulang saja kau, aku tidak mau dapat masalah dari tetangga jika mereka tahu masih ada tamu selarut ini.” Arman menjawab ketus pernyataan serius Daniel, bahkan Vania yang berdiri memucat pun langsung ditarik masuk ke dalam rumah.
Daniel masih berdiri tenang, sekalipun suara pintu yang tertutup cukup kencang menghentaknya. “Aku tidak akan menyerah, om.” Ujar Daniel mantap, kemudian berlalu dari rumah kekasihnya.
***