Tangan Gladis sibuk mengaduk bumbu racikan yang sudah dihaluskan oleh Vian, Windy juga sudah memotong sayuran beserta sosis yang tadi mereka beli, sebagai rayuan agar Gladis mau menelepon sang Bunda agar mereka diizinkan untuk menginap.
Setelah dirasa bumbu yang ia tumis harum, ia memasukan tiga butir telur, sosis, serta sayur. Memasukkan air dan menunggunya mendidih, matanya melihat ke arah Artha yang baru bangun dari tidurnya. Sejenak Artha menoleh ke arah Vian dan Windy yang tengah sibuk melihat kartun dari televisi, lantas melangkah ke arah dapur tempat Gladis berdiri.
“Masak apa, Dis?” tanya Artha sambil menggaruk kepalanya, bahkan wajahnya masih belum ia basuh dengan air
“Ada ini, cuci muka dulu, Tha! Jorok lo!” hardik Gladis kembali memasukkan mie instan yang tadi ia beli.
Artha menuruti, lelaki itu memutuskan mencuci mukanya di wastafel dapur samping tempat Gladis memasak.
“Masak apa?” tanya Artha lagi .
“Sikat gigi b**o! Bau jinggong!” Gladis menutup hidungnya, menghindari Artha yang berdiri di sampingnya.
Artha menatap Gladis kesal, tanpa berucap lagi lelaki itu masuk ke dalam kamar kembali dengan hentakan kaki yang ia sengaja keraskan. Gladis hanya melirik sekilas, mengabaikan rasa kesal Artha.
“Vian, Windy....” Gladis memanggil pelan kedua adiknya,
Vian dan Windy segera berlari menuju meja makan, mengambil tempat duduk masing – masing. Gladis menyajikan empat mangkuk untuk mereka. Mie nyemek resep dari sang Nenek menu yang ia buat hari ini untuk makan malam mereka.
“Kalian kalo laper makan aja, Kakak, nunggu Kak Artha,” ujar Gladis melihat Vian dan Windy belum menyentuh makanan mereka,
“Kita tunggu aja!” celetuk Windy, sebelum “KAK ARTHA!!!!”
Gladis sedikit berjinggit kaget mendengar teriakan Windy, matanya melebar menatap Windy tak percaya. Artha keluar dari kamar dengan wajah kaget juga, adik paling kecilnya memiliki suara yang tak kalah keras dibanding dengan pendemo di depan gedung DPR rupanya.
“Iya, Dek, kak Artha keluar nih!” Artha berjalan menuju kursi samping Gladis, berhadapan langsung dengan Windy.
“Yaudah, selamat makanan."
Windy dan Vian langsung menyantap makan malam mereka, berbeda dengan Gladis dan Artha yang masih saling pandang heran dengan kelakuan Windy, agaknya Vian sudah terbiasa. Artha memutuskan pandangan mereka, memberi isyarat pada Gladis untuk segera makan.
“Kok mie, Dis?” tanya Artha setelah melihat mangkuk didepannya berisi mie nyemek buatan Gladis,
“Mereka yang minta.” Gladis menunjuk pada Vian dan Windy yang tengah nikmat memakan masakannya.
“Pedes gak?” tanya Artha lagi,
“Enggak."
“Beneran? Gue ada penyakit lambung soalnya.”
“Enggak, Tha, makan aja.” Gladis memberi sendok dan garpu pada Artha, menyuruh lelaki itu mencicipi terlebih dahulu,
Artha mengambil sedikit kuah mie tersebut, pelan – pelan ia menyuapkannya, hingga akhirnya mulutnya dapat menyecap rasa mie buatan Gladis.
“Enak!” Artha menoleh pada Gladis, wajahnya seperti orang yang baru saja mendapat harta karun.
Gladis tersenyum.
>>
Setelah makan malam yang katanya enak pake banget mereka memilih menonton televisi bersama sambil memakan camilan yang sudah Gladis beli bersama Windy, Niatnya sih mau nonton film pake Netflix tapi masih menunggu Artha selesai kerja dulu. Jadilah mereka bertiga menonton di ruang tamu, sedangkan tv dengan sambungan Netflix ada di kamar Artha.
Sudah satu jam dan Artha belum selesai juga, padahal tadi bilangnya hanya merevisi sedikit laporan yang akan ia bawa untuk meeting besok. Vian dan Windy juga tampak sudah bosan melihat sinetron yang sedang tayang.
“Dis!”
Gladis menoleh, baru saja ia ingin mengeluh Artha sudah manggil aja.
“Ayo ke kamar," ajak Gladis pada adik – adiknya.
Mereka masuk, mata Gladis ditujukan pada Artha yang sibuk menyalakan tv. Vian tadi bilang mau nonton film horor terbaru, Gladis sempat tidak setuju karna ada Windy, umurnya belum cukup untuk monoton film horor. Tapi karna Windy juga mau menonton, akhirnya ia setuju.
“Sini!” Artha menepuk bagian samping dari ranjang kamar, mengisyaratkan Gladis untuk berbaring di sebelahnya.
Kamar Artha masih sama semenjak terakhir Gladis terbangun hari itu, agaknya membuat Gladis sedikit canggung.
