Bab 05

1590 Kata
Semua orang di sana panik melihat api, spontan mereka berteriak meminta air pada salah satu karyawan dan lainnya mengenai mematikan kompor di bawah tungku tersebut agar api tidak semakin besar. Namun, baru saja karyawan yang membawa air tadi datang, api sudah berhasil dipadamkan. Setelah melihat api padam sempurna, karyawan tadi mulai membersihkan sisa kekacauan, membuang daging yang terbakar hangus, mengelap sisa sake dari tungku dan memastikan tidak ada lagi cairan di sana hingga dia bisa kembali menyalakan kompor di bawahnya. Karena merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi, Tomoyoshi mencoba meminta maaf untuk apa yang sudah terjadi, namun segera ditepis Nanase dengan ocehannya yang melengking penuh nada kekanakan. "Aaah~ ceroboh sekali?! Lihat dagingnya jadi hangus!" "Nanase, hentikan ocehanmu!" "Yoro! Harusnya daging itu bisa dimakan tapi lihat, mereka gosong! Sayang sekali~ " ujarnya menyayangkan bagaimana beberapa lembar daging yang sudah berubah warna jadi kehitaman itu harus masuk ke plastik sampah. "Nanase! Berhenti, kau membuatku malu!" "Kenapa harus malu? Aku akan pesan beberapa porsi lagi, ayo panaskan kompornya lagi, karena sudah bersih ayo kita lanjutkan pestanya!" ucap Nanase penuh senyum di akhir kalimatnya. "Nanase ...?" Panggil Yuruizawa kehabisan kata-kata, namun Nanase hanya menjawab itu dengan satu cengiran yang sangat lebar. "Ayo, ayo, senior semua, ayo minum!" Tanpa tahu malu, Nanase bersikap seolah orang-orang di meja itu adalah teman lamanya, dia menuangkan sake, pada mereka dan meski tidak mengenal Nanase sebelum ini, para senior itu seperti tidak keberatan. Mereka mulai tertawa dan mengobrol seperti saat Nanase belum di sana. Berbeda dengan senior yang lain, pria yang duduk di seberang Yuruizawa hanya diam, entah merasa bersalah karena sudah membuat kacau dengan menuangkan sake ke dalam tungku panggangan dan hampir membuat restoran kebakaran, pria itu sama sekali tidak bersuara dan malah menatap Nanase seolah berusaha menemukan sesuatu dari pria itu, atau mungkin lebih buruk. Nanase takut kalau pria itu akan menyalahkannya untuk insiden barusan? Nanase yang mulai merasa tidak nyaman dengan yang dilakukan pria itu, meski wajahnya cukup tampan dan untuk ukuran itu siapapun tidak akan bosan melirik ke arahnya, hanya ... tetap saja dilihat seperti itu oleh pria setampan apapun Nanase akan merasa risih, melihat ke arah Yuruizawa setelah melihat kelakuan Tomoyoshi yang tidak biasa, berharap temannya itu bisa memberitahu alasan kenapa sejak tadi, pria itu menatapnya tak berkedip? namun, Yuruizawa hanya menggidikkan bahunya kemudian bicara; "Nanase, ini Tomoyoshi-sensei, dia spesialis bedah dari rumah sakit Universitas Tokyo. Dia datang menggantikan Profesor Asanami seperti yang kukatakan tadi. Selain itu, dia juga pernah jadi asisten profesor di Universitas Tokyo selama beberapa tahun, haya saja beliau memilih berhenti dan memilih fokus di rumah sakit." Yuruizawa memilih untuk mengalihkan pertanyaan Nanase pada topik lain, daripada harus menjawab hal yang sama sekali tidak dia paham. "O—oh, Tomoyoshi-sensei, senang berkenalan denganmu!" ujar Nanase sambil menganggukkan sedikit kepalanya, meski tidak sedikitpun menghapus kalau dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kehadiran pria bernama Tomoyoshi itu. Seolah mengabaikan semua perasaan tidak nyamannya, Nanase masih terus bisa tertawa dan memanggang daging sambil meminum sake bersama orang-orang yang baru saja menjadi temannya. Meski berkali-kali Yuruizawa meminta agar Nanase tidak terlalu banyak minum tapi sama sekali tidak didengar ataupun dipatuhi pria itu. Nanase terus saja minum hingga entah sudah berapa botol habis olehnya. "Si bodoh