"Oh, kau sudah bangun?" Sapa seorang dokter wanita berambut sangat pendek seperti potongan para pria namun masih menyisakan sedikit poni depan yang menjuntai sepanjang garis telinga. Meski potongan rambutnya seperti itu, sama sekali tidak menutup aura cantik yang dimiliki wanita bernama Kanae Itou tersebut.
Dokter Kanae berdiri tepat di sebelah ranjang di mana Nanase tidur sejak tadi. Karena kepalanya masih terasa sangat pusing, pandangannya pun jadi sekikit kabur, jadi dia tidak bisa melihat jelas apa yang sedang dilakukan oleh dokter wanita yang sudah jauh lebih dulu bekerja di sana sebelumnya daripada dia.
"Sementara, aku hanya bisa memberimu sedikit infus. Habiskan dulu itu baru kau boleh pulang." Ucapnya lembut.
Mendengar itu, Nanase yang sejak tadi memijit kepalanya sendiri langsung berhenti, membuka matanya selebar mungkin dan mencoba melihat benar-benar apa yang sedang dilakukan oleh Kanae di sebelahnya! Demi apapun yang ada di dunia, kenapa Kanae memberinya infus? Pantas saja sebelah tangannya terasa mati rasa sejak tadi.
"Nyonya Kanae Itou, kenapa aku diinfus seperti ini?" Tanya Nanase lirih.
"Kenapa ya ...?" Kanae menyilangkan tangannya di d**a, sebelum jemari kirinya menyentuh dagu seolah dia sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan seperti itu, "Karena hari ini dokter Minato libur, dan aku terpaksa masuk di shift dua menggantikanmu, aku langsung memeriksa data pasien yang sudah kau berikan pemeriksaan pagi ini, dan saat kuperiksa lagi semua laporan itu, ternyata ada satu lembar yang tidak ada, laporan untuk pasien bernama Sakurada. Awalnya aku berniat membangunkanmu dan bertanya kenapa tidak ada data laporan untuk pasien itu? Tapi, saat aku tiba di sini, ada Yuruizawa-kun. Dia memintaku menginfusmu, dan memberikan obat ini setelah kau bangun nanti." Jelasnya kemudian mengambil satu tub kecil berisi beberapa butir obat berwarna-warni seperti permen.
"Hei, memangnya aku sedang sekarat sampai anak itu harus menyuruh seseorang menginfusku?" Nanase tidak habis pikir dengan kelakuan Yuruizawa. Dia tahu kalau dia sering sekali mengganggu pria itu dan membuatnya kerepotan dengan semua omong kosong yang dia ocehkan, tapi memberinya infusan seperti ini, apa itu tidak terlalu keterlaluan?
Kanae tahu kalau Nanase akan menggerutu dan setelahnya Nanase akan memaksa menarik jarum infus yang terpasang padanya, seperti sudah hafal kelakuan tak masuk akal Nanase, Kanae meraih clip board yang dia taruh di atas nakas dan membacakan isi tulisan dalam kertas di sana pada Nanase, "Tekanan darahmu 90/95 sangat rendah, asam lambungmu juga cukup tinggi berada di lima titik dari normal, juga suhu tubuhmu sedikit membuat Yuruizawa khawatir, maka dari itu dia memintaku untuk menginfusmu."
"Ah~ dia pasti sangat mencintaiku sampai rela melakukan ini."
Mendengar ocehan Nanase, ujung alis Kanae berkedut. Dengan clip board yang masih dia pegang, wanita dengan setelan dokter yang sangat rapi itu memukul telak kepala Nanase dengannya. "Yang menginfusmu itu aku, yang memeriksamu juga aku! Bocah itu hanya menyentuh kepalamu dan bilang kalau kau demam, lalu kau mengoceh hal seperti itu bisa dikatakan cinta? Omong kosong!"
"Heee~ kalau begitu nyonya Kanae yang mencintaiku? Tidak asyik! Yang benar saja, kenapa aku harus dicintai tante-tante?"
Satu siku-siku merah terjeplak jelas di dahi Kanae. Sekali lagi wanita ini memukul Nanase dengan clip board di tangannya, "Tidak peduli kau mau dicintai atau mencintai siapapun tapi berhenti memanggilku Tante! Aku bahkan baru punya satu anak, dia juga masih sangat kecil, bagaimana aku bisa seperti tante-tante di matamu? Menyebalkan!"
"Hahaha ... Nyonya, kau sangat cantik kalau sedang marah seperti itu." Godanya dengan tawa yang memenuhi ruangan.
"Berhenti menggodaku, suamiku punya wajah dan tubuh lebih bagus daripadamu! Lihat kau, tubuhmu sangat kurus, sangat kecil, bahkan di usiamu sekarang kau belum menikah, ah~ aku lupa kalau hanya Yuruizawa saja yang mencintaimu, pantas kau tidak bisa didekati perempuan?"
Nanase melenguh panjang wajah cerianya berubah gelap seketika, memprotes kalimat itu, "Kalau begitu bawa aku ke psikiater! Aku tidak mau punya pacar sadis macam Yoro!"
Sekali lagi, omong kosong yang tidak ada habisnya, Kanae hanya mendesah panjang untuk hal-hal tak masuk akal yang ada di kepala pria di hadapannya ini.
"Tapi ...," Nanase melanjutkan, "aku sepertinya benar-benar butuh psikiater. Karena, aku sering sekali bermimpi melihat seseorang yang rasanya sangat berarti bagiku, tapi aku tidak bisa mengingatnya, bahkan di dalam mimpi itu, aku tidak bisa melihat wajahnya seperti apa."
"Mimpi?"
Nanase mengangguk dengan senyum samar, "Seratus, atau mungkin lebih, aku sering bermimpi berusaha meraih tangan orang yang sama, tapi orang lain mendahuluiku, saat aku mencoba mengejar mereka, tubuhku seperti disetrum! Rasanya sangat sakit, aku ingin berhenti dab melarikan diri, tapi aku malah mengejar mereka lagi dan lagi, dan setiap aku melakukan itu aku jatuh, lalu terbangun."
"Sudah berapa lama?"
Nanase menggeleng, dia memang sudah sangat sering memimpikan hal tersebut, tapi dia tidak ingat kapan pastinya dia memulai semua itu. Setiap kali dia coba mengingat, kepalanya akan sangat terasa sakit, pembuluh darah di otaknya seperti mau pecah setiap dia memaksa mengingat alasan di balik mimpi itu.
"Mau melakukan CT -Scan?" Kanae memberi saran, namun Nanase malah menjawab tawaran itu dengan kekehan, nyaris saja dia melompat dari ranjang kalau dia tidak mengingat tangannya sedang ditusuk jarum infus. Jadi, Nanase hanya menertawakan dirinya lalu memejamkan mata.
"Apa setelah cairan itu habis aku boleh pulang, Nyonya?"
"Mengalihkan topik—huh, dasar!" Kanae menggerutu, "kau bisa pulang, tapi sebelumnya panggil aku, aku akan memberikan beberapa obat lagi dan multivitamin untukmu. Keadaanmu menyedihkan!" Kanae mengangkat tangannya kemudian menyentil dahi Nanase, membuat pria itu mengaduh meski selanjutnya dia kembali tertawa seperti orang bodoh.
"Hahaha ... sepertinya aku butuh seorang istri, ya?"
"Oh, memangnya ada yang mau pada orang aneh sepertimu?"
"Carikan~ "
"Aku cuma kenal Terasawa saja! Kau mau?"
Wajah Nanase yang merah karena demam tiba-tiba putih — pucat pasi —, dia bahkan susah payah menelan ludahnya saat nama itu didengungkan oleh dokter cantik disebelahnya. Bagaimana tidak? Haneda Terasawa adalah dokter dari divisi Pulmonologi, dia itu punya perilaku menyimpang, di sangat suka menggoda dokter-dokter atau perawat tampan yang dia temui, beberapa kali Nanase hampir dicium paksa setiap dapat jadwal piket malam di UGD bersama pria itu. Tingkahnya bahkan tidak bisa diprediksi siapapun, kadang Haneda Terasawa bisa sangat lembut, tapi saat permintaannya ditolak, jangan tanya dia akan berubah jadi dinosaurus macam apa! Meski tingkahnya seperti itu, Nanase harus tetap mengakui kalau Terasawa adalah dokter senior yang cukup disegani di divisinya.
[{ Divisi Pulmonologi; adalah divisi paru-paru }]
"Kau mau kutanya dia, apa dia mau menikah denganmu?" Kanae mencuri kesempatan untuk menggoda Nanase, spontan pria itu langsung menolak dan berbalik, bergulung dalam selimut dan merengek.
"Meski dokter di dunia ini hanya ada aku dan orang itu, aku tidak pernah menikahinya!"
"Hahaha ... tapi dia sudah puluhan kali mengatakan pada hampir semua departemen kalau kalian pacaran."
Mendengar tawa Kanae, Nanase langsung kembali duduk setelah melempar selimutnya, menatap horor wanita yang sejak tadi di sana dan seolah enggan meninggalkannya sebelum dia puas bercanda, "Heeee~ lebih baik aku tidak pernah punya pacar daripada dengan pria gemulai seperti dia! Sudah, sudah, nyonya! Sebaiknya kau pergi dan lakukan pemeriksaan rutin, berjaga jugalah di UGD! Biarkan aku tidur dan menghabiskan infus gratisku!" Ujar Nanase sambil mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir anak ayam.
"Hahaha ... baiklah, tapi sebelum kau pulang temui aku untuk obatmu."
"Baik!"
Ranjang yang ditiduri oleh Nanase hanya terhalang sekat korden tebal. Setelah Kanae menutup rapat korden berwarna coklat s**u itu, Nanase bisa sedikit bernapas. Ruangan tempatnya tidur, awalnya masih ada seorang anak di kasur sebelah, tapi pagi ini anak itu sudah diizinkan pulang olehnya setelah kondisi bocah itu lebih baik, dan sekarang ... hanya ada Nanase.
Entah sudah berapa lama dia tidur dan pukul berapa sekarang? Ponselnya juga tidak bisa membantu karena dia meninggalkan benda itu di atas meja kerjanya, selain karena dia sudah terbiasa dengan itu, peraturan rumah sakit juga melarang ketat dokter untuk menggunakan ponsel dalam keadaan apapun kecuali jam istirahat. Lagipula, siapa yang mau meneleponnya? Dalam kontak ponselnya pun, Nanase hanya menyimpan beberapa nomer saja, nomer Yuruizawa, Nyonya Kanae, Minato-sensei, dan Profesor Asanami Tadaichi.
Bicara soal Profesor Asanami, Nanase sudah sangat lama tidak bertemu dengannya. Dia tidak punya waktu untuk pergi ke Tokyo, dengan kesibukan seperti sekarang, harusnya dia menyempatkan untuk menelepon Profesor itu, tapi ... apa yang akan mereka bicarakan? Nanase sama sekali tidak punya topik tertentu untuk dia bicarakan dengan Profesor Asanami, kecuali karena profesor itu yang menjadi penanggung jawab langsung untuknya selama perawatan pasca operasi setelah insiden kericuhan di Tokyo tiga tahun lalu.
Lagipula. Waktu seminar kemarin, dia pikir Asanami Tadaichi langsung yang akan daang ke sana untuk mengisi acara hingga dia bisa menyapa meski hanya sekedar anggukan kepala tapi, ternyata yang datang adalah orang lain.
Nanase mengangkat sebelah tangannya yang tidak terinfus, menatap lekat telapak tangannya sendiri seolah ada banyak hal yang tergambar jelas di sana, masa kecilnya, keluarganya, temen-temennya, tapi orang itu? Siapa orang yang selama ini muncul dalam mimpinya tapi tidak bisa dia lihat?
Nanase mencoba masuk ke dalam ingatannya, berusaha mengkapitalisasi beberapa bayangannya dan terus coba dia cocokan satu dengan yang lain, namun semakin dia mencoba, kepalanya seperti tersengat sesuatu, membuat denyut seperti gigitan serangga di dalam tempurung kepalanya. Rasanya sangat sakit sampai Nanase mengerang. Dia memegang kepalanya, meremat rambutnya dan sedikit menarik rambut itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Tidak peduli akar rambut di kepalanya seperti terangkat, atau dia tidak peduli pada helaian rambut yang juga ikut lepas setelah Nanase melepaskan tangannya.
