Hari H pernikahan.
Rampung dengan akad nikah, Gladis dituntun berganti pakaian untuk acara resepsi pernikahannya. Ia sedikit melirik ke arah Artha yang juga sedang sibuk berbicara dengan sang Ayah, lelaki itu sudah selesai berganti pakaian lebih cepat dari Gladis sendiri. Gladis jadi ingat ijab yang Artha ucapkan beberapa jam lalu, hanya satu kali tarikan nafas dengan fasih dan lancar.
“Saya terima nikah dan kawinnya Gladis Anindita binti Purnama dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas murni 20 gram dibayar tunai.”
Gladis kini telah menyandang status sebagai istri Artha, teman SMA yang bahkan tak pernah memiliki hubungan dekat dengannya. Ngomong-ngomong tentang tanggapan teman-teman yang ikut serta berangkat ke club pada malam sebelum kejadian, Dante dan Edward beraksi berlebihan saat mengetahui permasalahan dibalik pernikahan dadakan mereka, dua orang itu datang pada Artha dan memberi beberapa luka lebam di wajah lelaki itu. Flora lebih brutal lagi dengan berani memberi satu tendangan pada perut Artha saat mereka bertemu di Bank tempat Flora bekerja. Hanya Cakra dan Bagas yang bersikap dewasa dengan memberikan wejangan pada keduanya.
Kemarahan mereka hanya bisa diredam oleh Gladis. Beberapa kali bahkan Gladis harus menelepon Edward untuk memarahinya balik, mengatakan jika dirinya baik – baik saja dan Artha mau bertanggung jawab. Gladis menegaskan kepada sahabatnya jika ia akan menjalani hidupnya dengan baik bersama Artha. Walaupun hatinya sendiri tidak seyakin ucapannya.
Sedangkan Helena tidak ada kabar setelah berita Gladis dan Artha diketahui para sahabat mereka. Wanita itu tak merespon sama sekali dalam grub chat, bahkan ia memilih tak memenuhi undangan yang Gladis kirim. Artha juga nampak tak perduli dengan hal itu.
“Gavin dateng?”
Kali ini Artha bersuara setelah sekian acara yang mereka lalui. Wajah dan badan lelaki itu tepat menghadap pada Gladis, tampak berharap Gladis menjawab pertanyaan.
“Enggak, lagi di Inggris,” jawab Gladis
Artha mengangguk.
Mereka sedang menyambut tamu yang datang di acara hari ini. Keluarga Artha memilih merayakan dengan besar – besaran, dua hari penuh mereka menyelenggarakan acara. Gladis tak masalah jika dia masih bisa istirahat dengan cukup, staminanya akhir-akhir ini berkurang karena sedang mengandung.
Kemarin acara siraman dilanjut pengajian, dan hari ini akad beserta resepsi. Gladis juga meminta Flora ikut menginap bersamanya selama acara, supaya bisa membantu Gladis ditiap acaranya.
“Lo capek, Dis?” Artha kembali bertanya setelah mereka menyalami tamu dan duduk kembali,
Gladis mengangguk, tangannya sedikit mengelus bagian pinggang untuk meredakan rasa pegal sebab terlalu lama berdiri.
Artha yang melihat itu ikut mengelus punggung Gladis. Ia mengerti, Gladis tentu capek karena harus menjalani dua hari penuh acara dengan keadaan hamil muda. Beruntung Gladis bisa merancang pakaian yang simple untuk dirinya kenakan dan dengan bantuan mertuanya gaun tersebut dibuat dalam singkat waktu.
“Besok lo pindahan ke apartemen gue,” ucap Artha memulai pembicaraan lagi.
“Seminggu lagi aja,” jawab Gladis.
“Besok aja, lusa kan Nenek mau ke Sumatera ikut Om Budi. Lagian Windy sama Vian bakal di sana seminggu ini,” jelas Artha.
Seminggu yang lalu Gladis mengetahui jika Ayah dan Bunda kandung Artha sudah berpisah. Bunda menetap di Bali dan menikah di sana, sedangkan Ayahnya bersama Artha tetap tinggal di kota ini. Artha memiliki adik tiri dari sang ibu kandung, Vian yang berusia 10 dan Windy yang berusia 6 tahun. Kedua anak itulah yang menempeli Gladis sejak mereka sampai untuk menghadiri pernikahannya dengan Artha. Beda dengan Ayah dan Mama tiri yang tidak mempunyai anak, Mama tirinya telah mengangkat rahim setelah setahun pernikahan disebabkan oleh kanker servik.
“Nenek ke Sumatera lusa kan?”
Hal itulah yang Gladis pikirkan sejak Om Budi datang ke Jawa. Neneknya memilih merahasiakan kehamilan Gladis dari sang paman karena takut anaknya mengamuk dan menghajar Artha. Neneknya juga memilih tinggal bersama pamannya setelah Gladis menikah. Gladis sempat melarang, tapi kata sang Nenek itu memang rencananya dari awal merawat Gladis.
“Iya."
“Makanya tinggal di apartemen aja, biar lo ada yang nemenin."
“Terus Bunda sama Baba tinggal dimana? Kan kamarnya cuma dua.”
“Iya juga.”
“Gimana sih? Mau rencanain sesuatu itu yang mateng dong!” sewot Gladis,
“Ya kan gue cuma gak mau lo sedih.”
“Gini aja,” Gladis menghadapkan badannya penuh pada Artha layaknya posisi Artha, mumpung belum ada tamu yang naik untuk menyalami mereka .“Abis Nenek ke Sumatera, Bunda, Baba, Windy, sama Vian tinggal di rumah gue aja. Sampe mereka balik.”
“Gue juga?”
“Yah itu mah terserah elo, mau di apartemen juga gak papa.”
“Ya gue ikut lo lah!”
“Berarti besok juga lo ikut gue ke rumah.”
>>
Disisi lain bagian gedung ada seorang wanita yang tengah menatap kedua mempelai dari kejauhan. Dia sengaja tak menyalami mereka, terlalu kesal untuk sekedar berhadapan dengan kedua mempelai itu.
“Na, pulang yuk!”
Seorang lelaki menyentuh pelan bahunya dari belakang, sedikit mengelusnya karena emosi wanuta itu yang membara setelah mendengar berita pernikahan Artha dengan Gladis.
“Yuk!”
“Lo kenapa sih kesel gitu? Masih suka sama Artha?” lelaki itu bertanya karena bisa melihat wajah kesal Helena.
Iya, Helena. Perempuan itu datang tanpa sepengetahuan teman – temannya. Gengsi yang terlalu tinggi membuat dirinya tak mau untuk mengakui jika ia memang tak rela Artha menikahi Gladis. Harusnya dia tak terlalu lama mengabaikan Artha, lelaki itu mempunyai hidup yang sempurna. Bodohnya ia tak menyadari kekuasaan yang Artha miliki sejak dulu.
“Udahlah ikhlasin, lagian mereka mau punya anak,” nasehat sang lelaki yang menemani Helena untuk datang ke pernikahan Gladis dan Artha.
“Ikhlas gimana? Gue gak bisa dicampakin begitu aja!” Helena sedikit meninggikan suaranya. “Gue bakal rebut apa yang udah jadi milik gue!”
Setelah meletakkan gelas yang sedari tadi ia pegang Helena berjalan keluar gedung tempat acara hari ini. Di otaknya sudah mulai menyusun rencana yang akan ia lakukan ke depan, hal kotor yang mungkin menjadi resiko besar untuk pernikahan sahabatnya.
Well, semua masih belum selesai disini Dis.
>>
Acara selesai tepat pukul sebelas malam, Ayah Artha menyarankan untuk menginap dihotel dekat gedung acara malam ini. Hanya keluarga Artha, karena Nenek beserta Keluarga Om Budi memilih pulang ke rumah. Begitu juga teman – teman mereka yang sudah membantu 2 hari penuh, memilih pulang ke rumah masing – masing.
“Temen – temen kamu kenapa pulang, Tha?” tanya sang Ayah saat memberikan kartu untuk mengakses kamar mereka,
“Besok kerja, Yah” jawab Artha singkat.
Setelah itu, Artha memilih menarik tangan Gladis untuk dibawa masuk ke dalam lift. Tak ada percakapan yang keluar selama berada di dalam lift. Mereka sama – sama lelah dan ingin segera merebahkan diri di atas kasur.
“Nomor 257,” gumam Artha meneliti setiap pintu kamar hotel.
Hingga menemukan kamar mereka dan dengan segera Artha membuka pintu. Saat pertama kali masuk, Gladis bisa melihat kamar yang begitu rapi dengan desain minimalis, cocok untuk bersantai setelah menghadapi penatnya hari.
“Cuci kaki, cuci muka, abis itu tidur!” perintah Artha pada Gladis.
Gladis mengangguk. Lantas berjalan masuk ke dalam kamar mandi setelah sebelumnya sudah mengambil tas kecil berisi keperluan untuk mandi. Sedangkan Artha tengah meneliti setiap sudut kamar, dan menata tas mereka. Gladis hanya sebentar karena sebelumnya ia telah membersihkan make up dan juga melepas gaunnya tepat setelah selesai acara. Jadilah dia hanya mengunakan perawatan wajah malamnya dan berganti piyama untuk tidur. Saat keluar kamar, dapat dilihat Artha yang tengah menunggu didepan kamar mandi. Tugasnya telah selesai
“Tidur aja dulu, lo pasti capek,” ucap Artha sebelum masuk ke kamar mandi.
Ucapan Artha memang benar, badan Gladis remuk. Dua hari penuh ia lalui dengan serentetan acara yang telah keluarga Artha siapkan, begitu juga rasa gelisah yang selalu menghampiri Gladis. Tapi kali ini ia sudah bebas, maka dengan segera ia merebahkan badannya diatas kasur.
“Kok gak ada guling?”
Gladis lupa jika hotel jarang menyediakan guling untuk setiap kamarnya, mereka hanya menyediakan bantal dan selimut. Padahal Gladis tak pernah bisa tidur tanpa guling dalam pelukan. Alhasil ia cemberut dan memilih duduk, matanya menelisik mencari barang yang bisa ia gunakan sebagai guling. Kalau ia memakai selimut, nanti mereka pasti kedinginan. Mereka juga hanya mengunakan tote bag untuk keperluan pribadi.
“Gimana gue bisa tidur?!!” frustasi Gladis,
Matanya menangkap remote tv yang tergeletak di atas nangkas samping tempat tidur, lebih baik ia menonton tv sambil menunggu Artha selesai mandi. Gladis bisa menyuruh Artha meminta tambahan bantal pada resepsionis karna ia sendiri terlalu malas untuk memintanya.
“Kok belum tidur, Dis?” Tanya Artha saat keluar kamar mandi.
Gladis sedang bersandar pada tempat tidur, sambil menghadap tv tak lupa dengan wajah cemberutnya. Sepersekian detik Artha larut pad kegemasan ingin rasanya mencubit pipi lembut Gladis, namun segera ia mengelak karna tau jika Gladis harus segera beristirahat.
“Guling!!” Sebenarnya Gladis malu merengek seperti ini, tapi sungguh dia tak bisa mengontrolnya.
Artha langsung paham, Gladis tak bisa tidur tanpa memeluk sesuatu. Namun alih – alih keluar kamar dan meminta guling pada resepsionis, Artha malah menyusul Gladis tidur disamping gadis itu.
“Kok malah tidur sih, Tha? Cariin gue guling!!” Gladis menepuk badan Artha yang ada disebelahnya.
“Ini guling hidup lo,” ucap Artha sambil menunjuk dirinya sendiri,
“Apaan sih?!”
“Peluk gue aja biar bisa tidur, udah malem banget ini kalo mau nyari guling”
“Dih kagak mau!”
“Udah!” Artha merebut remote yang ada ditangan Gladis dan mematikan televisi, ia juga mematikan lampu kamarnya “Sini!”
Artha menarik Gladis masuk ke dalam dekapannya. Awalnya Gladis menolak namun ketika wajah Gladis sudah berada tepat berada pada d**a bidang Artha, sedangkan salah satu tangan Artha digunakan untuk bantalah Gladis dan satunya lagi melingkar pada pingang Gladis. Gladis mulai pasrah berada dalam kunkungan Artha.
“Sekarang tidur,” ucapa Artha setelah mengecup kening Gladis.
>>