ini, mau sampai kapan dia minum?" gumam Yuruizawa setelah melihat wajah Nanase berubah merah karena kebanyakan minum. Sepasang mata Tomoyoshi mendelik saat mendengar Yuruizawa mengatai Nanase dengan sebutan 'si bodoh'. Untuk ukuran teman, sedekat apa mereka? Pikirnya. Saat nanase kembali mengangkat sebuah botol arak yang masih tersisa, Yuruizawa menarik tangan Nanase dan memarahi pria itu agar berhenti minum. Dia bahkan mengingatkannya lagi kalau Nanase masih punya jadwal piket pagi besok, tapi Nanase tetap ngotot untuk kembali menuangkan sake itu ke dalam cangkir miliknya dan segera meminumnya sebelum Yuruizawa kembali marah. Beberapa kali dua orang ini terdengar bertengkar untuk hal yang sama, dan beberapa kali pula mereka seperti bahan tertawaan senior-senior itu yang melihat Yuruizawa seperti sedang melarang anak kecil untuk mengambil permen karena takut giginya berlubang kalau terlalu banyak. Meski demikian, tidak sedikitpun menyurutkan emosi Yuruizawa untuk diam dan membiarkan Nanase terus minum seperti itu, sampai akhirnya dia menelepon layanan taksi untuk memaksa Nanase pulang. "Tidak! Yoro! Aku ikut denganmu pulang~ " "Kau harus pulang dan berhenti minum! Besok kau masih jadwal piket! Aku akan minta pada Minato untuk memberimu sangsi kalau kau tidak masuk besok pagi!" ancamnya. "Minato sedang libur~ dia baru akan masuk besok lusa, kalaupun aku terlambat dia tidak akan tahu~ hick!" jawab Nanase penuh cegukan. "Aku sudah pesankan kau taksi, dan kalau taksinya datang kau harus segera pergi!" "Heee~ kenapa kau jahat sekali padaku?" Rengekan Nanase masih terdengar sangat nyaring, meski semua orang di sana sudah tahu kalau Nanase mabuk. Yuruizawa yang sudah merasa kesal dengan sikap kurang ajar Nanase yang mengacaukan acaranya, hanya bisa minta maaf terutama pada Tomoyoshi yang sejak tadi diam sambil menatap Nanase seperti ingin menelan pria itu bulat-bulat. Tidak butuh waktu lama setelah Yuruizawa menelepon, layanan taksi yang dia pesan sudah datang. Mau tidak mau dia harus menyeret Nanase untuk pergi masuk ke dalam taksi dan pulang ke rumahnya. Karena meronta dan memaksa ingin tinggal, Yuruizawa kesulitan membawa Nanase masuk ke dalam taksi. Melihat itu, Tomoyoshi yang hanya minum beberapa teguk sake menawarkan diri membantu Yuruizawa dan meminta agar dirinya sendiri bisa mengantarkan Nanase ke rumah pria itu. Awalnya Yuruizawa manolak dan bersikeras kalau Nanase bisa melakukannya sendiri setelah memberikan alamat lengkap pada sopir taksi tersebut, namun karena keadaan Nanase yang sudah mabuk berat, Yuruizawa akhirnya mengiyakan tawaran tersebut dan memercayakan Nanase padanya. Di dalam taksi, Nanase terus mengoceh seperti orang bodoh yang memaki-maki nama Minato. Sambil terus cegukan, pria itu sesekali tertawa namun beberapa detik selanjutnya dia terlihat lebih tenang. Tomoyoshi hanya diam memandang wajah yang sudah sangat merah karena alkohol tersebut. Rambut Nanase sedikit berantakan karena saat Yuruizawa memaksanya untuk masuk ke dalam taksi tadi, rambut Nanase sempat dijambak Yuruizawa hingga beberapa helainya tertinggal di tangan pria itu. Saat Tomoyoshi terus memandang wajah Nanase, pria itu sadar kalau sedang diperhatikan jadi Nanase berbalik dan ikut memandang Tomoyoshi dengan sepasang mata yang mulai menyipit seperti ada sesuatu di wajah itu. "Hei tuan tampan~ " panggil Nanase tiba-tiba, "kenapa sepertinya aku pernah melihat wajah ini?" ucapnya sambil mengelus rahang tegas Tomoyoshi. Sepasang mata Tomoyoshi membulat sempurna untuk kalimat itu. "Kau tidak ingat padaku?" "Hee~ bagaimana aku bisa ingat padamu padahal ini pertamakalinya kita bertemu?" sanggah Nanase. Tomoyoshi sama sekali tidak menjawab sanggahan itu, ekspresi di wajahnya masih tetap