Dia menyerah, kepalanya masih terasa sangat pusing sekarang, meski sejak tadi dia terus bicara seolah dia baik-baik saja dengan Kanae dia tidak bisa berbohong kalau kepalanya berputar sangat kuat.
Cairan infus dalam kantung masih cukup banyak, sebaiknya dia kembali tidur sebelum kepalanya benar-benar meledak, setidaknya setelah cairan itu habis dia akan punya cukup tenaga untuk berjalan pulang.
Meninggalkan Nanase yang kembali tidur, Kanae yang baru saja meninggalkan kamar tersebut melihat Yuruizawa datang dan menghampirinya. Kanae pikir pria itu akan langsung menemui Nanase setelah Kanae mengatakan kalau Nanase baru saja bangun, tapi tidak, Yuruizawa hanya memberikan makanan yang dibungkus dengan kantung kertas berwarna coklat sambil berkata, "Berikan padanya sebelum dia pulang." Ujar Yuruizawa sebelum berbalik tanpa sepatah kata apapun lagi.
"Bocah itu, sepertinya punya krisis kepercayaan diri yang serius ...." Gumam Kanae memprotes bagaimana Yuruizawa bersikap pada orang-orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Meski sifatnya seperti itu, Kanae harus mengakui kalau Yuruizawa cukup akrab dengan beberapa pasien, entah itu karena Yuruizawa yang mencoba bersikap baik pada mereka atau mereka yang mencoba akrab padahal sebenarnya mereka ketakutan setelah melihat wajah menyebalkan pria itu? 'Entahlah' gumam Kanae sambil menggidikkan bahunya sebelum pergi dan menaruh bungkusan berisi makanan yang dia terima dari Yuruizawa, lalu mulai bekerja lagi
Dua jam berlalu sangat cepat, Nanase kembali bangun saat Kanae melepaskan jarum infus dari pembuluh darah di tangan kanan Nanase. Padahal tadi dokter cantik itu yang meminta Nanase untuk menemuinya sebelum pulang, tapi lihat sekarang? Kanae sendiri yang datang dan menemuinya hanya untuk melepaskan jarum infus.
"Nyonya, apa aku sudah boleh pulang?" Tanya Nanase dengan suara parau. Sekali lagi, kepalanya terasa pusing, badannya juga terasa linu sana-sini.
"Sebaiknya kau menginap saja. Demammu naik dan aku tidak mau ambil resiko terjadi apa-apa denganmu di rumah nanti."
"Besok aku off, malas sekali kalau aku harus tetap di rumah sakit di waktu liburku, nyonya?"
Kanae melirik Nanase, pria itu sudah beranjak dan duduk di tepi ranjang seolah benar-benar tidak menghiraukan perintahnya untuk tetap tidur di ranjang itu. Dengan sedikit senyum bodoh yang masih terus dia pertahankan, Nanase mengatakan kalau dia tidak akan apa-apa selama dia minum obat yang diberikan Kanae. Bukankah tadi juga dia sudah di infus? Apa lagi yang dokter wanita itu khawatirkan?
Mendengar ocehan Nanase, Kanae tidak bisa berkata banyak, memang dia baru saja selesai memberi infus untuk demam Nanase, tapi lihat pria itu sekarang? Wajahnya bahkan terlihat sangat matang, napasnya sedikit terdengar berat meski dia masih bertingkah seolah dia tidak apa-apa. Merasa tidak bisa melakukan apapun untuk sikap keras kepala Nanase Ichiharada, Kanae hanya merogoh saku jas putihnya dan memberikan beberapa plastik wrap berisi beberapa butir obat berwarna berwarna-warni, "Minum obat ini teratur, kalau ada sesuatu langsung telepon aku! Mengerti?"
Nanase hanya terkekeh dengan suara beratnya, "Baik, nyonya! Tapi, bisakah bantu aku untuk menelepon layanan taksi? Sepertinya aku sudah ketinggalan kereta terakhir."
"Akan kulakukan, tunggu saja di lobi depan."
"Aah~ nyonya! Kau yang terbaik!"
"Berhenti memanggilku nyonya!" Kanae memukul kembali menyentil dahi Nanase.
_