"Sekarang apa rencana Daniel? Apa dia masih tetap maju?" Desi menepuk ringan telapak tangan Vania, tatapannya begitu lembut dan sungguh menaruh perhatian pada rencana Vania dan Daniel selanjutnya.
Vania tersenyum tipis, ia sendiri tidak yakin harus menjawab apa pada ibunya. "Aku kurang tahu ma, kalau soal Daniel. Tapi dia memintaku untuk berdandan hari ini." Ujar Vania seraya mengangkat bahu.
Desi sumingrah mendengar itu, "Wah, apa mungkin dia akan datang melamarmu?"
Wajah Vania merona, entah mengapa kata lamaran itu cukup sensitif baginya ketika ibunya yang mengucapkan. Ia menundukkan kepalanya, malu-malu.
"Mama... Jangan keras-keras." Lirih Vania mencoba menyembunyikan rasa senang sekaligus malunya.
Desi tersenyum bahagia, ia tak menyangka akan tiba hari seperti ini secepat itu. Hari di mana ia menyaksikan putrinya dewasa dan bersiap dipinang orang.
"Ma, semalam Daniel melamarku." Ucap Vania pelan sembari memamerkan cincin di jari manisnya.
Desi terpukau, ia bahkan meraih tangan Vania untuk melihat lebih jelas cincin itu. Padahal tadi ia menggenggam tangan Vania tetapi ia tidak menaruh perhatian karena mengira itu cincin Vania yang biasanya.
"Oh, sayang ini berlian. Bagus banget, Vania." Gumam Desi tampak senang mengomentari benda berharga itu.
"Iya ma, dan lebih mengejutkan lagi, Daniel melamarku di dalam mall. Di sana banyak orang yang memberiku mawar merah. Aku awalnya heran kenapa banyak orang yang tidak kukenal menghampiri dan memberikan aku bunga. Tetapi ternyata, semua itu ulah Daniel. Aku terharu Ma, jadi aku langsung jawab 'iya' saat dia lamar aku di depan banyak orang." Kenang Vania dengan senyuman yang melekat di bibirnya.
Desi ikut terharu, ia menutup tangannya dengan satu tangan. "Betapa romantisnya Daniel, kamu sungguh beruntung nak. Dia memang orang yang sangat perhatian, kelak dia pasti menjadikanmu istri yang paling bahagia."
"Aamiin, ma. Doakan Vania ya." Jawab Vania lembut.
Desi membalas putrinya dengan pelukan. Tangannya terbuka lebar mendekap erat Vania. Ibu dan anak itu merasakan sejenak kehangatan yang harmonis, mengabaikan sejenak tentang sikap Arman yang masih menentang niat baik Vania, yang pasti Desi akan selalu pasang badan untuk putrinya.
Di sela pelukan hangat itu, Vania dan Desi mendengar suara aneh yang menarik perhatian mereka. Perlahan Vania merenggangkan pelukan, begitupun Desi yang melepaskan putrinya. Mereka saling berpandangan sesaat untuk memastikan apakah pikiran mereka sama.
"Itu seperti suara orang yang iring-iringan. Va, coba lihat di depan, apa benar?" Pinta Desi seraya menunjuk balkon kamar Vania.
"Iya ma." Jawab Vania lalu menuruti perintah ibunya.
Vania berjalan perlahan menuju balkon kamarnya, meskipun hatinya berdebar saking penasarannya. Tetapi ia masih tak berani menebak bahwa suara musik yang khas terdengar saat ada rombongan iring-iringan yang datang mengantarkan seserahan lamaran.
Apa mungkin itu ulah Daniel? Gumam Vania dalam hati.
Dan pertanyaan dalam benaknya terjawab sudah, ketika ia melihat serombongan orang yang berpakaian rapi dengan warna senada, berjalan menuju rumahnya. Pemimpin rombongan yang berjalan di depan dan kini sedang mendongakkan wajahnya menatap Vania, dialah Daniel.
Vania terkesiap, saking terkejutnya ia bahkan tanpa sadar menutup mulutnya dengan dua tangan. "Mama...." Pekik Vania memanggil mamanya yang masih di kamar Vania. Setelah wanita itu berjalan menghampirinya, Vania kembali menoleh ke bawah, di sana ada Daniel yang tersenyum manis kepadanya.
Desi ikut melihat ke bawah, ia terkesima dengan keseriusan Daniel. Pria muda itu pun mengangguk sebentar sebagai bentuk hormatnya pada Desi.
