"Luna, kau mau pergi ke mana?"
Suara Dean tersebut terdengar sangat berat dan menggelegar di rumah besar itu. Luna memejamkan matanya dan merutuki dirinya yang terlalu nekat untuk keluar dari kamarnya.
Luna tanpa rencana berbalik, ia melihat Dean di ujung tangga yang sekarang sedang berjalan ke arahnya.
"Aku hanya ingin membaca buku, apa tidak boleh?"
Luna berkata secara spontan dan kenyataannya emang itulah yang ia inginkan, Luna tidak berbohong atau mengada-ngada untuk itu. Ia berharap Dean tidak membunuhnya setelah ini.
"Membaca buku? Jika kau terus berjalan, kau akan menemukan perpustakaan kecil. Kau bisa membaca buku apapun disana," jawab Dean.
"Apa aku boleh kesana?" tanya Luna dengan nada paling lembutnya dan tatapan memelasnya.
Luna harus bersikap seperti anak yang polos untuk sementara waktu, meskipun sebenarnya ia merasa jijik dengan dirinya itu.
"Silahkan," ucap Dean dan kemudian pergi dari ruangan itu.
"Ia benar-benar seperti orang sibuk," ungkap Luna dengan mendecih kesal.
Luna memastikan Dean benar-benar pergi dari sana. Ia melangkah pelan menghampiri sebuah lemari yang berisi barang antik, Luna memperhatikan setiap penjuru ruangan hingga ke langit-langit sekalipun.
"Bagus! Disini ternyata tidak ada kamera pengintai satupun," gumam Luna.
Luna merasa itu akan aman jika ia pergi keluar dan menjelajahi rumah Dean selama tidak ada pembantu yang melihatnya.
Luna kembali berjalan dengan tenang menuju perpustakaan untuk menghindari kecurigaan, pastinya dengan kaki yang diseret. Ia tidak sebodoh itu untuk meninggalkan bekas sepatunya di ruangan itu.
"Tentu saja! Alasanku menyeret kakiku adalah karena kakiku masih terkilir!" seru Luna dengan sedikit berteriak.
Luna harus membuat orang-orang yang ada disekelilingnya tidak mencurigainya. Bagaimanapun, Luna merasa mereka tetap tidak bisa tutup mulut jika ada orang asing yang mencurigakan di rumah Dean bertingkah dengan aneh. Mereka pasti melaporkannya.
Setelah melewati ruang utama yang besar itu, Luna melihat sebuah ruangan besar dengan pintu dan dinding kaca. Luna melihat banyak lemari dan rak buku disana, dengan pandangan berbinarnya, Luna segera mendatanginya dan membuka pintu perpustakaan itu segera.
"Aku benar-benar merindukan wangi buku," ucap Luna saat sampai pertama kali disana.
Mata Luna melirik ke langit-langit perpustakaan. Luna sudah menduganya, terdapat banyak kamera dan penyadap suara disana.
Luna terdiam sebentar dan kemudian ekspresi wajahnya berubah dalam hitungan detik menjadi tersenyum bahagia.
"Dimana yah buku cerita!" seru Luna dengan melompat-lompat melihat isi perpustakaan yang terbilang cukup besar itu.
"Yang benar saja! Ia berkata perpustakaan kecil, tetapi ini merupakan perpustakaan besar menurutku. Apakah ia sedang berusaha untuk menyombongkan dirinya?" gerutu Luna sepanjang mencari buku.
"Kebanyakan hanya terdapat buku filsafat, apa ia seorang filsuf? Sepertinya aku bisa mencoba membaca salah satu dari buku-buku mengerikan ini," ungkap Luna dan mulai mengambil buku yang menurutnya menarik dari per satu.
Luna masih sedikit bingung, kenapa Dean membuat perpustakaan di rumahnya. Luna merasa perpustakaan seperti ini tidak mungkin ada yang mengunjungi kecuali Dean sendiri.
Setelah Luna memilih beberapa buku, ia membawanya ke sebuah meja yang ada di perpustakaan itu. Luna menaruhnya dan memilih kembali mana buku yang menurutnya paling menarik dan cocok dibaca dalam keadaan seperti ini.
"Keluarga Kadal?" gumam Luna membaca sebuah buku.
Luna mencoba membuka halaman pertama, kertas-kertas disana masih lengket dan itu merupakan buku baru. Jadi ia tidak masalah membacanya, Luna memutuskan mengambil buku itu saja dan mengembalikan buku yang lainnya.
