Gladis memasukkan baju terakhir milik sang Nenek ke dalam koper yang akan dibawa besok pergi ke Sumatera. Dia dengan telaten membantu sang Nenek berkemas sepanjang sore, setelah tadi pagi ia diantar ke rumah oleh Artha.
Gladis berbalik dan langsung tersenyum pada Neneknya yang duduk di atas ranjang. Nenek menepuk pelan ranjang disampingnya, memberi isyarat agar Gladis duduk disampingnya.
“Kenapa, Nek?” tanya Gladis setelah ia duduk di samping neneknya.
“Dis .... ” Tangan sang Nenek mengelus pelan perut Gladis. “Maafin Nenek yang gak bisa nemenin kamu lagi.”
“Apa si, Nek! Nenek kan mau gantian nemenin Om Budi.”
“Nenek minta maaf banget, udah gak bisa jagain kamu."
"Aku bisa jaga diri sendiri kok, Nenek, gausah khawatir."
"Kamu baik-baik di sini ya, sekarang udah ada Artha juga yang jagain kamu. Nenek juga mau bilang, kalo kamu ada masalah sama Artha jangan langsung terpengaruh sama ego kamu, pahami dulu masalahnya jangan ambil keputusan saat emosi kamu ada di puncak. Selesai semua baik-baik ya, kehidupan rumah tangga memang berat banyak cobaannya.”
Gladis tersenyum lantas mengangguk patuh. Kalo Gladis bisa, ia ingin selamanya tinggal bersama sang Nenek seumur hidup. Banyak hal yang telah Gladia lalui bersama Nenek setelah kepergian kedua orangtuanya, tanpa sadar air mata Gladis menetes membasahi pipi halus milik Gladis.
“Kok nangis?” Nenek mengusap pelan air mata Gladis “Jangan sedih, nanti cicit Nenek ikut sedih.”
“Kalo Gladis kangen, Nenek, Gladis bolehkan ke Sumatera?” tanya Gladis sambil menatap dalam mata sang Nenek.
“Boleh dong! Bareng sama Artha, sama cicit Nenek juga!”
“Gladis bakal kangen banget sama, Nenek.” Gladis membawa tubuhnya untuk memeluk sang Nenek, menumpahkan segala kegundahan hati Gladis.
Neneknya menyambut pelukan Gladis dengan hangat, tangannya ikut mengelus pelan puncak kepala Gladis. Mereka sedang menikmati waktu berdua dalam kamar milik sang Nenek, sambil menunggu detik-detik perpisahan esok hari.
“Nenek mau ngasih nama ke anak Gladis?” tawar Gladis, mulai rega dengan tangisnya.
“Mau dong!” Nenek mengangkat tubuh Gladis, kembali menatap wajah sang Cucu “Andara, bagus kan?”
“Artinya apa?”
“Sebuah permata, anak kalian akan jadi permata cantik yang bersinar nan elok.”
“Aamiin ....” Gladis kembali memeluk Neneknya.
“Baik – baik ya, Dis.”
>>
Matahari telah terbit, menampakkan diri dipagi hari yang tidak pernah Gladis tunggu. Hari dimana Neneknya akan berangkat ke Sumatera, ikut tinggal bersama anak bungsunya. Mereka sepakat akan mengantarkan sampai ke bandara, juga menyempatkan sarapan sebelum berangkat, sebagai sarapan terakhir Gladis dengan Nenek.
“Nenek masak apa?” tanya Gladis yang baru keluar dari kamarnya,
“Nasi goreng, kamu makan ini aja ya? Nenek lupa beli roti semalam.” Neneknya menjawab sambil tetap mengaduk nasi gorengnya.
“Iya gapapa, lagian Gladis mau makan masakan Nenek pagi ini!” Gladis tersenyum, tangannya memeluk sang Nenek dari belakang dibalas dengan elusan lembut ditangan Gladis.
“Tante sama Om udah masukin barang – barang ke mobilnya Artha, Arthanya udah bangun?”
“Udah, lagi mandi.”
“Ambilin nenek wadah buat nasi gorengnya, Dis!”
Gladis beringsut mengambil mangkuk besar transparan.
“Nanti kalo Gladis kangen lodeh buatan Nenek gimana?” Gladis cemberut sambil menyerahkan wadah yang telah ia ambil.
“Minta buatin Artha,” jawab sang Nenek singkat.
“Mana bisa?”
“Ajarin dong! Kamu kan udah Nenek kasih resepnya,” ucap sang Nenek.
Nenek memilih mengabaikan Gladis dan mendahuluinya keluar dari dapur, sedangkan Gladis harus mencuci barang yang telah neneknya gunakan tadi. Rumah ini akan dikosongkan selama seminggu sebelum ditempati oleh penyewa, Gladis membiarkan semua perabotan tetap pada tempatnya dengan perjanjian jika rusak harus diperbaiki. Penyewanya adalah teman sang paman, itu pula yang membuat Gladis tak begitu khawatir.
“Dis? Udah selesai?”