sama dan berpikir kalau Nanase sedang bermain-main dengannya. Tiga tahun, selama tiga tahun ini apa yang sudah terjadi sampai pria ini melupakannya begitu saja? Padahal selama tiga tahun ini dia selalu mencari Nanase. Menanyai semua orang yang dia kenal hanya untuk tahu di mana keberadaan pria ini, tapi saaat mereka bertemu Nanase malah bertingkah seolah mereka tidak saling kenal satu sama lainnya. Kesal memenuhi ubun-ubun Tomoyoshi, tangannya meraih kerah kemeja pria itu dan membuat jaak mereka sangat dekat hingga Tomoyoshi bisa dengan jelas mencium bau alkohol yang sangat pekat dari pria itu, "Katakan sekali lagi kalau kau tidak kenal aku, Nana!" "Hahaha ... kau ini lucu, kalau kita sudah saling kenal aku tidak mungkin melupakan wajah setampan ini ...." ujar Nanase sambil menarik ujung pipi Tomoyoshi dan meregangkannya seperti karet, "tapi, wajah ini terasa sangat tidak asing untukku, hei tuan tampan ... apa kalau aku mengingatmu, kau akan menciumku?" sekali lagi Nanase tertawa seperti menganggap semua hal hanya sebuah lelucon tanpa dia sadar kalau Tomoyoshi sudah dibuat marah karenanya. Taksi terus bergerak membawa mereka ke alamat yang sudah diberikan oleh Yuruizawa pada sopir taksi. Saat Tomoyoshi menarik kepala Nanase untuk lebih dekat padanya, kemudian tanpa aba-aba, pria itu segera melumat bibir Nanase, memaksanya bermain lidah sampai tidak memberikan kesempatan pada Nanase untuk meraup oksigen meski hanya sedetik. Karena melihat Nanase kewalahan, Tomoyoshi melepaskan ciuman mereka dan menyaksikan bagaimana wajah Nanase yang semakin merah menjadi sangat merah. Saliva mereka yang sudah tercampur berceceran dan memengalir dari mulut Nanase yang masih terbuka untuk memantunya mengambil oksigen. Sungguh, wajah itu bisa saja membuat Tomoyoshi terangsang saat itu juga jika dia tidak ingat di mana mereka sekarang. Nanase menelan ludahnya setelah puas memasok udara untuk paru-parunya, hingga detik kemudian dia mengusap bibirnya sendiri sambil berkata, "Kita baru kena, tapi kau sudah berani menciumku? Kau benar-benar pria nakal~ " Sekali lagi sepasang mata Tomoyoshi membulat karena kalimat itu. Itu kalimat yang pernah dia dengar dari Nanase empat tahun lalu. Saat semuanya tidak dalam keadaan seperti ini. Tomoyoshi tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Nanase selama tiga tahun setelah pria itu menghilang, tapi dia mungkin bisa menanyai seseorang untuk masalah ini. Taksi yang membawa mereka masih terus bergerak, bahkan saat mendengar percakapan tidak biasa dari dua penumpangnya sopir taksi itu seolah tidak peduli dan tetap membawa mereka ke tujuan dan saat mereka tiba di sebuah gedung apartemen, seorang satpam menghampiri mereka lalu mengatakan kalau dia sudah ditelepon oleh Yuruizawa untuk menjemput Nanase, membantu pria itu untuk naik ke kamarnya. Waktu sudah menunjukan hampir tengah malam. Tomoyoshi berjanji untuk mengisi seminar di Tohokudai hari ini namun dia akan kembali ke Tokyo di hari berikutnya karena dia masih punya jadwal operasi pukul dua siang besok. Masih di depan lobi apartemen, Tomoyoshi tetap berdiri di tempatnya sambil terus melihat Nanase yang dibantu seorang satpam masuk ke dalam bangunan gedung di mana pria itu tinggal. Saat pandangannya masih tertuju pada satu titik, Tomoyoshi tidak merasa kalau sepasang tangannya sudah terkepal kuat seperti sedang mengumpulkan kemarahan di dalam sana dan berusaha melumatnya menjadi gumpalan debu yang bisa dia tiup kapanpun dia mau. Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo — Tokyo City 20/08/2018 16:28 PM Padahal Asanami Tadaichi baru saja selesai mengisi kelas terakhir hari itu dan berniat untuk pulang, bertemu cucu-cucunya yang sudah menunggu di rumah sekarang, tapi urung setelah Tomoyoshi menelepon dan meminta untuk bertemu. Jadi, mau tidak mau dia harus menemui Tomoyoshi terlebih dulu sebelum kembali menimang cucu-cucunya di rumah. Kaki-kaki tuanya berjalan lambat namun tetap penuh ketegasan menuju ruangan di mana dia menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun bekerja di sana. Seharusnya, di usia yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi dia sudah pensiun, namun karena kecintaannya pada pendidikan dan dunia kedokteran, Asanami Tadaichi masih tetap berusaha sehat agar bisa terus mengajar. Mengesampingkan kalau dia belum menemukan pengganti untuk posisinya sekarang. Tiba di ruangannya, dia langsung mengembangkan sebuah senyum, saat seorang pemuda tinggi dengan wajah rupawan itu sudah berdiri menunggunya di dalam sana. Hanya saja, wajah pria itu terlihat tidak sesenang dia melihatnya. Kendati demikian Asanami Tadaichi tetap tersenyum lebar sambil terus berjalan ke arah meja kerjanya, menaruh beberapa buku yang dia bawa sebelum mulai bertanya, "Oh, kau sudah kembali?" Pertanyaan Asanami Tadaichi dijawab anggukan ringan oleh Tomoyoshi, wajah pria itu sama sekali tidak menunjukan perubahan sedikit pun meski Asanami memintanya untuk duduk, "Bagaimana seminar di sana? Semua berjalan baik?" "Kenapa ...?" Asanami yakin kalau dia baru saja bertanya tadi? Tapi kenapa anak muda yang selalu dia ingin sebut bocah itu malah balik bertanya 'kenapa?' Memangnya dia baru saja mengatakan hal yang salah sampai anak itu mengabaikannya dan malah bertanya 'kenapa?' " ... Anda tahu kalau Nana di sana?" Tanya Tomoyoshi lagi tanpa mengubah ekspresinya. Wajah pemuda itu memang di atas rata-rata, meski tulang hidungnya tidak terlalu tinggi, rahang tegasnya cukup menggoda, tapi sepasang mata berwarna hitam pekatnya terlihat sangat cerah, sedangkan sepasang alis tebal di atas matanya terlihat melengkung seolah memperlihatkan kekecewaan yang susah payah dia gambar dengan jelas di sana. Melihat wajah menyedihkan itu, Asanami tidak punya pilihan kecuali kembali mendesah sebelum dia mulai bicara. Asanami menggosok hidungnya yang sama sekali tidak gatal sebelum tersenyum sambil menjawab, setelah dia sadar kenapa Tomoyoshi bertanya 'kenapa?' Asanami Tadaichi hanya berkomentar singkat, "Kalian sudah bertemu?" Tomoyoshi mengangguk tanpa suara. "Kenapa anda tidak pernah mengatakan apapun pada saya, kalau Nana ada di sana?" Tomoyoshi menuntut jawaban. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja di sana? Sudah cukup lama sejak dia mulai bekerja di divisi Padiatrik bersama Minato Hanashi." Bibir Tomoyoshi bergetar, sebelum pria itu mengigit bibir bawahnya kuat. Dia datang kemari untuk mendapat jawaban atas apa yang dia lihat kemarin malam. Kemarin, setelah mengisi seminar di gedung aula Tohokudai, dia diajak pergi makan dan meminum beberapa botol sake oleh alumni senior di Tohokudai, bersama panitia penyelenggara seminar di sebuah restoran. Di sana, dia bertemu dengan Ichiharada Nanase. Orang yang selama tiga tahun terakhir dia cari. "Tapi, ada satu hal yang menggangguku. Nana ... kenapa dia tidak mengenalku?" Asanami Tadaichi menatap sejenak pria yang masih berdiri di depan mejanya, seolah pria itu enggan menerima tawaran Asanami untuk duduk dan bicara santai seperti biasa. Entah karena topik yang dibawa hari ini lebih berat dari biasanya, atau Tomoyoshi memang sedang dalam perasaannya yang paling buruk, membuat pemuda itu tegang, dia tidak tahu. Tangan tua penuh keriput Asanami meraih laci mejanya, mengeluarkan sebuah map coklat dan menaruhnya di atas meja, "Itu adalah keseluruhan hasil pemeriksaan terakhir Nanase-kun dan tidak ada perubahan sedikit pun sejak tiga tahun terakhir." _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN