“Nanti sore gue kerumah lo sama bokap."
“Apaan?! Gue belom jawab sama sekali!”
Sehabis dari warung bubur ayam, mereka memutuskan untuk berjalan menelusuri alun – alun kota, hitung-hitung berolahraga pagi mumpung mereka berada di area cfd.
“Mau sampe kapan? Sampe perut lo keliatan? Lagian kalo pun lo milih buat gugurin, udah gak bisa kalo udah gede,” celetuk Artha tampak kesal pada Gladis.
“Ya gak nanti juga lagi! Gue belom bilang ke Nenek!” Gladis masih tetap menolak.
“Udahlah, pokoknya nanti gue dateng. Masalah Nenek, biar bokap gue yang urus,” ucap Artha mantap tanpa ingin dibantah.
Setelah itu ia berjalan cepat mendahului Gladis, membuat wanita yang lebih pendek dari itu juga mempercepat langkahnya. Tampaknya Artha mulai kesal dengan sifat keras kepala Gladis.
“Artha! Jangan cepet – cepet!” protes Gladis yang tak bisa mensejajarkan langkah dengan Artha.
Gladis lebih pendek dari Artha, yang otomatis membuat langkahnya lebih kecil dari lelaki tersebut, tentu saja dirinya tak bisa menyeimbangi langkah Artha yang terkesan lebar – lebar. Sedangkan Artha masih tak mau mendengarkan dan malah mempercepat langkahnya menuju penjual rujak buah.
“Mau kemana sih!” Gladis akhirnya berlari menyusul Artha.
"Tha!” seru Gladis saat berhasil menggapai tangan Artha dan menggenggamnya.
“Lo lari, Dis?” Artha sedikit menyipitkan matanya melihat nafas Gladis yang memburu.
“I-iyahh .... ”
“Gila Lo! Entar anak gue kenapa – napa gimana? Pake segala lari, lu lupa kalo lagi hamil?!” omel Artha sambil memegangi kedua pundak Gladis mencoba memeriksa seluruh badan wanita itu.
Plak!
“Lebay lo! Lomba maraton juga gue masih kuat lagi ini," balas Gladis setelah menampar kecil pipi Artha.
“Gak boleh! Mulai sekarang elo gak boleh lari, apalagi loncat-loncat!!” tegas Artha sambil memegangi pipi bekas tamparan Gladis, meskipun tak berasa apapun.
”Iya bawel! Lagian lo ninggalin gue tadi!” balas Gladis tak mau kalah.
“Sengaja, lagian lo batu banget.”
“Ck! Dari dulu!” Gladis melirik sinis pada Artha. "baru sadar?"
“Hm iya,” gumam Artha memutar bola matanya jengah.
“Lo mau kemana ini?” Gladis tampak mengintip di balik tubuh Artha, mencoba melihat hal yang akan didatangi lelaki itu tadi.
“Mau beli rujak, gue liat lo dari tadi liatin tukang rujak mulu.” Artha teringat tujuan awalnya, dan kembali berjalan dengan mengandeng tangan Gladis, masih sambil mengendusi tangan wanita itu seperti tadi pagi “Mau beli rujak kan?”
“Gak! Gue naksir yang jualan!’’
“Dihh!”
“Hehehe... beli rujak....” Gladis berjalan dengan riang, tanpa menyadari jika Artha tengah tersenyum melihat tingkahnya.
Kini malah Gladis yang berjalan mendahului Artha menuju gerobak rujak sambil tersenyum bahagia. Matanya berbinar saat melihat mangga muda yang telah mencuri perhatiannya sejak tadi.
“Mas rujak satu ya!” pesan Gladis,
“Gak usah nanas!” imbuh Artha yang berada disamping Gladis, terkesan menyebalkan.
Gladis menoleh cepat, menatap sinis ke arah Artha. Sedangkan Artha malah balas melotot galak ke arah Gladis. Sejak kapan mereka seakrab ini?
“Mas – mas sejak kapan dia jadi kakak lu?!” sindir Artha setelah mendengar panggilan Gladis yang ia tujukan pada penjual rujak.
“Biarin! Orang penjualnya masih muda!” balas Gladis tak kalah sinis.
“Sini Lo! Jangan deket – deket cowok lain!” Artha memindahkan posisinya bertukar dengan posisi Gladis, membuatnya berada di tengah-tengah antara penjual rujak dengan Gladis.
“DIH!!”
>>
Di perjalanan pulang, Artha fokus pada kemudi sedangkan Gladis sibuk memakan rujak untuk porsi keduanya. Tangan kanan Gladis masih setia digenggam Artha, Gladis pun sudah terbiasa sebelah tangannya diciumi oleh Artha. Beruntung dia bisa dengan baik mengoperasikan kedua tangannya.
“Lo ada acara apa di rumah, Dis?” tanya Artha saat ia sudah sampai didepan rumah Gladis.
"Lamaran," jawab Gladis singkat dengan maksud bercanda.
"Serius!"
“Acara apaan? Gak ada ah!” Gladis masih tetap fokus, tak berpaling sedikit pun dari rujaknya.
“Liat tuh! Depan rumah lo ada mobil, mobil siapa?”
Gladis menoleh, menatap mobil berwarna hitam dengan plat nomor yang tidak ia kenali. Perasaannya yak ada acara apapun deh, terus siapa? Pamannya pun kalo mau kesini pasti memberi kabar terlebih dahulu, dan minta supaya dijemput ke bandara. Namun, saat Gladis masih mencerna dan menerka siapa tamu yang datang, Artha malah berseru keras.
“Sialan!”
Gladis terkejut mendengar suara Artha di sebelah. Ia menghadap ke arah Artha yang tampak kebingungan. “Dis, cepet keluar!”
“Siapa, Tha?”
“Bokap gue!”
Demi mendengar jawaban Artha, Gladis langsung terlonjak dan keluar dari mobil Artha. Langkahnya yang kecil membuat dia berinisiatif berlari masuk ke rumah. Akan tetapi, tangannya segera ditahan oleh tangan hangat milik Artha.
“Jangan lari!”
Inget aja nih cowok...
“Tungguin gue!”
Artha menutup mobil dan berlari kecil menghampiri Gladis yang berdiri disamping gerbang. Tangganya kembali digenggam oleh Artha, bersamaan masuk ke dalam rumah,
“Tha, rujak gue!” Gladis menarik tangan Artha menuju mobil, rujaknya masih ada di dashboard mobil.
“Ck! Nyusahin!”
“Bodo amat!”
Artha tak menanggapi, ia lebih memilih menarik kembali tangan Gladis setelah wanita itu mengambil rujaknya dan masuk ke dalam rumah. Mereka dapat melihat kedua orang tua Artha duduk di sofa berhadapan dengan Nenek Gladis.
“Dis!”
Gladis langsung menoleh pada Neneknya, antara takut dan gelisah. Gladis yakin Neneknya pasti kecewa padanya. Gladis menunduk tak berani menatap ke arah tiga orang paruh baya di ruang tamu itu.
“Kenapa gak bilang kalo udah ada calon?”
Gladis sedikit terkejut karna Neneknya tak marah, malah wajahnya tampak seneng.
“I-itu....”
“Sengaja kok, Nek, buat kejutan aja.” ini Artha yang jawab, mengerti jika Gladis pasti dipenuhi kegugupan.
Gladis ditarik duduk di sebelah Artha, tangannya masih dalam genggaman lelaki itu. Mata Gladis fokus pada sang Nenek yang tampak tersenyum hangat menghadapi kedua orang tua Artha.
“Kalo emang nak Artha mau tanggung jawab dan sungguh – sungguh jatuh cinta sama Gladis, Nenek restuin kok! Lagian itu juga cicit pertama Nenek.”
“Kalo begitu 2 Minggu lagi kita adakan acaranya ya, Bu, biar pihak kami yang menyiapkan. Ini juga sebagai bentuk hadiah dari saya untuk menantu dan calon cucu saya," Ayah Artha tampak tersenyum membalas ucapan Nenek.
“Tha, kok Nenek gue-?” Gladis berbisik pada Artha yang ada di sebelahnya.
“Gue bilang juga apa? Udah serahin ke bokap gue aja!”
“Bokap lo ga–“
“Ya gak lah! Rujak Lo tuh, makan buru gausah mikir aneh-aneh!”
Gladis kembali menatap tangannya yang masih memegangi rujak, dirinya justru dirundung gelisah.
>>