Desi memberi anggukan dan senyuman sebagai balasannya.
"Va, ayo turun, kita harus menyambut tamu-tamu."
Vania mengangguk setuju, "Iya ma." Jawabnya singkat, sebelum membalikkan badan, Vania masih sempat melongo ke bawah demi memberikan senyuman bahagia pada Daniel.
Tak sia-sia Vania berdandan cantik dan mengenakan dress yang menambah kesan anggun, rupanya Danie serius datang membawa kejutan. Dan juga, penampilan pria itu terlihat gagah dan sangat tampan dalam balutan kemeja peach dan celana kain hitam. Tanpa janjian, kostum mereka tampak serasi dan senada.
Vania berlari cepat menuruni tangga, namun langkahnya terhenti di tangga terakhir yang diinjaknya. Arman berdiri, berkacak pinggang dengan wajah garang, pria itu hendak berjalan menuju pintu namun Desi segera mencegatnya.
"Pa, jangan kebangetanlah, malu kalau sampai bikin keributan di depan orang banyak." Seru Desi dengan dua tangan yang direnggangkan di hadapan suaminya.
Arman tampak geram dengan kelakuan istrinya, ia menggerakkan gigi kemudian berujar dengan lantang. "Minggir, jangan halangi aku! Biar kuberi pelajaran pada dia. Anak muda tidak tahu aturan!"
"Justru karena dia tahu aturan, makanya dia datang baik-baik melamar putrimu." Desi terpaksa harus ikut berteriak pada Arman, cekcok suami istri itu tak terhindari lagi walau di hadapan putri semata wayangnya.
Vania tak sanggup melihat keributan kedua orangtuanya yang disebabkan oleh dirinya. Selama ia tinggal bersama, belum pernah sekalipun Vania melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sungguh Vania merasa bersalah telah menyebabkan perselisihan paham kedua orangtuanya hanya karena dirinya.
"Pa... Ma... Vania mohon, berhenti bertengkar."
Permohonan Vania bukan sekedar dengan kata-kata, ia menunjukkan keseriusan lewat tindakannya.
Arman dan Desi tersentak kaget melihat Vania berlutut di hadapan mereka. Linangan air mata terlihat jelas dari basahnya pipi mulus Vania, ia menatap kedua orangtuanya penuh harap dan memohon belas kasihnya.
Desi tak tega melihat Vania berlutut, ia segera menghampiri dan menuntun anak gadisnya untuk bangun. "Vania, nggak perlu seperti itu nak. Bangunlah!"
Sayangnya Vania menolak untuk bangun meskipun ibunya cukup berusaha keras menarik tangannya. Arman yang menyaksikan itu pun ikut tergugah, ia tak menyangka demi seorang pria, Vania bersikeras meluluhkan hatinya.
***
Daniel berdiri di depan pintu, ia datang kembali ke rumah ini bukan hanya membawa rombongan tetapi juga keoptimisan bahwa ia akan berhasil meminang Vania. Peluh keringat terasa mengaliri punggungnya, membasahi kemeja yang ia kenakan, namun ia tak peduli, ia akan tetap berdiri di sini hingga pintu terbuka.
Ia sadar bahwa tidak jaminan ia akan diterima baik-baik meskipun maksud kedatangannya baik, asalkan ia bisa membuktikan kesungguhannya pada Vania dan orangtuanya.
"Mas, gimana? Nggak ada orang mungkin?" Tanya seorang pria yang ikut dalam rombongan iring-iringan, mereka yang ada di belakang barisan Daniel pun ikut gusar karena belum ada sambutan dari tuan rumah.
Daniel tersenyum tipis, apa boleh buat ia hanya bisa menenangkan orang-orang bayarannya agar bersabar sejenak.
"Ada kok, Bang. Tunggu lagi aja bentar."
Air muka pria pengiring itu tampak tak senang, seperti tak yakin bahwa kesabaran mereka ada hasilnya. Tetapi dugaan buruk pria itu nyatanya meleset, karena pintu yang ada di hadapannya berderit dan terbuka lebar. Spontan pria pengiring itu kembali ke posisi berdirinya.
Daniel tersenyum bahagia melihat Vania yang muncul bersama kedua orangtuanya. Hatinya kian optimis saat melihat senyuman lebar yang Vania sunggingkan kepadanya. Inikah pertanda kenekatan dua insan yang memperjuangkan cinta mereka akhirnya mendapatkan hasil yang sempurna? Restu itu apakah sudah berhasil dalam genggaman Daniel dan Vania?
***