Kejutan

2766 Kata
Caca hanya diam melihat sahabatnya—Kanya—yang sedang bercengkrama dengan anak pertamanya. Ada perasaan aneh yang merasuki dadanya saat melihat moment itu. Moment yang ia impikan dan ia inginkan untuk menjadi kenyataan. Tentu saja. Wanita manapun pasti ingin menjadi ibu nantinya. Tapi kapan ia akan berada di posisi itu? Posisi yang sangat sulit ia gapai saat ini. “Ca...” Caca menoleh, ia tersenyum tipis melihat sahabatnya yang berulang kali menciumi si kecil yang usianya baru menginjak setahun. “Kau gak kepikiran buat nikah?” Ia hanya bisa terdiam. Namun nampaknya Kanya tak terlalu memerhatikan raut wajah Caca yang berubah muram saat kalimatnya meluncur. “Aku liat Bundamu sangat ingin agar kau segera menikah. Apa tak ada lelaki yang kau suka?” kali ini baru ia menoleh dan seketika merasa bersalah. “Apa aku salah bicara, Ca?” Caca menggeleng. Kanya tak salah. Yang salah hanya dirinya sendiri yang selalu lari dari kenyataan setiap ada yang mengungkit pernikahan di depannya. “Aku minta maaf kalau salah bicara.” Lagi. Gadis itu menggeleng. Kanya hanya bisa pasrah. Sepertinya masa lalu masih menghantuinya. Sangat menghantuinya. “Dengar, Ca. Kau hidup di masa sekarang dan masa mendatang. Tidak lagi untuk masa lalu.” Gadis itu pulang ke rumah dengan gamang. Rentetan kalimat Kanya memang sepenuhnya benar. Ia hidup untuk masa sekarang dan nanti. Tidak lagi hidup untuk masa lalu. Dan masa lalu itu takkan pernah kembali. Bukan berarti dilupakan tetapi untuk mengingatkan. Agar kita tak melakukan kesalahan yang sama pada masa depan. Belum sempat kakinya melangkah masuk, suara merdu dari depan menyentak kesadarannya. Namanya dipanggil, membuat ia membalik badan seketika. “Wah sudah pulang ternyata kau, Ca.” seru wanita paruh baya yang nampak lebih tua dibanding Bundanya. Caca hanya membalas dengan senyum tipis, enggan berinteraksi lebih lama lagi. Namun wanita itu nampak tak perduli. Beliau melangkah mendekati Caca yang sedang melepas sepatunya. Wanita itu menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna perak keunguan. Dahinya mengernyit kebingungan. “Ini undangan pernikahan Khalil. Jangan lupa kau datang, nak. Ibu tunggu dua minggu lagi.” Beku. Ia nampak sangat kaget melihat kartu yang teronggok di depannya. “Calon istri Khalil sangat cantik. Lebih cantik darimu.” Kata-kata itu terdengar bagai serenade penghinaan yang perlahan menusuk hati Caca. Lantas kenapa kalau perempuan itu lebih cantik darinya? Memangnya Caca peduli? Ah, tidak. Caca hanya berusaha untuk tak akan pernah perduli lagi meski hatinya masih terluka parah. “Khalil! Sini, nak!” Ibu itu kembali berteriak. Kali ini ia melambaikan tangannya ke atas untuk menyuruh pemuda yang baru saja tiba di depan rumah—di depan rumah Caca—untuk mendekat. “Kenapa, Ma?” Caca tak tahu harus bereaksi apa. Hatinya benar-benar tak siap menerima kejutan yang mendadak ini. Pertama, undangan pernikahan. Kedua, laki-laki bernama Khalil. Langkahnya kian melemah saat mengenali sosok gadis yang duduk membeku di teras rumah dengan tatapan kosong padanya. “Caca...” lirihnya dan anehnya rasa sakit itu mulai datang. “Mama baru aja bilang sama Caca kalau kau akan segera menikah.” “Kapan kau pulang?” tanya Khalil tanpa memerdulikan betapa antusias ibunya mencerita-kan persiapan pernikahannya. Gadis itu diam namun detik berikutnya, gadis itu berdiri. Semua terasa benar, lirihnya. “Selamat Bang. Kau akan segera menikah. Aku turut senang,” ucapnya—tentu dengan senyum yang terpaksa. Diam-diam gadis itu menghela nafas. Lalu mengambil kartu undangan dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Maaf Bu Indah, Bang Khalil. Hari sudah sore dan Caca gerah. Kapan-kapan kita ngobrol lagi.” “Tentu nak. Ibu tunggu di rumah. Dan kau Khalil. Ayo pulang!” Khalil hanya bisa diam. Sorot kesedihan itu, ia bisa merasakannya. Rasanya ia ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana ia hanya melihat sorot kebahagiaan di mata itu. Fadli menatap rumah yang entah berapa lama sudah ia tinggalkan. Ia rindu rumah ini tapi mengingat Maminya, membuat agak sesak didadanya. Tapi untuk kali ini saja. Ia ingin melakukan hal sesuai hatinya bukan emosinya. Seperti adiknya, yang mengikuti kata hati untuk mengenakan kerudung. Langkahnya menyiratkan kepercayaan diri yang tinggi. Begitu tiba di dalam rumah, satu-satunya orang yang ingin ia jumpai sekarang hanya lah Maminya. Meski wanita itu juga menjadi satu-satunya orang yang paling dihindarinya. “Tumben kamu pulang.” Sapaan itu tidak sarat akan kemunafikan. Tapi sarat kesinisan. Meski nampak acuh namun sangat perduli. “Mi, Fadli cuma mau minta restu sama Mami,” ucapnya diiringi tatapan memohon. Namun tak meluluhkan hati Maminya. “Gak kamu, gak Fadlan,” omel Mami. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya sambil berjalan mondar mandir di depan Fadli yang duduk tertunduk. "Kalian ini kayak gak ada perempuan lain aja,” lanjut beliau. Beliau seolah menangkap hal yang tidak beres semenjak kedatangan Fadli. Anaknya yang tak pernah mau jika dipaksa pulang sekarang tiba-tiba pulang dengan sendirinya? “Emang apa salahnya berkerudung, Mi? Malah bagus kan?” sangkal Fadli. Laki-laki itu langsung paham siapa yang dimaksud. Tentu saja Caca—perempuan yang ia kejar-kejar. Dan gadisnya Fadlan—yang ia tak tahu namanya siapa. “Sejak kapan selera kamu jadi gadis yang seperti itu hah?” tanya Maminya—tanpa menghiraukan pertanyaan menohok Fadli sebelumnya. Tapi memang benar kan? Gak ada yang salah dengan gadis yang mau menutup auratnya? Sejak Fadli ketemu dia! teriaknya dalam hati. Tak berani sedikit pun mengungkapkannya. Baginya, Caca punya daya tarik sendiri untuknya. Ia sendiri gak ada alasan untuk tidak menyukai gadis itu. Ah ralat, tapi mencintai gadis itu. “Mi, Fadli minta maaf sebelumnya. Fadli bukan anak yang patuh seperti Fadlan. Fadli tidak seperti dia, Mi. Kalau Mami tak mengizinkan, tak apa. Fadli kesini cuma mau bilang ke Mami kalau Fadli mau menikah sama dia.” DUAR! Kata-kata yang keluar dari mulut Fadli bagaikan petir yang langsung menyambat ke ulu hati wanita paruh baya itu. Rahangnya sampai mengeras. Matanya melotot. Dan tangannya mencengkeram kuat sofa yang didudukinya. Ya Tuhan.... “Awalnya Fadli meminta restu tapi karena respon Mami begini, Fadli hanya bilang kalau Fadli akan menikahi dia. Supaya Mami tidak kaget kalau ketemu sama Fadli dan istri Fadli nantinya.” ASTAGA. Mami hanya bisa ternganga. Beliau bukannya tak ingin memberikan restu hanya saja....ia masih menganggap anaknya yang playboy sableng itu tak benar-benar serius dengan perempuan itu. Beliau tak mau bertambah lagi deretan perempuan yang tersakiti karena ulahnya. Mami hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kak Cara....” rengeknya saat melihat kemunculan kakaknya di dapur. Gadis itu memeluk kakaknya dengan erat. “Kenapa Ca?” Ibu muda yang sedang hamil itu nampak khawatir. Lalu dengan pelan menyeret lengan adiknya menuju gazebo kecil di halaman belakang rumah sederhana mereka. Setelah duduk disana, Caca melepas pelukannya. Gadis itu diam. Ingin membuka pembicaraan namun bingung harus dimulai dari mana. Kesedihan ini adalah kesedihan terpanjang dalam hidupnya. Ia belum pernah merasa seperti ini. Lama dalam ketermenungan membuat gadis itu sadar. Kesedihan yang ia simpan takkan berkurang karena tak pernah ia bagi pada orang di sekitarnya. Mereka yang mendengar tak perlu ikut merasa sedih setidaknya ada rasa lega setelahnya. Kini ia mulai berpikir kalau tak ada salahnya membagi kesedihan. Terutama pada orang terdekat yang ia punya saat ini. “Setelah kepergian Caca ke Singapura, apa Bunda baik-baik saja?” “Justru Bunda malah mengkhawatirkanmu.” Caca menarik nafas dalam. Ia bisa merasakan betapa Bunda menyayanginya. Namun terkadang sikap Bunda yang terlalu pemaksa membuatnya jengah dan kesal sendiri. “Eung... kalau Bang Khalil bagaimana?” tanyanya takut-takut. Cara tersenyum. Ia tahu bagaimana perasaan adiknya. “Dia baik-baik saja bahkan sebelum kau pergi.” Mendengar itu membuat hati Caca mencelos. Ternyata benar. Laki-laki itu bahkan tak repot-repot mengkhawatirkannya. Ternyata selama dua tahun belakang ini, cintanya benar-benar bertepuk sebelah tangan. “Kakak tahu dia akan segera menikah?” Cara mengangguk lemah. Tak bermaksud menyakiti perasaan adiknya, namun ia merasa Caca perlu belajar lebih keras mengenai patah hati. Belajar caranya untuk bangkit bukan untuk semakin terpuruk. Cobaan itu diberikan untuk membuat diri semakin kuat dan tegar. “Sekarang Caca benar-benar percaya ucapan Bang Khalil yang dulu. Kalau kita memang tak pernah bisa bersatu.” Cara mengelus punggung Caca dengan iba. Ia turut bersedih akan nasib cinta adiknya. Tapi ia tak mau melihat Caca seperti ini. Hidup dalam kerapuhan. Hanya menunggu waktu saja ia akan hancur. “Kini apa yang harus ku lakukan Kak? Melupakannya?” kalimat itu diiringi isakan tangis. “Aku bahkan sudah lebih dari melupakannya, Kak. Aku bahkan membencinya tapi entah kenapa saat aku tiba disini, ia yang pertama kali ku pikirkan. Kalau begini, apa segala cara dan waktu yang ku lewati belum cukup untuk melupakannya?” Cara nampak menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Calista. "Melupakan itu bukan sebuah keinginan. Karena semakin kau ingin melupakannya maka kau tak kan pernah bisa melupakannya. Jadi, tempatkan melupakan sebagai tujuan maka akan ada banyak cara untuk meraihnya.” “Apa sampai mati aku akan begini, Kak?” tanyanya sedih. Cara menggeleng. “Tak akan. Karena di lauh mahfuz, Allah telah menyiapkan pemilik rusukmu dan Ia tak kan membuatmu seperti ini.” “Bukan Bang Khalil?” “Tentu saja bukan. Kakak yakin kau akan dapat yang jauh lebih baik dari Bang Khalil.” Namun Caca menggeleng. “Tapi aku ingin Bang Khalil, Kak!” “Berhasil?” “Boro-boro,” jawab Fadli lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. “Dia pulang. Dan gue pengen nyusul tapi takut bikin dia syok.” Regan mengangguk-angguk. “Dulu cewek-cewek yang ngejar lo, reaksi lo gimana?” Fadli nampak berpikir keras. Dulu yang dimaksud Regan itu terjadi dua tahun lalu. Sebelum ia bertemu gadis unik macam Caca yang tak memedulikannya sama sekali. Dan rasanya seperti sudah lama sekali terjadi. Ada banyak tipe wanita yang mengejarnya. Mulai dari yang agresif luar biasa sampai yang biasa saja tingkat keagresifannya. Tapi tak ada yang tak acuh macam Caca. Dia satu-satunya yang tak memerdulikan lelaki tampan dan kaya sepertinya. Dan wanita-wanita yang mengejarnya, tak semuanya ia terima. Kalau memang cantik dan menarik meski agresifnya lebay sekali, ia masih mau. Kalau sekarang? “Kalau ada yang menarik buat gue sih....ya gue terima. Tapi kalo enggak ya...gue tolak.” “Yang lo terima itu kayak gimana tipenya?” Fadli berpikir lagi. Yang ia terima itu... “cantik dan menarik. Udah itu aja,” tambahnya. Kini giliran Regan yang mengangguk-angguk. “Menurut lo, Caca suka cowok yang kayak gimana?” Fadli nampak berpikir. Caca itu...cantik, menarik, smart, polos, pendiam, mandiri dan .... cuek. Dan tipe laki-laki yang bisa mengimbanginya? Tampan. Mungkin? Tapi ketampanan manusia itu relatif. Dan Fadli mengembangkan senyumnya saat memikirkan satu kata ini. Tampan. Kalau banyak wanita yang mengejarnya, artinya ia tampan bukan? Ia tersenyum lebar dan itu membuat Regan menggelengkan kepalanya. Ia tahu apa yang ada di dalam kepala sepupunya itu. Tak heran karena memang lelaki satu ini sangat narsis sekali. Lalu menarik? Tidak semua yang cantik atau tampan itu menarik. Tapi kebanyakannya begitu. Iya kan? Jadi bisa disimpulkan kalau ia memang laki-laki menarik. Fadli tersenyum lagi. Namun kali ini lebih lebar. Smart? Kalau ini sudah tak perlu ditanya lagi. Yang membantu Papinya menjalankan bisnis selain ia dan kakak tertuanya siapa lagi? Fadlan? Lelaki itu lebih tertarik pada bisnis rumah sakit dengan dalih menolong orang. Dari pada menjual produk-produk mahal untuk fashion dan kecantikan. Polos? Kali ini ia tertawa lebar. Ia memang bukan lelaki suci yang tak pernah menyentuh alkohol atau pun wanita. Jadi, kategori polos bukan salah satu bagian darinya. Dan untuk menjadi pendamping seorang Caca, tentunya membutuhkan lelaki yang lebih berpengalaman bukan? Aih. Pikiran macam apa itu?! Kalau Fadlan sampai tahu, habislah ia. Selama ini yang tahu kelakuannya yang b***t sekali itu adalah sepupunya ini. Pendiam? Ia lelaki yang cerewet sekali jika berhadapan dengan orang yang disayanginya. Tipe yang mudah bergaul. Ia memang kembaran Fadlan. Tetapi sikap mereka berbanding terbalik. Dan entah kenapa sifat buruk lah yang banyak menempel padanya. Mandiri? Boro-boro. Kalau saja Papinya tak memberikan sebagian saham padanya mungkin ia tak kan sesukses ini. Karena ia malas jika harus memulai usaha dari awal. Berbeda dengan Fadlan yang mau berusaha keras. Cuek? Dia tipe yang supel dan pastinya perduli dengan siapa pun. Tak heran banyak wanita yang jatuh hati padanya dan mendekatinya. Tetapi kenapa Calista begitu berbeda? Fadli menghela nafasnya, tak mengerti akan sikap Calista. Gadis itu unik. Takkan ia temukan dimana pun. Jadi tak heran kenapa perempuan itu begitu istimewa. Yang tentu saja ia akan rela memperjuangkannya mati-matian. Caca terbangun dari tidurnya. Ia tertidur sambil menangis dalam pelukan Cara. Matanya sembab dan agak sakit saat membukanya. Inilah akibatnya kalau setelah menangis langsung tidur. Hasilnya, mata panda. Gadis itu berusaha bangkit. Kepalanya pusing seketika. Ia sampai harus memegang pinggiran ranjang untuk bisa mempertahakan bobot tubuhnya. Lalu begitu pusingnya memudar, ia melangkah keluar dari kamar. Tenggorokannya kering karena meraung dalam tangisannya. Saat mencapai dapur gadis itu dengan santainya mengambil gelas namun gerakan tangannya saat akan meneguk minuman. Telinga mendengar pembicaraan kakaknya dengan bunda. “Tadi Bu Shinta kemari. Katanya, Dylan berniat melamar Caca.” “Dylan? Teman SMP Caca yang badung itu?” Bunda terkekeh. “Iya yang itu. Anaknya sudah banyak berubah loh.” Cara mencibir. “Tapi tetap saja Bun, Cara gak suka. Apalagi Caca, yang ada nih ya tuh anak malah illfeel setengah mati.” Bunda terkekeh sambil mengangguk—membenarkan ucapan anaknya. “Sekarang dia kerja apa, Bun?” “Kata Shinta sih, dia mengelola toko, printing dan konter handphone.” Cara mengangguk-angguk. “Tapi dia itu bukan tipenya Caca lah, Bun. Bunda tahu kan gimana pemikiran tinggi anak kesayangan Bunda itu?” Bunda terkekeh sambil menganggukkan kepalanya lagi. Membuat Caca yang sedang meneguk minumnya mencibir. Ia kan bukannya ingin berpikir tinggi tapi visioner. Memangnya salah kalau berpikiran sekece itu? Bagus malah. “Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena mereka akan menjadi seorang ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas,” sungut Caca dari dapur yang disambut gelak tawa Bunda dan kakaknya. “Ih... malah diketawain!” ketusnya tak terima. Bundanya malah menggelengkan kepala sambil mengelus kepala Caca yang mengambil duduk di sampingnya. “Bunda tahu. Bahkan Bunda bangga sekali dengan pemikiran anak Bunda yang kayak gitu.” “Itu bukan pemikiran Caca sih, Bun. Itu pemikirannya—” “Dian Sastro Wardoyo. Itu kakak juga tahu!” cibir kakaknya. Caca hanya terkekeh. “Jadi kapan anak Bunda ini mau menikah?” Caca mendengus kesal. Lagi. Bundanya selalu menanyakan hal itu. Nikah lagi. Nikah lagi. “Soalnya si Dylan it—” “Tolak aja, Bun. Caca gak suka sama dia.” Bunda menghela nafas. “Dulu juga gitu. Lamaran Teddy, Enggar dan Yusuf juga kamu tolak. Lalu setelah ini siapa lagi?” Caca mendesah. Sorot matanya memohon Cara untuk membantunya. “Bun, Caca janji Caca akan menikah tetapi tidak dalam waktu dekat ini.” “Dylan juga tak akan mengajakmu menikah dalam waktu dekat ini, Ca.” Caca menghela nafas. Rasanya ia lelah berdebat dengan masalah yang sama seperti ini. “Caca tahu. Tapi Caca tak suka, Bun. Apa Caca harus menerima semua lamaran lelaki yang datang dan belajar menyukai semuanya? Apa itu yang Bunda mau?” “Lalu kalau seperti ini terus kamu kapan nikahnya?” desak Bundanya. “Bunda gak enak harus menolak lamaran orang terus. Nanti malah dikira sombong dan pilih-pilih.” Caca menarik nafasnya dalam-dalam. “Caca tahu. Tapi ini hidup Caca, Bun. Caca mau yang terbaik. Karena Caca hanya ingin menjalaninya sekali seumur hidup.” Air mata Bundanya jatuh. “Maafin Bunda ya kalau terlalu memaksa kamu selama ini,” lirih Bundanya—merasa bersalah. Saat hidupnya mulai tenang. Saat Bundanya tak lagi menguarkan kata pernikahan. Saat hatinya mulai dapat dikendalikan. Saat itulah gelombang datang. Saat ia lengah dan merasa semuanya baik-baik saja. “Caca,” dan saat namanya terpanggil seperti itu, langkahnya terhenti. Tangannya yang sibuk mengayunkan bungkusin kecil pun ikut menghentikan ritmenya. Yang terdengar hanyalah deru angin diantara pohon-pohon sejajar di sekelilingnya. Agak ragu, ia membalikkan tubuhnya. Sosok jangkung, berkulit sawo muda, bermata tajam, dan maskulin muncul di hadapannya. Tak lupa senyum ramah yang lama tak Caca jumpai. Gadis itu sampai berulang kali menahan nafasnya setiap melihat senyum itu. “Kemarin sore sampai malam aku menunggumu keluar. Tapi nampaknya kau sibuk di rumah.” Dahi Caca berkerut. Ada rasa senang menelisik hatinya namun detik berikutnya ia tersadar. Ia tak boleh terbuai. “Ada apa?” tanyanya dingin. Sikap tak bersahabat yang ia tunjukkan berkebalikan dengan suasana hatinya sekarang. “Apa tak boleh aku mengobrol denganmu?” Gadis itu menarik nafas panjang seraya melangkah menuju rumahnya. “Aku tak enak mengobrol dengan laki-laki yang akan menikah. Abang tahu, di kampung ini mudah sekali tersebar fitnah. Aku tak mau menjadi bagian darinya.” Khalil menarik nafas dalam. “Mereka tak kan seperti itu. Mereka tahu bahwa kau adikku.” “Harus berapa kali ku bilang kalau kita tak punya hubungan darah sama sekali?” kalimat itu bernada sinis dan tak suka. Gadis itu mulai jengkel setiap mendengar kata-kata 'adik' yang keluar dari mulut Khalil. Ia tak pernah bisa mengerti kenapa laki-laki itu terus menyebutnya seperti itu. “Nanti juga kau tahu,” sahutnya tak kalah dingin. Namun Caca mengacuhkannya. Kalimat itu terlalu sering ia dengar dulu saat percikan api baru dimulai. “Itu hanya alibi Abang kan?” teriaknya sedikit kuat. Khalil sampai frustasi. Masalahnya mereka berada dijarak yang tak jauh dari rumah masing-masing. “Hanya alibi agar bisa melepasku dan pergi meninggalkanku.” Kali ini nadanya menurun diiringi tatapan terluka. Meski pedih saat mendengar suara itu namun Khalil meyakini hatinya. Ia tak bisa lagi bersikap lembut pada gadis ini. Karena sekali saja ia lakukan, setelahnya ia tak dapat benar-benar melepas gadis ini. “Kau masih mencintaiku?” Caca tertawa sinis. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di halaman rumah yang agak ramai. Dengan Khalil yang juga mempercepat langkahnya menyusul gadis itu. “Caca!” panggil lelaki itu. Namun Caca tak ingin berhenti hingga seluruh tubuhnya membeku di ruang tamu. Menjumpai Bunda, Ayah dan tamunya. Ia kaget bukan kepalang saat menjumpai laki-laki yang dihindarinya di sana. Duduk sambil tersenyum ke arahnya, menyapa ia yang baru saja datang. “Ca—”bahkan panggilan Khalil pun terputus. Laki-laki itu menghentikan langkahnya di ambang pintu. “Akhirnya kamu pulang Ca. Kami menunggumu nak. Nak Fadli sudah cerita sama Bunda. Dan ia ke sini untuk meminangmu. Bagaimana?” Mulutnya menganga. Terlalu kaget melihat kedatangan lelaki ini. Ya Tuhaaan.... lalu apa yang barusan ibunya bilang? MEMINANG?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN