Chapter 6 - Berkunjung

1003 Kata
Wade William, wanita paruh baya yang merupakan adik dari ayahnya Jhonny William. Wade memang dari dulu mempunyai karakter yang keras, sifatnya yang kasar dan blak-blakan membuat orang-orang yang mengenalnya merasa risih. Dan bukan tidak mungkin pada Caroline. Yea, wanita setengah baya itu memang sangat membenci Caroline sendari dulu, saat sanf kakak memutuskan mengadopsi bayi dengan identitas yang tidak jelas, sedangkan Caroline hanya diam saja diteriak dan di caci maki oleh bibinya itu. Pernah dia melawan tapi malah menjadi semakin runyam, jadi akhirnya Caroline hanya memilih diam saja saat bibinya kumat dengan ketidaksukannya. Terlebih untuk saat ini setelah ketiadaan orang tua angkatnya, bibi Wade pasti akan semena-mena. Anak pembawa sial! Dirinya? Caroline bukan anak pembawa sial, dia hanya tidak mengetahui identitas aslinya, toh orang tua angkatnya yang sudah tenang di alam sana sangat menyayanginya, tapi kenapa bibi Wade sangat membencinya. Apa salahnya? "Bibi hentikan!" teriak Carles mencoba menarik bibinya itu, memisahkannya yang terus melayangkan pukulan pada kakaknya yang hanya diam tak melawan, tapi tampak berusaha menghindar. Rachel bahkan ikut andil memisahkan Bibi Wade yang sudah seperti kesetanan. "Bibi please stop!" "Kau anak tidak tahu diuntung, kau penyebab semua ini terjadi, kau yang membunuh orang tuamu sendiri! Kau–Akhh lepaskan aku!" Bibi Wade menoleh marah pada Carles yang terus menariknya dari Caroline yang masih terpaku di tempat sambil dipegangi Rachel. "Hentikan bibi, kau seperti kesetanan!" Carles ikut berteriak saat bibinya itu malah beralih menyerangnya. "Apa? Kesetanan, dasar keponakan kurang ajar, apa kau sadar kakak yang selama ini tinggal bersamamu itu hanya biang masalah!" pekik bibi Wade hilang kesabaran. "Sebaiknya kakak pergi, aku akan menenangkan bibi." dengan tenaganya Carles terus menahan tubuh bibi Wade yang tak karuan, meraung, bahkan berteriak-teriak seperti orang gila. Tapi usahanya sia-sia saat bibinya itu lolos dari cekalannya, dan secepat kilat menarik Caroline kembali. Plak Pipi kanan Caroline seketika berdenyut sakit saat sebuah tamparan keras mendarat di pipinya yang seketika menimbulkan rona merah kentara. "Rasakan itu!" sinis bibi Wade puas. Dan saat tangan bibi Wade kembali terangkat, ingin menampar dirinya kembali, Caroline memejamkan matanya tapi kemudian dia tidak merasakan apa pun. Penasaran, Caroline dengan perlahan membuka matanya dan alangkah terkejutnya saat melihat tangan bibi Wade yang tertahan di udara tengah dicengkeram oleh tangan kekar seorang pria dan dia mengenali siapa pria itu. Anak buah lelaki itu? Ya, Anak buah dari lelaki bernama Nicholas sekaligus pria yang seminggu lalu tanpa sengaja di tembaknya. "Hentikan lah Nyonya tua!" desis Jerry langsung menghempas tangan wanita yang lebih tua darinya itu tanpa peduli kesopanan. "Siapa kau? Jangan berani ikut campur masalah keluargaku!" sentak bibi Wade marah—menatap nyalang pria berjas di hadapannya itu. "Saya Jerry, tuan saya memerintah untuk membawa Nona Caroline." Sahut Jerry dengan nada datar khasnya, lalu menoleh pada Caroline. "Kau," Caroline balas menatap Jerry. "Senang bertemu Anda kembali, Nona." sapa Jerry tersenyum simpul, sambil menunduk kecil pada Caroline. "Untuk apa kalian-" Caroline melirik objek di belakang Jerry dengan kening berkerut. "Menjemput Anda, nona." Jawab Jerry dengan nada tenangnya yang sopan. Dan Caroline semakin heran. "Aku? Menjemputku?'' Yang dibalas anggukan Jerry. "Tapi untuk apa?" "Nona akan tahu seiring perjalanan. Sekarang nona harus ikut kami." saat Jerry akan membawa Caroline, seseorang kembali menahan. "Kau tidak bisa membawanya begitu saja!" ternyata Bibi Wade yang menahan dengan mencengkeram erat nan kasar pergelangan tangan Caroline. "Ohh, kami bisa, nyonya." Menatap datar objek yang melarangnya beranjak. Jerry langsung memerintahkan rekan-rekannya untuk bertindak. Dan selang setelahnya, Caroline akhirnya berhasil dibawa Jerry keluar, mereka memasuki mobil berwarna hitam yang sudah terparkir manis. *** Caroline melihat keluar dari kaca mobil saat wanita itu mendapati mobil yang tumpanginya melewati hutan hijau, dan Caroline merasakan ada yang tidak beres di sini. Kenapa dirinya di bawa ke hutan? Mereka tidak akan macam-macam kan? Siapa sebenarnya mereka! batin Caroline panik sendiri. Tapi tak lama kemudian, mata Caroline terbelalak saat mobil yang ditumpanginya itu berjalan memasuki gerbang yang sudah terbuka, yang dari dalam di sambut oleh bangunan mewah nan luas bernama Mansion. Waw, kenapa rumah sebesar ini harus berada di tengah hutan? "Ayo turun dan ikut saya, Nona." kata Jerry dengan sopan, Caroline mengangguk sambil membuka pintu mobilnya. Mereka berbarengan keluar dan Caroline langsung digiring memasuki mansion mewah di hadapannya. Mereka memasuki pintu masuk dan Caroline melihat seorang berseragam maid menghampiri dan maid itu berbisik di telinga Jerry. "Di mana dia?" tanya Caroline yang merajuk pada majikan mereka. "Tuan berada di lantai atas, maid akan mengantarkan Anda." Jawab Jerry. "Ayo nona, saya antarkan Anda." ucap maid itu mengiring Caroline menaiki tangga, sesampainya di lantai pria itu berada, Caroline langsung dihadapkan pada sebuah pintu besar yang menghubungkan kamar pria itu, mungkin. "Silahkan masuk Nona tuan Nic sudah menunggu anda." ucap Maid itu. "Nic?" Beo Caroline. "Ya, nama tuan kami Nicholas Matthew." ucap Maid itu memperjelas. Dan Caroline hanya mengangguk. Dia sudah tau itu. "Apa aku harus benar-benar masuk?" Tanyanya ragu. Entah kenapa jiwa Caroline ciut saat harus berhadapan kembali dengan pria itu setelah seminggu ini, akhirnya pria itu benar-benar menepati ucapannya saat di rumah sakit 'aku tak akan melepaskanmu' "Tidak apa-apa nona, masuk saja." Kata Maid itu, Caroline mengangguk lalu melangkahkan kakinya mendekati pintu dan mendorongnya. Pemandangan pertama yang di dapatnya adalah kegelapan dan dia samar-samar melihat seorang pria berdiri menghadap keluar balkon. "Emm... Hai." Caroline mencoba menyapa terlebih dulu, menyingkirkan rasa gugup dan canggungnya. Tidak ada yang harus ditakutkan akan aura menegangkan dari tiga menit yang lalu saat pria yang berdiri jauh di depannya itu membalikkan badan. "Senang mendengar suaramu lagi." sapa sang pemilik mansion yang tidak lain adalah Nicholas. "Kau kah itu?" tanya Caroline memastikan karena wajah Nicholas tidak tampak karena cahaya di kamar ini begitu remang-remang. "Ya." Suara berat maskulin yang khas di telinga Caroline selama satu minggu ini menyahut. Tidak salah lagi! "Oke, aku percaya. Tapi kenapa gelap sekali di sini?" tanya Caroline kemudian. "Karena aku suka gelap." Jawab Nicholas dengan senyum tipisnya yang samar. Caroline mendongak menatap langsung wajah Nicholas dibawahi pencahayaan remang-remang. Dan sedetik kemudian pandangan mereka bertemu tak kala pencahayaan dari lampu utama tiba-tiba menyala dan memperlihatkan mereka yang saling bertatapan, seakan mencoba menyelami pikiran batinnya satu salam lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN