Cahaya matahari masih malu – malu menampakkan dirinya, bahkan embun pagi masih pekat di luaran sana. Namun, Gladis sudah sibuk berkutat dengan pemanggang roti di dapur. Masa bodo dengan Artha yang bilang jika dirinya tak akan sarapan, Gladis akan memaksanya memakan masakan yang sudah ia buat.
Bahkan Gladis masih melilitkan handuk pada kepalanya, dan masih memakai bathrobe. Artha masih tidur, begitupun dengan Windy. Tapi Gladis masih beruntung, Vian sudah bangun dan menemaninya sambil memainkan ponsel. Meski Vian terkesan duduk jauh darinya, setidaknya ada orang yang bisa ia mintai tolong jika ia kesusahan.
“Vian, bangunin Windy ya?” Gladis berucap setelah menaruh roti panggang untuk dirinya, Artha, dan kedua adiknya.
“Kak Artha?” Vian sudah bangkit, menawarkan dirinya membangunkan Artha juga,
“Jangan! Biar Kakak aja.”
Bisa gawat kalo Vian melihat Artha yang masih tak berbusana diatas kasur.
Vian memasuki kamar tempat Windy tidur dengannya semalam. Sedangkan Gladis menyelesaikan pekerjaannya, dua gelas s**u terakhir setelah selesai membuat kopi untuk Artha. Gladis hanya memanggang dua lembar roti untuk masing – masing mereka, tak lupa menyiapkan selai coklat yang sudah ia beli kemarin. Setelah merasa puas dengan sarapan yang ia buat, Gladis berjalan masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Artha. Lelaki itu masih nyaman bergumul dengan selimut.
Gladis duduk di samping Artha berbaring, tangannya dengan pelan menepuk pipi Artha. “Tha, bangun... Tha, udah siang, katanya lo mau meeting.”
“Em bentarrrr... Lima menit.”
Jujur Gladis merinding mendengar suara deep Artha, masih belum terbiasa.
“Gak ah! Cepet bangun. Nanti telat!”
Artha membuka matanya, secara otomatis ia langsung bisa melihat Gladis dengan handuk yang melilit tubuh serta kepalanya.
Artha tersenyum.
“Kenapa lo!?” Gladis sedikit sinis melihat senyuman Artha, rasanya ia tengah diledek.
“Enggak.”
“Bangun, Tha! Inget meeting!”
“Iya, ini bangun.”
Gladis ingin berdiri saat melihat Artha mulai sepenuhnya bangun. Namun tangannya ditahan oleh Artha, bahkan senyuman Artha masih tersemat indah diwajahnya.
“Kenapa?” tanya Gladis heran,
“Lo gak mau liat gue masuk kamar mandi?”
“Buat apa?”
“Yaaa... Liat aja, gak mau?”
“Lo gak pake baju gila!”
“Ya makanya itu.”
“Ck!” Gladis memukulkan bantal pada wajah Artha “m***m lo!”
“Sama istri sendiri ini.”
“Ya gak gini juga lah!” Gladis berdiri, ingin keluar kamar dan segera berganti baju. “Cepetan bangun! Dah siang.”
“Iya – iya. Berasa anak SD dibangunin emak gue,” gerutu Artha mengiringi kepergian Gladis.
Gladis keluar meninggalkan Artha dan menuju kamar Artha yang asli, bajunya masih di dalam koper semua. Ia melupakan rencana untuk menyusun baju bersama Artha kemarin.
“Kalian mandi sekalian ya, nanti dianterin ke tempat bunda,” ucap Gladis saat ia masuk dan melihat Windy duduk di atas ranjang sambil mengucek matanya.
“Nggak mau!”
“Lah terus?” heran Gladis mengetahui jawaban Windy,
“Mau sama, Kak Gladis, aja.”
“Kakak mau ke kantor, Kak Artha juga.”
“Ikut!!”
Sebenarnya cuti Gladis masih ada tiga hari lagi, ia akan masuk kerja setelah Windy dan Vian pulang ke Bali. Rencananya pagi ini ia akan ke kantor sebentar untuk menyerahkan deadline gambar pada sang atasan, baru ia akan belanja keperluan apartemen sendiri. Gladis tak keberatan sebenarnya jika Windy dan Vian ikut, tapi Bunda pasti menunggu.
“Nanti bilang Kak Artha aja, suruh dia yang nelpon Bunda.” Bukan tanpa alasan Gladis menyuruh Artha, dari semalam dirinya terus yang meminta izin, ia malu sendiri.
“Iya.”
Setelahnya Vian dan Windy masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Gladis bersiap memakai pakaiannya. Ia hanya akan memakai setelan hoodie dengan celana jeans, mungkin juga dengan memadu padankan dengan topi hitam. Gladis memilih memoles sedikit wajahnya, tidak terlalu tebal. Mengeringkan rambutnya dan keluar kamar. Windy dan Vian masih bercanda dalam kamar mandi.
“Dis?” Artha yang baru selesai mandi keluar kamar dan menghampiri Gladis,
Gladis sedikit syok melihat Artha hanya memakai handuk ditubuh bagian bawahnya, namun ia berusaha terlihat biasa saja. Mencoba mengendalikan dirinya dengan menatap wajah Artha tanpa melihat apa yang ia pakai.
“Apa?”
“Gue nyuruh bangunin jam tujuh, ini masih jam enam woy!” protes Artha sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Sengaja, lagian meeting lo jam delapan biar gak ketinggalan," jawab Gladis santai,
“Lo bikin sarapan?” Tak menanggapi ucapan Gladis lagi, Artha malah menengok ke arah meja makan.
“Iya. Udah sana pake baju, abis itu sarapan bareng.”
Artha mengangguk.
Melihat Artha sudah memasuki kamar, Gladis kembali ke pantry dapur. Sejak tadi ia sibuk mencari cinnamon powder untuk pelengkap sarapannya, juga dengan menambahkan gula. Sepertinya memang Artha tak punya stok untuk cinnamon powder, Gladis harus membelinya nanti. Sekarang ia hanya akan menaburkan gula pada roti panggang miliknya.
“Kak Gladis!”
Gladis menoleh, melihat Windy yang sudah mengambil duduk di salah satu kursi. Rambutnya masih berantakan, terbersit ide agar Gladis mengepang kuda rambut Windy nanti. Dibelakangnya Vian juga sudah tampak segar, rapi, dan bersih.
“Makan ini aja gapapa kan?” Tanya Gladis memastikan Windy dan Vian menerima menu yang Gladis buat.
“Gak papa kak!”
Gladis tersenyum senang, ikut mengambil duduk berhadapan dengan Vian.
“Dis bajunya kok belom lo masukin ke lemari?” Artha bertanya saat keluar kamarnya,
Penampilannya juga sudah rapi, kemeja, dasi, sepatu, jam tangan, hanya jas-nya saja yang belum ia pakai, masih tersampir pada pundak lebarnya.
“Gue nungguin elo kan.”
“Kan bisa masukin langsung, ngapain nunggu gue?” Artha mengambil tempat disamping Gladis, langsung menatap ke arah Gladis,
“Gue gak tau tempat mana yang buat baju gue, lagian barang lo mau langsung gue pindahin?”
“Iya juga sih, yaudah nanti ditata bareng”
>>
Gladis keluar kantor sambil menggandeng tangan Windy, sedangkan Vian berjalan santai di depan mereka. Beberapa kali Gladis mendapat ucapan selamat dari rekan maupun junior nya di kantor yang berpapasan dengan mereka.
Tujuan mereka setelah ini adalah supermarket, Gladis harus berbelanja banyak, mengingat kulkas apartemen Artha yang kosong melompong. Sepertinya Artha memang orang yang lebih suka membeli makanan jadi dari pada repot-repot memasak.
“Kak Gladis gak bareng Kak Artha ke supermarket nya?” Windy bertanya setelah ia duduk di jok bagian belakang.
“Kak Artha kan lagi kerja.”
“Katanya kan cuma sebentar.”
“Yaudah nanti biar nyusul.”
Gladis melajukan mobilnya keluar area kantor, sesekali matanya melirik ke arah Vian yang sibuk memainkan ponsel. Anak itu jarang bicara, berbeda dengan Windy yang selalu berbicara sesuka hatinya. Hanya sana, Vian bisa dibilang sangat perhatian, bahkan sepanjang pagi saat ia membuat sarapan, Vian rela menunggui Gladis walau hanya diam ditempat duduknya.
Karena memang supermarket dekat dengan kantor Gladis, hanya butuh beberapa menit dan mereka sudah sampai. Gladis turun terlebih dahulu setelah memarkirkan mobilnya ditempat parkir.
“Ayo, Win!” Gladis menggandeng tangan Windy,
Vian mengambil satu troli besar sebelum masuk ke dalam supermarket “Mau kemana dulu, Kak?” tanya Vian kemudian.
“Cari beras dulu.”
Saat mereka berjalan ke tempat segala jenis beras, ponsel milik Gladis berdering. Windy yang memang meminjam ponsel itu sejak mereka keluar dari apartemen menyerahkannya pada Gladis.
“Kenapa?”
“Ada telfon.”
Gladis meraih ponselnya, melihat nama Artha tertera pada layar ponsel tersebut. Tak perlu berpikir lama Gladis segera mengangkat sambungan telepon dari Artha itu.
“Halo?”
“Dimana?”
“Supermarket”
“Udah mau pulang belom?”
“Baru nyampe.”
“Yaudah gue susul ya.”
“Iya hati – hati.”
>>
“Kakak, mau semangka!!”
Windy yang sedari tadi mengandeng tangan Gladis menunjuk ke arah buah besar berwarna hijau saat mereka memasuki tempat khusus buah.-buahan.
“Yeee semangka mulu! Nanti gak dimakan,” sela Artha, membuat Windy jengkel sendiri.
Artha benar – benar datang setelah menelfon Gladis, tidak butuh lama karena memang dia sedang melewati jalur tempat supermarket ini.
“Biarin wle....” Windy menjulurkan lidahnya ke arah Artha, membalas ejekan dari kakaknya itu.
Artha balas mencibir Windy. Gladis yang melihat perilaku kekanakan Artha hanya memutar matanya lelah melihat interaksi Artha dan Windy seperti kucing dan tikus.
“Ambil, Vi, yang separuh aja.” Gladis menyuruh Vian mengambil semangka yang Windy mau, hanya anak itu yang bisa Gladis andalkan saat ini,
“Lo mau buah apa?” Gladis balik bertanya ke arah Artha yang ada disebelahnya sedang mendorong troli belanja,
“Emmhh... Gue suka mangga sih.”
Gladis mengangguk paham, lantas ia berlalu menuju tempat buah mangga. Mengambil plastik dan memilih mangga yang sudah matang. Meninggalkan Artha sendiri di tengah buah – buahan.
Artha mengedarkan pandangannya, sejenak ia melihat melon yang mengiurkan, mungkin bisa dibuat jus saat ia ingin nanti. Tapi bukannya mengambil sendiri, Artha malah melangkah ke arah Gladis dan Windy.
“Dis, ambil melon dong!” ucap Artha,
“Hm? Ambil sendiri aja, ini gue lagi milih mangga.” Gladis menghentikan acara memilihnya dan menatap Artha balik.
“Ambilin!”
“Ambil sendiri kenapa?”
“Gue gak bisa! Ambilin!”
“Ck! Nanti dulu, gue mau milih mangga dulu!”
Artha mengangguk, menunggu Gladis selesai dengan mangganya.
“Dis!”
“Iya, Tha, sabar dong!”
Gladis sedikit risih saat Artha menarik Hoodie nya, lelaki itu sudah tak sabar menunggu Gladis memilih mangga. Namun setelahnya, Gladis bisa melihat Vian berjalan ke arah mereka.
“Vian, ambilin melon sekalian.” Gladis menunjuk ke arah melon yang berada tepat disebelah Vian.
“Gak mau! Lo yang ambilin, Dis!” Artha ngotot tak mau diambilkan Vian,
“Kenapa? Sama aja kali!” bantah Gladis,
“Pokoknya harus elo!”
“Ck! Rewel banget sih!” Gladis menatap Vian. “Vi sini, pilihin mangga, Kakak mau ngambil melon dulu.”
Gladis melangkah dengan jengkel menuju tempat melon, meninggalkan Windy dengan Artha yang masih ada di tempat mangga. Tak butuh waktu lama, Gladis kembali dengan satu bauh melon ditangannya, menatap sinis ke arah Artha yang hanya menyengir tak bersalah.
“Lain kali kalo rewel gak usah ikut!”
>>