Caroline menatap jengkel pria berjas hitam dengan kepala botak di hadapannya.
"Bisa saja kau berbohong." Jerry tidak memberi izin. Lelaki botak itu mencurigai Caroline akan kabur.
Caroline tampak dongkal sekali pada pria botak di hadapannya. "Kenapa aku harus berbohong, tidak ada untungnya, aku harus cepat. Oke, ruangan 76 masih searea ini, kau bisa ikut jika tidak percaya!"
Jerry diam sesaat, lalu berbicara entah pada siapa setelah menyentuh sebuah benda kecil di area telinganya.
"Tunggu sebentar, aku tak ingin ambil risiko, satu anak buahku akan mengikutimu."
Detik selanjutnya, Caroline melihat seorang pria berjalan mendekatinya.
"Donny ikuti dia jangan sampai kabur." perintah Jerry setelah pria itu berada di hadapannya.
Pria bermuka datar itu mengangguk, lalu mengikuti Caroline yang tanpa kata sudah berjalan menjauh.
"Kenapa wajahmu datar sekali?!" Caroline melirik pria di sebelahnya itu dan langsung mengalihkan pandangannya saat pria itu hanya terus memasang wajah datarnya.
***
"Kakak!"
Seorang lelaki berumur 17 tahun berteriak saat melihat Caroline.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Caroline saat wanita itu sudah berada di hadapan adiknya, Carles William. Terlihat cemas sekali.
"Belum ada perkembangan, kondisi mereka belum stabil." jawab Carles.
"Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dan ibu?" tanya Caroline.
Carles terlihat menghela napas, lalu menjelaskan bagaimana orangtua mereka mengalami kecelakaan, dari ayah ibunya yang berniat pulang setelah mendatangi sebuah acara pernikahan teman mereka, mereka tertabrak truk yang melaju kencang, dan tubuh mereka terlempar jauh dari tempat kejadian. Sedangkan si pelaku yang menabrak berhasil lolos dari tempat kejadian, dan sekarang sedang dalam pencarian.
Caroline mengangguk setelah mendengar penjelasan singkat dari adiknya itu. "Semua akan baik-baik saja. Aku ingin melihat mereka."
Caroline berjalan mendekat ke pintu yang terhubung dengan ruangan kedua orangtuanya, di bagian tengah pintu itu terpasang kaca sehingga ia bisa melihat keadaan di dalam.
Air mata tanpa izin keluar dari kelopak matanya sehingga membasahi pipinya, hatinya sakit melihat kedua orangtuanya yang terbujur kaku dengan beberapa luka yang telah ditutup oleh perban.
Caroline menghela napas, kenapa cobaan ini datang ke padanya? Ia baru saja membuat masalah dengan menembak seseorang, dan sebagai balasannya tuhan malah membuat keluarganya seperti ini.
Caroline menghapus air matanya, mencoba tegar dengan keadaan, lalu menoleh memperhatikan adiknya yang terlihat berantakan, bahkan dipakaian Carles terdapat noda darah yang mengering sama seperti pakaian yang dikenakannya sekarang.
Caroline melangkah mendekati adiknya lalu berkata. "Kau pulanglah, ganti pakaian." ucap Caroline sambil melirik pakaian adiknya yang terdapat noda darah.
"Tapi-"
"Biar kakak yang berjaga di sini." ucap Caroline memotong ucapan adiknya.
Carles akhirnya mengangguk mengiyakan.
***
Dua jam kemudian, di tempat Nicholas, lelaki itu selesai dengan operasinya dan tengah beristirahat di ranjang pasien.
Sedangkan sebuah suara langkah kaki memasuki ruangan, wajahnya tidak tampak karena menggunakan topi dan masker hitam penutup wajah.
"Nicholas Matthew. Kau misiku untukku lenyapkan." lelaki itu melangkah pelan nan pasti mendekati Nicholas yang tertidur.
Tangannya merogoh benda yang berada di saku jaketnya—sebuah pisau lipas tajam. Lelaki itu kemudian mengulur pisau di tangannya itu ke leher Nicholas yang terbuka.
"Matilah kau dengan kesakitan!" Saat akan menancapkan pisau kecil nan tajam itu, tiba-tiba kedua mata Nicholas terbuka.
"Kau saja yang mati!'' Dan secepat kilat membalikkan arah pisau itu pada penggunaannya sendiri hingga menancap di d**a sebelah kirinya.
Suara erangan kesakitan keluar dari mulut si pria dan Nicholas menyeringai tipis—menikmati erangan itu. Tapi si pria sepertinya tidak menyerah dan berusaha mengeluarkan senjata lain.
Sebuah pistol lelaki itu todongkan pada Nicholas.
Dor!
Dor!
Nicholas mengerang!
Dengan meringis kesal, Nicholas bergerak gesit turun dari ranjang untuk menghindari hujaman peluru yang dilayangkan b******n kurang ajar itu. Sampai akhirnya beberapa bantuan yang tidak lain anak buahnya menerobos masuk dan langsung membekuk lelaki itu.
"Tuan lengan anda?'' Rolan membantu Nicholas berdiri, tatapannya berada pada luka atas lengan Nicholas.
"Aku tidak apa-apa. Bawa aku pergi dari sini dan urus kekacauan ini. Jangan sampai identitasku terbongkar!'' perintahnya dan langsung dipatuhi oleh lelaki paruh baya itu.
***
Caroline terlihat sangat cemas di depan ruangan ayah ibunya. Tiga puluh menit lalu kabar buruk datang. Kondisi orangtuanya bertambah kritis.
"Bagaimana orangtua saya Dokter?'' tanya Caroline dan Carles yang sudah terlihat rapi dari dua jam lalu langsung berdiri dari duduknya saat sang Dokter yang menangani orangtua mereka keluar dari ruang operasi.
Raut wajah Dokter itu tampak menyesal. "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin," ucapnya.
Caroline langsung terjatuh. Pikirannya blank.
Ini tidak mungkin! Mereka pasti tidak meninggalkannya dan Carles?!
"Dokter pasti bohong. Tidak mungkin, tidak-"
Carles langsung maju ke depan, menatap tajam sang Dokter. "Dokter pasti bercanda kan? Mereka tidak pergi kan?'' ucapnya memastikan.
Berharap ini hanya ilusi belaka! Tapi jawaban sang Dokter meruntuhkan semua harapannya.
"Kak-" Carles lemas terjatuh ke lantai kemudian memeluk kakaknya itu untuk saling menguatkan.
"Bo-bohong!!'' tolak Caroline akan fakta telah berpulang kedua orangtuanya itu.
"Ayah... Ibu. Kalian pasti bohong... Me mereka tidak mungkin pergi. Pagi tadi kami bahkan masih saling mengobrol. Tidak mungkin mereka meninggalkanku!''
"Tuhan berkehendak lain, luka yang di dapat orangtua Anda sangat parah, kebocoran dalam otak dan beberapa bagian tubuhnya yang mengalami patah tulang. Saya dan rekan saya turut berduka cita," ucap Dokter itu prihatin melihat Caroline yang terus menangis dan Carles, meskipun pria itu tidak menangis tapi diliat dari pancaran matanya Carles terlihat bersedih.
***
Seminggu setelah kepergian orangtuanya, Caroline terus mengurung dirinya di kamar dengan kesedihan yang masih menguasainya.
Caroline mendongak saat pintu kamarnya dibuka dari luar dan mendapati sahabatnya, Rachel. Melangkah mendekatinya.
"Hay, kau tak seperti Caroline yang kukenal?"
Rachel duduk di sisi ranjang. Caroline hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sahabatnya itu, dia masih bersedih karena kepergian orangtuanya, meski pun mereka bukan orangtua kandungnya, Caroline sangat menyayangi mereka, dan sebaliknya kedua orangtuanya juga amat menyayanginya.
Dan sekarang dua sosok yang memberi kekuatan dan kehangatan itu tidak ada, tapi Caroline sadar tak seharusnya dia seperti ini, dia masih mempunyai sahabat, dan adiknya. Terlebih kedua orangtuanya di sana pasti tak akan suka dengan sikapnya sekarang.
"Ok, sekarang saatnya," ucap Caroline tiba-tiba.
Membuat Rachel bingung. "Maksudnya?"
"Saatnya bangkit kembali, toh ayah ibu pasti bahagia di sana." Ucap Caroline sambil beranjak dari ranjangnya.
Rachel mengangguk, wanita itu senang saat melihat sahabatnya kembali menjadi pribadi sebelum kedua orangtuanya meninggal.
Yaitu kuat, pemberani, dan ceria.
"Kita ke bawah." Rachel langsung menyeret tangan Caroline keluar kamar, dan saat mereka menginjak kaki di tangga atas ia bisa mendengar suara keributan dari bawah.
Caroline mau pun Rachel langsung melangkah cepat menuruni tangga, melihat apa yang terjadi.
Prank!
"Mana kakakmu itu, hah?!" suara pecahan dan teriakan seorang wanita yang merupakan adik dari ayahnya itu terdengar menggema.