“Boleh Caca berbicara sebentar dengan Fadli, Bun?” tanyanya. Fadli, lelaki itu nampak gugup saat Caca mengajaknya bicara. Feeling tak enak memenuhi ruang hatinya. Alamat bakal patah hati lagi sepertinya.
“Iya sayang. Bicara lah,” ujar Bunda mengizinkan. Caca mengangguk patuh lalu tatapan-nya beralih pada Fadli. Ia tak memerdulikan seseorang yang membeku di belakangnya. Ia hanya ingin orang itu tahu jika ia memang masih mencintainya namun ia takkan menunjukkannya. Mungkin ini terlihat kejam apalagi Fadli yang mungkin akan dikorbankan.
“Kenapa meminangku?” tanya Caca saat mereka tiba di belakang rumahnya. Fadli nampak tergagap saat ditanya langsung begitu.
“Ka-karena hatiku Ca,” ucapnya susah payah dan berusaha tenang saat melanjutkan kalimatnya. “Hatiku memilihmu,” lanjutnya yang membuat sesuatu menembus batas kekeras kepalaan Caca dalam sekejab. Perempuan itu terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Baru lah ia sadar jika lelaki ini tulus padanya. Mengejarnya selama dua tahun meski tak dipeduli-kan. Lalu pantaskah ia membalasnya dengan rasa sakit hati? Atau balas dendam yang sedang ia rencanakan saat melihat kemunculan Fadli di rumahnya?
Gadis itu menghela nafas. Entah kenapa ia merasa menjadi orang terjahat di dunia. Ia melangkah menuju gazebo lalu duduk diam di sana. Fadli menatapnya dengan bingung. Tidak bisa menebak-nebak isi pikiran gadis itu. “Kalau aku bilang, aku orang terjahat yang pernah kau temui. Apa kau percaya Fadli?”
Pertanyaan retoris itu dilontarkannya dengan mata berkaca-kaca. Mengusik hati Fadli seketika. Dari sejak pertemuan pertama mereka baru kali ini Fadli tahu ada sisi kerapuhan dibalik wajah acuh itu. Ada kerapuhan yang entah kenapa membuat Fadli ingin sekali melindunginya. !Kau gadis baik. Itu yang ku tahu sejak pertama kali bertemu denganmu,” jawab Fadli diplomatis.
Caca menghela nafasnya. Ia hampir saja menangis di depan lelaki yang berani sekali meminangnya. “Aku tak sebaik yang kau kira Fadli,” tuturnya dingin yang membuat bulu kuduk Fadli merinding seketika. Fadli tak tahu jika gadis itu bergetar menahan tangisnya. Mencoba memenangi perang batin di dalam diri. Betapa ia merasa bersalah karena sempat berpikir licik untuk memanfaatkan kehadiran laki-laki ini.
“Ya, aku juga Ca. Setiap manusia pasti punya sisi baik dan buruk.”
Kalimat itu seketika menyentak kesadaran Caca. Perempuan itu menoleh pada laki-laki yang berdiri di sampingnya sambil menatap ke langit. “Kalau bicara tentang keburukan, seburuk apapun kau, lebih buruk lah aku.” Caca memandangnya dengan tatapan tak mengerti. Ada banyak hal yang mengitari otaknya saat ini mengenai laki-laki di sampingnya. Laki-laki yang selalu diacuhkannya namun masih bersikap peduli padanya. “Aku bukan lelaki suci, Ca. Tapi aku juga tak mau dibilang lelaki kotor. Karena seseorang pernah mem-beritahuku, masa laluku memang kotor namun percayalah masa depanku masih suci. Dan itu membuatku berani menawarkan diri untuk meminangmu. Aku ingin mengayuh masa depan-ku yang masih suci bersama gadis pilihan hatiku. Kamu Calista Anggraina.”
Caca tampak susah payah meneguk ludahnya. Ia tahu apa yang dimaksud Fadli dengan kalimat itu. Ia memang gadis polos tetapi masalah seperti itu ia tahu arahnya ke mana. Lalu jawabannya seperti apa. Ia bukannya merasa kecewa, ia malah nampak kagum. Kagum untuk pertama kalinya pada sosok Fadli. Laki-laki itu mau memberitahu tentang dirinya yang sebenarnya. Menggelitik rasa keingintahuan Caca tentang lelaki ini. Menggelitik rasa ingin berbagi cerita. Ia memang bukan gadis kotor seperti Fadli yang mengungkap jati dirinya. Tapi ia ingin juga Fadli tahu, jika ia tak sebaik yang Fadli kira selama ini. “Kau tahu? Kenapa aku mengacuhkanmu?” tanya Caca. Ia mengalihkan pembicaraan tentang diri Fadli. Ia lebih ingin membagi tentang dirinya pada lelaki itu. Entah kenapa ia ingin melakukan itu. Hanya saja, itu terasa benar. Fadli menoleh dengan kening berkerut. “Karena....aku mencintai lelaki lain,” jawaban itu sontak memukul hati Fadli telak-telak. Kini tahu lah ia apa sebabnya Calista mengacuhkannya. Bukan karena ia tidak termasuk tipe gadis itu. Tetapi karena hati perempuan itu terpaut pada lelaki lain. Dan itu bukan dirinya. Patah hatinya? Tentu saja. Meski berulang kali merasakannya namun ini yang paling sakit. Sangat sakit. “Masih ingin meminangku?” tanya Cac dengan sorot mata tajam menembus ulu hatinya.
Tak dipungkiri ia kecewa sekali. Benar kata gadis itu, ia tak sebaik yang Fadli kenal selama ini. Gadis yang nampak pendiam dan irit bicara ini sekalinya bicara bisa membuat jantung Fadli kehilangan detaknya dalam sekejab. Namun ada aliran rasa lain saat tahu gadis ini membuka cerita tentang ia yang mencintai lelaki lain. Gadis yang tertutup ini tiba-tiba ingin bercerita tentangnya. Tentang alasan sebenarnya mengacuhkan Fadli selama dua tahun. Itu...membuat rasa penasaran Fadli semakin meninggi.
“Jika aku bilang 'ya', apa kau mau menerima pinanganku?”
Bukan Fadli namanya jika tak bisa memutarbalikkan pertanyaan. Caca nampak menelan ludah dengan kelu. Ia tak tahu jika lelaki yang dihadapinya ini bukan Khalil yang mau saja mengalah dengan tak menjawab pertanyaannya. Tetapi lelaki ini malah memutarbalikkan pertanyaan padanya. Membuatnya gelagapan, tak tahu harus menjawab apa.
“Kau masih belum menyerah? Apa kau tak kecewa nantinya jika aku masih mencintai lelaki lain Fadli bahkan setelah kita menikah?” tanyanya dengan suara bergetar. Laki-laki itu menggeleng dengan tegas. Matanya tajam menatap Caca. Sampai-sampai gadis itu memalingkan wajahnya. Karena tatapan itu spontan membuat jantung Caca berdebar.
“Aku tak kan menyerah, Ca. Apalagi jika kamu memberiku kesempatan.”
Caca menahan nafasnya mendengar pernyataan terang-terangan itu. Baru kali ini ada lelaki yang mau memperjuangkannya. Lantas harus menunggu apalagi? Bahkan lelaki yang dicintainya tak sedikit pun mau memperjuangkannya. Untuk apa ia menunggu lelaki seperti itu? Akan lebih baik jika bersama lelaki ini. Lelaki yang tak diberi harapan sedikit pun namun tak pernah mau menyerah.
“Kalau begitu buat aku mencintaimu, Fadli.”
“Bagaimana nak?” tanya Ayahnya. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menganggukan kepalanya. Maka lega lah Ayah dan Bundanya. Tak terkecuali Fadli. Laki-laki itu bahagia sekali. Ia tak bisa menahan senyumnya sambil melirik ke arah Caca dengan ekor matanya. Gadis itu tampak datar ekspresinya. Meski tak nampak bahagia tapi apapun itu Fadli percaya jika gadis tu tak kan mengingkari janjinya untuk belajar mencintai Fadli. Belajar menerima kekurangan dan kelebihan lelaki itu. Belajar segalanya tentang Fadli.
“Jadi nak Fadli kapan akan membawa orang tua nak Fadli ke mari?”