"Apa aku bisa membaca buku ini di taman?"
"Aku harus mencoba menanyakannya dahulu kepada Dean," gumam Luna dan pergi dari perpustakaan itu.
Luna menggenggam buku itu dengan kedua lengannya dan memeluknya di d**a, Luna tanpa takut langsung keluar dari perpustakaan. Luna pergi ke arah pintu di ruangan utama itu, ia tidak menyangka jika Dean masih ada disana dengan beberapa anak buahnya sedang membicarakan hal yang serius.
Dean melihat keberadaan Luna saat itu juga, pria itu menaikkan sebelah alisnya seakan bertanya ada apa, tetapi Luna tidak meresponnya seakan dirinya tidak tau dan malah mengerjapkan matanya.
"Kau ingin apa?" tanya Dean tidak ramah.
"Aku ingin membaca buku ini di taman," ucap Luna.
"Kau boleh pergi," balas Dean.
"Apa itu artinya aku boleh ke taman?" tanya Luna.
Dean tidak menjawab dan hanya mengangguk, Luna langsung pergi dari sana dengan lompatan kecilnya sampai di taman yang berada di belakang rumah besar milik Dean itu.
"Oke, sekarang mari kita cari cara bagaimana cara keluar dari rumah ini dengan membaca buku ini," gumam Luna seraya membuka lembaran pertama pada buku itu.
Luna duduk di sebuah ayunan besar bewarna putih dengan bahan dari besi. Luna menatap sekitarnya dan ia merasa lega ketika mengetahui sekarang ia benar-benar sendirian disana.
"Mari kita baca buku ini dahulu!" seru Luna dengan senyuman tipis di bibirnya.
***
Callista sudah sejaman berjalan-jalan di kota untuk mencari apartemen yang cocok untuknya. Tentu saja Callista kesusahan, karena ia ingin menyembunyikan identitasnya.
Callista harus mencari apartemen yang memberikan privasi bagi pelanggannya dengan tidak menanyakan identitas mereka.
"Ah disana!" seru Callista saat melihat suatu apartemen mewah yang pernah dirumorkan berhantu.
Callista berlari dengan cepat kesana, ia mendatangi meja resepsionis untuk meminta kunci. Saat itu juga Callista langsung diberi sebuah kunci kamar 402 di lantai 5.
Tanpa percakapan, Callista langsung mengambil sebuah amplop tebal dari dalam tasnya dan memberikannya kepada pelayan disana.
Saat sudah menerima kunci dan nota resmi, Callista langsung bergegas dengan cepat menuju lift. Ia naik ke lantai 5 dengan perasaan yang campur aduk.
Setelah Lift terbuka, Callista berjalan beberapa langkah ke depan dan mendapati kamarnya berada di sisi kanannya. Callista membuka kamar itu dengan kuncinya, ia masuk dan langsung mengunci pintu kamar apartemennya itu.
Callista bersandar pada dinding pintu dengan napas yang sudah lega.
"Akhirnya! Untung saja aku kabur, jika tidak, aku pasti sudah mati," gumam Callista.
Callista memperhatikan apartemennya itu dan masuk ke dalam. Ia tidak menyangka ada apartemen seperti yang sekarang ia tempati itu.
"Semua barang sudah lengkap dan berkelas, apa pembangunan apartemen ini benar-benar ingin cari mati?" heran Callista.
Callista tau apartemen harus memiliki nilai jual yang tinggi dengan kualitas premium yang terbaik. Tetapi, jika apartemen itu merupakan tempat untuk berlaku kejahatan, siapa yang akan mencoba membuat apartemen itu menjadi apartemen yang sangat mewah dan glamour?
"Pantas saja ada rumor tentang apartemen ini berhantu," ucap Callista dan menggelengkan kepalanya.
"Tapi sejauh ini, pelayanan mereka bagus. Sudah 7 tahun berjalan, tetapi tidak pernah ada rumor besar soal apartemen ini. Sepertinya aku bisa tinggal disini dalam jangka waktu yang lama," ucap Callista.
Callista mencari kamar tidur dan ia langsung merebahkan dirinya disana dengan nyaman. Matanya langsung menutup saat merebahkan tubuhnya itu, ia sudah tidak tidur selama tiga hari dikarenakan perjalanan bisnis dan sebaik dirinya pulang. Dean terlalu bermasalah sehingga membuat dirinya harus bersusah payah mencari tempat tinggal baru.
Dalam hitungan detik, Callista sudah mendengkur dan sudah berada di alam bawah sadar dengan cepat.