Seorang perempuan melongo ke dalam dapur, Tante Yuni tersenyum saat Gladis berjalan ke arahnya setelah menaruh peralatan yang sudah selesai ia cuci.
“Ayo makan, udah pada nungguin”
Mereka kemudian bergabung di meja makan. Dua anak om Budi tengah hikmat menikmati nasi goreng, sedangkan Artha dan om Budi tampak asik mengobrol. Gladis duduk tepat di samping Artha, tangannya dengan cekatan menyendok nasi untuknya sendiri.
“Gue sekalian, Dis.” bisik Artha setelah Gladis selesai mengambil nasi untuk dirinya, maka sekali lagi Gladis mengambilkan nasi untuk Artha.
“Tante nunggu cucu dari kamu lho, Dis!” ucap Tante Yuni setelah ia menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng.
Uhuk!
“Anak zaman sekarang itu cepet – cepet Yun, bentar lagi juga ngisi,” celetuk sang Nenek melihat Gladis terbatuk.
Artha mengulurkan segelas air pada Gladis “minum.”
"Ihh nanti kita punya adek ya?" seru Putri riang, menatap harap pada Gladis.
"Hehehe iya dong!" ujar Gladis seadanya menangapi keriangan pada wajah Putri.
"Cewek ya kak Gladis."
>>
“Putri nanti jangan nakal ya! Kalo putri dapet rangking satu kabarin kak Gladis, nanti kak Gladis kasih hadiah.”
Gladis memeluk remaja tanggung yang mengunakan hijab tersebut. Semua sudah ia peluk, Putri yang menjadi urutan terakhir.
“Siap Kapten!” Putri membuat gestur hormat pada Gladis, Gladis tertawa renyah melepas pelukannya pada Putri, tangannya ditarik pelan oleh Artha yang ada di belakang memberi isyarat jika sudah waktunya Nenek dan yang lain untuk masuk kabin.
Mereka berjalan menjauh dari Gladis dan Artha menuju pintu masuk pesawat. Gladis masih dapat melihat senyum hangat sang Nenek sebelum beliau masuk, disusul oleh Om Budi dan istrinya.
“Dadah kak Gladis!!! Kapan – kapan Putri ke sini lagi ya!!” Putri melambaikan tangannya ke arah Gladis.
Gladis membalas sambil menahan air matanya, melihat Tika juga melambai sambil menarik sang adik masuk. Melihat semua sudah masuk, lantas Gladis menangis. Artha yang ada di sebelahnya sejak awal memeluk tubuh hangat Gladis.
“Kapan – kapan kita ke sana, kalo lo kangen Nenek.” Artha mencoba menenangkan Gladis dengan mengelus pelan punggung Gladis.
Artha yakin bajunya basah dengan air mata Gladis, tapi lelaki itu tetap memilih abai dan membiarkan istrinya menangis menumpahkan segala kesedihan di dalam pelukannya. Hingga pesawat yang di tumpangi Neneknya lepas landas, Gladis dan Artha masih di tempat yang sama dengan posisi yang sama juga.
>>
“Dis, Nanti kalo kerepotan telepon Bunda aja ya”
Pesan terakhir Bunda sebelum beliau pamit untuk pergi bersama Baba. Mereka menitipkan Windy dan Vian untuk tinggal di apartemen Artha, rencananya nanti sore akan diantar oleh Artha ke hotel tempat Bunda dan Baba menginap.
Bunda menolak tinggal di rumah Gladis, beliau beralasan jika tak enak menempati rumah tersebut apalagi rumah Gladis harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum siap ditinggali oleh penyewa.
“Win, Kak Gladis pengen makan es krim deh!” Gladis membisiki Windy yang tengah fokus terpaku oleh televisi.
Windy menoleh, menatap ke arah Gladis bergantian dengan Jam dinding. “Biasanya Kak Artha ambil di kulkas,” celetuk Windy menunjuk ke arah lemari Kulkas.
Gladis segera berdiri dan menuju lemari kulkas milik Artha. Pikir Gladis ia akan membeli di minimarket dekat apartemen kalau di kulkas tidak ada es krim.
“Gak ada, Win.”
Di kulkas hanya ada beberapa sayur dan setengah potong semangka, beberapa kaleng soda dan s**u kotak besar. Agaknya Gladis harus mengajak Artha belanja besok. Gladis kembali duduk di samping Windy, matanya menatap ke arah Vian yang sibuk dengan ponselnya.
Sedangkan Artha tertidur sejak mereka sampai di apartemen sehabis pulang dari bandara, Artha juga mengeluh pada Gladis jika tak bisa tidur nyenyak karena sibuk dengan persiapan pernikahan yang mendadak ditambah banyaknya urusan perusahaan yang mendesak untuk diselesaikan.
“Beli yuk, Win!” ucap Gladis semangat,
“Kata Bunda, kalo mau makan malem gak boleh jajan dulu.”
Gladis melirik jam dinding, pukul empat sore, dua jam lagi mereka akan makan malam. Gladis juga tak tau mereka akan makan malam apa, kulkas Artha kosong.
“Kita beli es krim sekalian beli makan malem, Windy, mau makan apa?”
“Kita ke minimarket aja ya?” Windy jadi bersemangat mendengar Gladis mengajaknya pergi mencari makan malam.
“Iya dong, kemana lagi?”
Setidaknya Gladis bisa membeli sarden atau apapun di minimarket untuk makan malam mereka.
“Ayok!” Windy langsung melompat dari sofa yang semula ia duduki.
“Vian mau ikut lagi?” tanya Gladis.
Bocah lelaki yang sedari tadi fokus pada ponselnya pun menoleh, menggeleng kepala sarat akan penolakan dari ajakan Gladis. Namun, setelah itu matanya menatap kepada adik perempuannya, memberi isyarat tanpa berbicara.
“Okey! Mas Vian!” Windy mengacungkan jempolnya, tanda ia telah mengerti akan isyarat dari sang Kakak.
“Apa, Win?” Gladis yang melihat hal itu hanya bisa melongo tak paham,
“Gak ada, Kak! Ayo berangkat!!” Windy menarik tangan Gladis.
“Bentar Kakak, ambil dompet dulu!”
Gladis melepas tangan Windy, langkahnya menuju ke kamar milik Artha. Ia meletakkan dompetnya di atas laci, disamping koper – koper miliknya, semua barangnya sudah datang kemarin, tapi ia belum sempat menatanya, Gladis rasa ia harus menunggu Artha untuk itu.
Setelah keluar kamar, Gladis langsung menghampiri Windy yang sudah siap di depan pintu. Tangannya meraih tangan sang adik agar bisa bergandengan sepanjang jalan.
“Kak nanti Windy sama Mas Vian nginep ya?” Windy mendongak,
“Hmm? Bukannya sama Bunda disuruh ke hotel ya?” Gladis berbalik menatap Windy, mereka sudah masuk ke dalam lift.
“Windy gak suka di hotel, boleh ya nginep?”
“Iya deh, nanti bilang ke kak Artha dulu ya?”
“Iya.”
Setelah lift berdenting dan pintu terbuka mereka keluar, minimarket tak begitu jauh dari apartemen hanya butuh menyebrang jalan dan melewati satu bangunan toko sudah sampai.
“Kamu mau es krim juga gak?” tanya Gladis saat mereka masuk minimarket.
Windy mengangguk .Gladis membuka lemari es khusus untuk penyimpanan es krim, mengambil beberapa es krim dan sebuah es krim scop untuk disimpan di kulkas. Ia kemudian menuju tempat bahan masakan, ingin memilih ikan kalengan.
“Kak! Makan ini aja!” Windy berseru menunjuk ke arah rak penuh mie instan,
“Mie? Gak ah, nanti kamu dimarahin bunda.” Gladis tau sekali jika sang Bunda melarang keras mereka makan mie instan.
“Sekali aja kak! Ya ya ya” Windy memohon sambil menangkupkan tangannya, memasang wajah memelas pada Gladis.
“Tap-“
“Mas Vian juga minta Kok! Lagian Windy udah gak makan mie dua bulan. Duwer...."
Gladis berfikir sejenak, menimbang – nimbang permintaan Windy.
“Kak Artha gak akan marah kok!” Windy berusaha meyakinkan lagi,
“Yaudah deh, sekali doang ya!” Putus Gladis menyetujui.
“Iya, Kakak!”
“Syaratnya besok pagi bantuin Kakak belanja!”
“Siap, Kakak!”
Gladis menghampiri Windy yang sudah mengambil empat bungkus mie instan varian yang sama.
“Kok sama semua, Dek?” tanya Gladis menerima mie yang Windy kasih,
“Oh? Kakak mau yang lain? Soalnya ini yang Windy sama Mas Vian suka sih.”
“Yaudah deh samain, nanti biar Kakak yang buatin kalian menu spesial,” ujar Gladis mengingat resep mie instan dari sang Nenek.
“Udah? Windy, gak mau yang lain?”
“Mau beli Oreo!” tunjuk Windy pada biskuit berwarna hitam berkemas biru itu.
“Boleh, sekalian Mas Viannya ya!”
Gladis melangkah ke arah telur, ia juga akan membeli sosis untuk pelengkap menu yang akan ia masak nanti. Seingatnya ada sayur sawi di kulkas tadi, mungkin di Apartemen juga ada beberapa bumbu karna Bunda sempat menginap seminggu di sana.
“Ini, Kak!” Windy memasukkan jajanan yang sudah ia ambil. Dua buah Oreo, tiga macam varian keripik kentang, serta empat kotak s**u strawberry dan coklat.
Setelah Gladis menerima jajanan yang Windy bawa, ia mengandeng Windy ke arah rerotian yang berada di samping kasir. Gladis mengambil satu bungkus roti tawar, lalu menawari Windy selai yang anak itu suka.
“Biasanya Bunda kasih yang rasa coklat.” Windy menunjuk ke arah selai Nutella, Gladis mengambilnya. Setelah itu mereka membayar dan segera kembali ke apartemen untuk memasak makan malam.
>>