Fadli gelagapan mendengar pertanyaan itu. Ia nampak gusar dan Caca bisa merasakan itu. Belum sempat laki-laki itu menjawab, ia sudah mendahuluinya. “Caca tahu pertemuan dua keluarga itu penting, Bunda. Tapi mengingat Fadli hanya sebentar di sini, Caca rasa itu bisa ditunda dulu. Toh nanti kalau Caca ikut Fadli ke Jakarta, Caca akan ketemu keluarganya juga,” dalihnya yang membuat Fadli tercengang. Ah ..... benar kata gadis itu, ia tak sebaik dan sepolos yang Fadli kenal. Ia terkekeh dalam hati. Namun menyuarakan persetujuan akan alasan Caca. Ia berjanji akan membawa Caca bertemu keluarganya tapi tak sekarang.
“Sebenarnya Fadli juga setuju, Tante. Orang tua Fadli juga begitu sibuk jadi sulit untuk melakukan pertemuan keluarga. Tapi percaya lah Tante, kalau keluarga Fadli sudah setuju tentang lamaran ini,” tambah Fadli yang membuat Caca menghembuskan nafas lega. Lelaki itu tak berbohongkan? tanyanya dalam hati.
“Lalu bagaimana rencana kalian?” Kali ini Ayah turut angkat bicara. Laki-laki paruh baya itu nampak percaya pada Fadli. Sementara Bunda malah agak mengkhawatirkan. Takut kalau-kalau Caca tak diterima keluarga Fadli.
“Saya berencana untuk menikahi Caca dulu. Untuk resepsinya bisa menyusul nanti, Om. Itu pun kalau Om dan Tante setuju. Tapi kalau Om dan Tante berkehendak lain, Fadli akan menurutinya. Termasuk menunda semuanya dan Fadli akan membawa keluarga Fadli,” bohongnya. Padahal ia sendiri tak yakin Mami dan Papinya akan merestui pernikahannya dengan Caca. Ayah nampak menganggukan kepala. Dari pada berbuat yang tidak-tidak, lebih baik ia segera menikahkan mereka. Begitu pikirnya. Sementara Bunda nampak cemas menatap Caca yang masih syok karena harus menikah secepat ini.
“Kau setuju nak?” tanya Bunda.
Awalnya masih terbengong. Namun saat mata Fadli menyiratkan permintaan persetujuan darinya, gadis itu dengan cepat mengangguk. Membuat kedua laki-laki di depannya nampak lega.
Cara memerhatikan adiknya yang tidur dengan gelisah. Ia menghampiri adiknya lalu duduk di sisi ranjang yang kosong. Tangannya dengan lembut mengelus kepala Caca dan tak lama kemudian gadis itu bangun. Awalnya menyipit lalu matanya terbuka lebar. Menatap kehadiran Cara yang aneh dimatanya.
“Kakak kenapa?”
“Kau tak ingin bercerita sedikit pun pada kakak?”
Dahinya mengernyit. “Tentang apa?”
“Menikah dengan Fadli.” Caca menghela nafas. “Kau serius?”
Caca mengangguk lemah. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. “Aku tahu kau belum sepenuhnya ingin. Apalagi dengan laki-laki yang belum kau cintai,” hati Caca agak terluka mendengar kalimat itu. Ia tersinggung. Tapi ucapan Cara sangat benar sekali. Ia memang belum mencintai Fadli dan menurutnya tak salah kan jika ia menerima laki-laki itu untuk menjadi suaminya?
“Apa salahnya mencoba, Kak? Lalu terbiasa. Lagian dia mencintaiku. Aku tak kan patah hati karena ia pasti menjaga perasaanku,” tutur Caca yang membuat emosi Cara naik seketika.
“Kau egois!” desis kakaknya dengan tajam, membuatnya kaget setengah mati mendengarnya.
Caca mendongak. Mata tajam Cara menembus jantungnya. “Dia menjaga perasaanmu tapi kau tak membalasnya.”
Caca menarik nafas. Benar. Ia egois. Ia hanya memikirkan perasaannya tanpa memikirkan perasaan Fadli. “Kakak benar. Tapi Fadli berjanji untuk membuatku mencintainya, Kak,” ungkapnya dan fakta itu membuat sebelah alis Cara terangkat. Wanita itu menghela nafasnya.
“Ia berjanji tapi kau terlihat tak berusaha sedikit pun. Apa gunanya usaha Fadli nantinya?” cerca Kakaknya guna menyadarkannya. Gadis itu terdiam dibuatnya. “Jadi, usaha lah. Jangan hanya Fadli yang berusaha membuatmu mencintainya. Tapi kau juga harus berusaha mencintainya. Kakak tahu ini tak mudah, Ca. Tapi ini tanggung jawab yang harus kau ambil karena telah menerimanya.”
Caca terdiam lalu menatap Kakaknya dengan berkaca-kaca. Terisak-isak ia dalam pelukan Kakaknya setelah beberapa saat lalu menahan air matanya agar tak jatuh. “Kalau dia benar-benar menjadi suami Caca......” lirih gadis itu di tengah isaknya.
“Itu artinya kau harus benar-benar mencintainya dan memuliakannya. Karena ialah penyempurna agamamu. Jadi lah istri yang solehah untuknya,” sambung Cara.
Adiknya menangis terisak-isak. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak menyesalu keputusan ini. Keputusan untuk menerima Fadli dan say good bye pada Khalil. Bagaimana pun laki-laki itu akan tetap menjadi bagian masa lalunya yang indah. Dan Fadli lah yang akan menjadi bagian masa depannya.
“Jalan mencintai seseorang itu tak kan terasa mudah karena kita meletakkanya sebagai tujuan. Maka harus banyak cara yang dikerahkan agar mencapai tujuan itu. Jangan menyerah meski kau nampak susah untuk mencintainya nanti. Tapi tetaplah terus berusaha.” Nasihat Kakaknya yang membuat dadanya merasa tenang seketika. Gadis itu mengangguk-angguk dalam isakannya. “Kalau begini Kakak tenang melepasmu untuk hidup bersama Fadli. Dia lelaki yang sangat baik. Jangan kecewakan dia. Disini Kakak akan selalu mendoakan kebahagiaanmu dengannya.”
“Lo yakin?”
“Yakin lah. Gue udah sejauh ini,” ucap Fadli dengan nada yang sangat meyakinkan. Sedangkan Regan malah meragukannya. Bukan apa-apa, ia tahu Fadli ini ceroboh dan mudah terbawa perasaan dalam menentukan apapun.
Di seberang sana Regan menghela nafasnya. “Udah beritahu nyokap sama bokap lo? Gue denger keluarga lo udah kembali kayak dulu. Nyokap lo aja milih di rumah untuk jadi ibu rumah tangga sejak Aisha mau married. Gue baru dikasih tahu tadi sama nyokap.”
Fadli nampak termenung. Ia ingin tentu saja. Membagi berita bahagia pada orang tuanya tapi....kalau Papinya tak merestui bagaimana? Ia sudah sejauh ini dan tinggal selangkah lagi. Ia tak mungkin ditunda hanya untuk pulang. Dan Aisha akan married? Kalau kabar ini ia baru tahu. Tapi dengan siapa? Mantannya yang b******k itu? Mana mungkin!
“Aisha nikah sama siapa?” tanyanya tak sabar.
Terdengar Regan menghela nafasnya lagi. Sepertinya berat sekali untuk berkata padahal apa susahnya untuk menyebutkan nama?
“Sahabat lo. Atau kalo lo sih nganggapnya mantan sahabat sejak dia ngerusak adek lo. Adnan Wirasatya.”
BRAAAAK
Jadilah meja hotel ditendangnya. b******k! serunya dalam hati. Kalau nanti ketemu Wira pasti dihajarnya!
“Udah. Lo hapalin aja tuh buat ijab qobul besok daripada mikirin Wira. Terus gue harap lo tetep hubungi bonyok lo. Gimana pun mereka berhak tahu,” pesan Regan.
Fadli termenung. Kekesalannya pada Wira terhapus sejenak. Pikirannya melayang menuju orangtuanya. Maminya meski keras kepala namun masih bisa diluluhkan. Tapi Papinya? Tak kan pernah bisa. Kalau ia pulang malam ini atau sekedar menelepon saja bisa dipastikan pernikahannya dengan Caca batal. Dan ia....tak bisa membiarkan itu terjadi. Dua tahun ia mengejar Caca hanya untuk ijab qobul besok pagi bagaimana mungkin ia menundanya? Karena kesempatan jarang ada yang dua kali datangnya.