“Kenapa?” tanya Artha saat Gladis masih mematung di samping ranjang.
“Enggak!"
Gladis mencoba menepis rasa canggungnya, lantas ia berbaring disamping Windy. Gadis cilik itu bahkan sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya didalam selimut. Vian yang juga berada disamping Windy menekan remote dan adegan film dimulai.
“Yang ini ya kak?!”Vian menatap Artha meminta persetujuan,
Artha mengangguk, mengisyaratkan Vian untuk memulai film yang sudah ia pilih.
“Kak Gladis,” Windy menjulurkan tangan, berniat memeluk Gladis.
Selama film berlangsung tangan Gladis tak lepas dari tubuh Windy yang ketakutan didalam selimut, hanya sesekali meraih keripik dari tangan Vian. Berbeda dengan Windy, Vian tampak anteng menonton bersama Artha yang duduk disampingnya. Posisi mereka mengapit Vian dan Windy.
Adegan jumpscare tak pernah gagal membuat Gladis menyembunyikan wajahnya, juga Windy yang bahkan tak pernah berani menatap layar tv. Gladis tertawa mengingat bagaimana ‘sok berani’nya Windy sebelum ini.
Tak ada suara, Vian dan Artha yang fokus tanpa rasa takut sedikitpun selama film berlangsung. Sedangkan Gladis dan Windy yang selalu memendam teriakannya diatas bantal. Tepat lima belas menit sebelum film berakhir Vian tertidur, menyusul Windy yang sudah jatuh dalam tidurnya terlebih dahulu.
“Dis? Mau ngobrol?” Artha berbisik pada Gladis setelah mematikan tv.
“Ngobrol apa?” tanya Gladis balik.
“Di kamar sebelah aja, nanti mereka bangun.” Artha menunjuk pada Vian dan Windy.
Gladis mengangguk, kemudian ia bangkit dan menyusul Artha yang sudah berjalan terlebih dahulu keluar kamar. Terakhir tangannya menutup pelan pintu kamar, berusaha tak mengusik kedua adiknya. Langkahnya mengikuti Artha masuk ke kamar lain di dalam apartemen.
“Apa?” tranya Gladis setelah memasuki kamar,
“Ayo buat perjanjian.”
“Perjanjian apaan?”
“Sini duduk” Artha menepuk ranjang sampingnya, dikamar tersebut hanya ada ranjang dan lemari, serta nangkas tempat lampu tidur.
“Perjanjian apa??” Gladis mengulang pertanyaannya,
“Bukan perjanjian yang ngerugiin kok! Kita kan gak tau kebiasaan satu sama lain, jadi kita buat perjanjian buat mempermudah kita jalanin rumah tangga ke depannya.”
Gladis paham. Lantas ia mengambil note kecil serta bolpoin yang kebetulan ada di nangkas. Ia bersiap menulis sambil tengkurap di atas ranjang.
“Jangan tengkurap!”
“Gak apa masih kecil, belom ngeganjel banget”
“Bener?”
“Iyaa.”
Artha sedikit khawatir memang, setau dia orang hamil dilarang tengkurap, tapi ia rasa Gladis nyaman – nyaman saja dengan posisinya saat ini.
Yasudah, asalkan Gladis nyaman itu gak bahaya, pikir Artha.
“Yang pertama apa?” Tanya Gladis memulai menulis peraturan,
“Masalah ranjang!”
“m***m!”
“Ini yang paling penting asal lo tau!”
“Iya apaan?”
“Let’s do.”
Gladis menoyor kepala Artha, meluapkan rasa tak jelas yang sedang merasukinya.
“Kita suami istri lagi Dis, it’s a little bit of life after marriange.”
“Kan accident.”
“Kebutuhan dong sayang, gue cowok dewasa asal lo tau."
“Okey, let’s do.”
“Sekarang?”
“Gak! Gue capek”
“Kalo lo capek bisa nolak sih, gue gak bakal maksa.”
“Ya lagian lo mau tiap hari apa?” Cetus Gladis sambil menulis aturan pertama mereka,
“Kalo lo mau.”
“Gila!” Gladis menangapi dengan acuh tak acuh, kembali menatap Artha, menunggu aturan kedua mereka.
“Masak? Lo bisa masak kan?”
“Bisa. Gue biasa masak buat sarapan sama makan malam”
“Siangnya?”
“Makan di luar.”
“Okey kita bakal makan bareng waktu sarapan sama makan malem, kalo salah satu kita ada yang gak bisa, harus ngabarin dulu ya”
“Hm, besok gue belanja kalo gitu. Kulkas kosong”
“Iya. Yang ketiga, kita berhak punya privasi.”
“Gue setuju yang soal itu. Sama satu lagi, tiap weekend kita saling bantu beresin rumah.”
“Apa aja?”
“Ngepel, nyuci, jemur, nyetrika, dan yang lainnya juga”
“Biasanya gue laundry sih”
“Mulai hari ini cuci sendiri”
“Sabtu Minggu biasanya gue tepar seharian”
“Lo harus bantu, sedikit aja kok”
“Iya – iya cantik”
>>