Ervin merasa dunianya akan runtuh saat itu juga. Mereka kompak bertatapan lalu perlahan pandangan keduanya mengarah ke bawah tepat pada perut Elina. Ervin bersandar pada kursi setelah mendengar ucapan dokter. Ia masih belum percaya akan secepat ini mendapat keturunan.
Tatapan Ervin dan Elina kembali bertemu sebelum Ervin kembali menatap perut datar istrinya. Gadis itu mengusap perutnya pelan seakan tidak percaya ada kehidupan di dalam sana.
“Bagaimana bisa dok? Maksud saya kami hanya melakukan sekali, kenapa Elina bisa hamil?” tanya Ervin. Ia benar-benar bingung. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua. Ervin belum siap untuk itu.
“Selama melakukannya di saat yang tepat, seorang wanita bisa hamil ketika baru sekali berhubungan. Artinya jika wanita dan pria sedang dalam masa subur, proses pembuahan pun bisa terjadi. Apa Pak Ervin saat itu menggunakan pengaman?” tanya dokter. Wajah Ervin memerah. Ia melirik Elina yang merasakan hal yang sama. Ervin menggeleng.
“Apa ibu Elina pernah minum pil kontrasepsi?” tanya Dokter. Elina juga menggeleng. Ia tidak tahu tentang itu, lebih tepatnya ia hanya tahu kalau melakukan sekali tidak akan hamil.
“Jadi kemungkinan besar ibu Elina hamil walau hanya melakukan sekali. Meski mengeluarkannya di luar pun masih ada kemungkinan hamil itu masih ada karena sebelum ejakulasi ada cairan yang mengandung s****a keluar terlebih dahulu. Kita tidak tahu s****a mana yang berhasil melakukan pembuahan, untuk itu saya sarankan harus berhati-hati jika ingin menunda kehamilan,” jelas dokter.
Ervin mengusap leher belakangnya. Ia dan Elina hanya bisa diam mendengar penjelasan dokter. Kali ini ia merutuki dirinya yang sering tidur saat pelajaran biologi. Setelah mendapat resep dari dokter Ervin dan Elina pun keluar.
Tidak ada yang mulai bicara. Elina menunduk kepala tidak berani menatap suaminya. Ervin menghentikan langkah lalu berbalik menatap Elina. Ia menarik dagu istrinya sehingga tatapan mereka kembali beradu.
“Mister, maafkan aku,” kata Elina.
“Gak apa-apa. Aku tebus obatnya dulu,ya.”
Ervin tersenyum kemudian pergi mendahului Elina. Pikirannya berkecambuk. Semua rencananya hancur sudah. Bagaimana nanti ia bisa menafkahi anak dan istri sementara ia sendiri masih belum punya penghasilan.
“Mister,” panggil Elina membuat Ervin menghentikan langkahnya.
“Kita bicara di rumah,ya, Elina,” kata Ervin. Hati Elina terasa remuk, ia tidak pernah menduga kalau Ervin akan semarah itu. Elina ingin menangis menumpahkan segala perasaannya, tapi ia tidak ingin Ervin melihatnya.
Setelah sampai di rumah Ervin segera masuk kamar. Elina yang ingin bicara pun mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ervin mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan yang tidak direncanakan.
***
Pagi hari seperti biasa Elina akan membuat sarapan. Meski dalam kondisi yang tidak baik ia tetap memaksakan diri. Ervin belum keluar dari kamarnya sehingga ia bisa lebih tenang. Secangkir teh di pagi hari di tambah roti panggang selai kacang, hanya itu yang tersisa di kulkas. Karena sering mual-mual Elina tidak sempat berbelanja kebutuhan dapur.
Setelah semua sarapan terhidang di meja Elina pun melepas celemek yang melindungi tubuhnya. Ia bersiap untuk membangunkan Ervin, tapi urung ia lakukan karena pria itu sudah berdiri di ambang pintu. Ervin sedang menatapnya. Elina tersenyum tipis, tapi suaminya tidak membalas. Ervin menatap kulkas lalu melewati Elina begitu saja. Wangi parfum yang Ervin pakai membuat perut Elina bergejolak. Sebisa mungkin gadis itu menahan rasa mual yang datang tiba-tiba.
“Mister sarapan dulu,” ujarnya setelah mengendalikan rasa mual. Ervin mengambil air dingin lalu meminumnya. Ia menatap sarapan yang sudah tersaji. Ervin mengelurakan dompetnya lalu meletakkan uang seratus ribu di atas meja.
“Hari ini kamu ke kampus sendiri, ya, pakai ojek. Itu uang ongkosnya.Aku nggak bisa antar kamu hari ini aku banyak tugas. Aku berangkat dulu.” Ervin pergi tanpa menunggu Elina bicara. Bagaikan angin pria itu berlalu begitu saja. Elina merasakan sesak di dadanya. Apa mungkin Ervin bersikap dingin untuk menghindari dari Elina? Gadis itu menengadahkan kepalanya untuk menghalau air mata yang siap tumpah.
“Apa hanya mama yang mengharapkan kamu?” Elina mengusap perutnya sambil terisak. Tangis yang sejak semalam coba ia tahan akhirnya tumpah begitu saja. Elina menangis di dapur, saat ia melihat sarapan yang tidak disentuh Ervin, tangisnya semakin kencang. Ia tidak sanggup diabaikan oleh suaminya, tapi ia sendiri tidak bisa kehilangan bayinya.
Hari itu Elina memutuskan untuk izin. Kondisinya tidak baik terlebih di kampus ia akan bertemu dengan Ervin. Elina belum sanggup dicampahkan oleh suaminya. Sore hari Elina memutuskan untuk pergi ke swalayan. Ia sendiri tidak tahu akan membeli apa. Sesekali ia menatap layar ponsel yang menampilkan mitos-mitos tentang kehamilan. Sampai akhirnya ia menemukan artikel tentang buah yang tidak boleh dikonsumsi saat hamil.
Elina menatap ragu pada buah nanas muda yang sudah dikupas bersih. Ia hanya perlu mengambil secukupnya untuk dimasukkan ke keranjang. Sesaat ia ragu, tapi perasaannya sudah hancur. Elina menghapus air mata yang kembali menggenang di pelupuk. Ia tidak boleh cengeng. Bagaimana pun harus ada yang dikorbankan.
Dengan tangan gemetar gadis itu memasukkan buah nanas muda ke dalam keranjang. Keraguannya mulai sirna, Elina rasa itu adalah sesuatu yang benar. Gadis itu bergegas ke kasir membayar semua barang belanjanya. Di rumah Elina sudah mendapati motor Ervin terparkir di halaman. Ia kira suaminya akan pulang malam.
“Aku pulang,” kata Elina. Ervin yang sedang membaca buku di ruang tengah mengalihkan perhatiannya pada kantong plastik yang Elina bawa.
“Pulang belanja?” tanya Ervin canggung. Pria itu merasakan hubungannya dengan Elina menjadi dingin. Gadis itu terlihat lemas dan matanya sembab. Ervin merasa bersalah, tapi ia takut untuk mendekati istrinya. Terasa seperti ada tembok penghalang di antara mereka berdua. Elina mengangguk lalu masuk ke dapur. Ervin bergegas menyusul Elina berpura-pura minum air. Diperhatikannya Elina yang sedang membuka bungkusan nanas yang sudah dipotong memenjang. Gadis itu kembali memotong kecil-kecil lalu meletakkannya di atas mangkok.
“Buah nanas saja?” tanya Ervin. Ia tidak melihat ada barang atau makanan lain yang dibeli istrinya.
“Iya, nanas muda,” sahut gadis itu. Elina tidak menawari Ervin, ia segera masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu dari dalam. Ervin menghela napas panjang, sepertinya masalah rumah tangga mereka sudah semakin kusut. Diteleponnya Boby yang menjadi teman curhat dalam segala kondisi. Ervin butuh advice yang bisa membuatnya tenang.
“Lo belum siap jadi bapak?” tanya Boby di seberang sana. Ervin sudah menceritakan keluh kesahnya pada pria itu.
“Gue harus bagaimana, Bob?” Ervin tiduran di atas kasur. Ia mulai gelisah, perasaan buruk terus menghantui.
“Gampang lo kasih saja nanas muda biar gugur. Orang bilang sih kayak gitu, gue nggak tau benar apa enggak,” kata Boby membuat Ervin tersentak. Pria itu langsung berdiri dengan jantung berdebar kencang. Tanpa berkata-kata lagi Ervin melempar ponselnya ke tempat tidur lalu berlari ke kamar Elina.
“Elina tolong buka pintunya!” teriak Ervin sembari mengetuk pintu kamar istrinya. Tidak ada jawaban dari dalam membuat perasaan pria itu campur aduk.
“Elina kamu baik-baik saja,kan? Jangan lakukan sesuatu yang aneh. Elina tolong buka pintunya atau aku akan dobrak!” ucap Ervin. Masih tidak ada jawaban. Ervin semakin lemas, air matanya pun turun diikuti rasa sesak yang membuatnya sulit bernapas.
“Elina maafin aku. Buka pintunya Sayang.” Ketukan Ervin semakin lemas. Bayangan Elina dan anaknya dalam bahaya terus berputar dalam pikiran. Pintu akhirnya terbuka. Elina berdiri dengan mata sembab dan rambut berantakan. Ervin tahu istrinya habis menangis. Ervin menjulurkan tangannya meraba pipi Elina yang mengembung.
“El, buang buah nanas itu, ya,” kata Ervin lembut. Namun, Elina menggeleng. Ervin membuka paksa bibir Elina sampai gadis itu memuntahkan semua buah yang ada di mulutnya. Ervin sedikit lega, tapi saat ia melihat piring kosong di atas meja seketika kakinya melumpuh. Elina duduk di lantai sambil menangis diikuti Ervin yang duduk di sampingnya.
Ervin mengusap wajahnya beberapa kali. Air mata sudah menganak sungai di pipinya. Begitu juga dengan Elina. Tangan Ervin terulur mengusap perut rata istrinya.
“Dia masih ada,’kan El? Dia belum pergi,’kan? Aku belum terlambat,'kan?” tanya Ervin dalam isakan. Elina hanya menangis, tidak mampu menjawab pertanyaan Ervin. Kedua kening mereka beradu, Ervin menangkup kedua sisi wajah istrinya.
“Maafin papa, Nak. Maafin aku, Elina,” gumam Ervin. Memikirkan dirinya telah kehilangan anak pertamanya membuat Ervin dibalut dalam penyesalan.