Kaki Rea Semakin Bengkak

1612 Kata
Tiba-tiba kelas mendadak hening, ketika Robert, memasuki kelas dan berjalan ke tempat duduk Rea. Sejak bel istirahat berbunyi, Robert sudah menunggu Rea di kantin. Namun yang ditunggu tidak kunjung datang. Karena itu Robert menyusul ke kelas untuk melihat Rea.  “Rea kenapa Sis?” tanya Robert ketika sudah tiba di meja Rea, dan bingung melihat gadis itu tertidur. “Kayaknya gak enak badan Kak,” jawab Sisca. “Kok bisa? Perasaan tadi pagi gapapa?” “Eng …, itu Kak …” Sisca ragu untuk memberitahu Robert perihal Rea jatuh. “Itu apaan?!” tanya Robert dengan nada ditekan.  “Tadi pas jam istirahat pertama mau selesai, Rea mau kabur.” “Terus?!” tanya Robert tidak sabar. “Nah pas Rea udah ada di jendela, tiba-tiba guru matematika dateng. Karena kaget, Rea jatuh Kak …” “Terus?!” sela Robert. “Pergelangan kaki kanan Rea terkilir. Tadi pas gue liat udah bengkak dan merah.” Tanpa banyak bertanya, Robert mendekati Rea dan meletakkan tangan di kening Rea. Terasa panas dan Rea juga berkeringat. Robert berjalan keluar kelas dan segera menuju ke kantin.  “Pak Kus, mau beli air mineral, obat penurun panas dan ini,” ujar Robert sambil menyodorkan roti cokelat. “Siapa yang sakit, Bet?” tanya Pak Kus. “Rea Pak.” Jawab Robert. “Oh …, tumben amat itu anak sakit,” ujar Pak Kus menyerahkan kresek berisi barang pesanan Robert. “Jadi berapa Pak?” tanya Robert sambil menerima kresek dari Pak Kus. “Delapan ribu.” jawab Pak Kus. Robert mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari dompet dan menyerahkannya pada Pak Kus. “Ambil aja kembaliannya, Pak.” ujar Robert. Setelah itu dia langsung berlari menuju kelas Rea. Setiba di kelas, dengan tergesa Robert berjalan menuju meja Rea. “Masih belum bangun?” tanya Robert pada Sisca. Sisca menggeleng sebagai jawaban. Robert mengguncang pelan bahu Rea, “Re, Rea.” Robert memanggil. “Hm.” “Bangun Re,” ujar Robert. Rea membuka matanya. Kepalanya pusing dan matanya terasa perih. Perlahan Rea mengangkat kepala, dan di depannya Robert sedang menatap dirinya. “Mau apa?” tanya Rea malas. Robert menyodorkan botol mineral yang sudah dia buka pada Rea. “Minum dulu.” Rea menerima botol dari Robert dan meminumnya. Kemudian Robert menyodorkan roti yang juga sudah dia buka, “Makan!” perintahnya pada Rea. “Nggak mau,” tolak Rea. “Makan!” ujar Robert dengan tegas. “Habis itu minum obat.” ujar Robert seraya menyodorkan obat pada Rea. “Aku enggak laper,” ujar Rea keras kepala. “Tapi harus makan Rea …,” ujar Robert berusaha sabar menghadapi gadis keras kepala yang sudah mencuri hatinya ini.”Mau makin sakit?” Rea menggelengkan kepalanya. “Ayo makan,” ujar Robert sambil menyorongkan roti ke mulut Rea. “Mulutnya pahit,” ujar Rea membandel. Sambil menghela napas, Robert menyobek roti dan menempelkan sobekan roti di mulut Rea. Dengan terpaksa Rea membuka mulutnya, menerima sobekan roti dari Robert. Terdengar bisikan dari kelas melihat adegan Robert menyuapi Rea. Namun Robert tidak memedulikan semua itu. Fokusnya hanya Rea. “Udah,” ujar Rea setelah suapan ketiga. “Tanggung Re, dikit lagi,” bujuk Robert. “Tapi aku udah kenyang,” ujar Rea dengan nada memelas. Robert memandangi Rea sejenak. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Robert menyodorkan obat yang sudah dia buka.  “Minum,” ujar Robert dengan lembut. Rea mengambil obat yang disodorkan oleh Robert dan memasukkannnya ke dalam mulut. kemudian Rea meminum air yang juga sudah disodorkan oleh pemuda itu. “Makasih,” ujar Rea setelah selesai meminum obat. “Hm.” Robert menyilangkan tangan di dadanya. Ditatapnya Rea dengan seksama, tak lama Robert tersenyum sambil menggelengkan kepala, dan berkata, “Mau sampe kapan kamu kabur-kaburan dari kelas, Re?” Rea mengangkat bahu dengan acuh. “Kamu tuh udah kelas XI, Re,” sambung Robert. “Ya terus kenapa?” jawab Rea acuh. Robert tidak menjawab pertanyaan Rea karena bel tanda masuk sudah berbunyi.  “Ya udah. Aku ke kelas dulu. Nanti pulang tungguin aku,” ujar Robert. Sebelum pergi, Robert masih sempat mengacak rambut Rea. “Ihh …,” pekik Rea kesal karena tidak sempat menghindar. Robert tertawa mendengar suara kesal Rea. Dilambaikan tangannya pada Rea sambil berjalan keluar kelas. Begitu Robert keluar dari kelas, teman-teman menggoda Rea, “Cie … cie …, yang diperhatiin sama pacar,” ujar Ratna. “Uhhh …, so sweet banget sih,” goda Nita. “Memang cuma Rea yang bisa naklukkin Gunung Es SMU Karya Nusantara,” goda Aldo. “Coba kalo Robert begitu ke gue,” ujar Ika. “Gak mungkin,” teriak anak-anak. “Di mata Robert hanya ada Andrea Tirta seorang,” ujar Nita. “Ihh, kalian apaan sih.” Rea menggerutu sebal mendengar ocehan teman-temannya. “Jangan marah, Re. Emang kenyataan,” goda Sisca sambil tersenyum menyebalkan. “Kamu juga ih.” Rea mencubit Sisca dengan gemas. Sisca bertanya pada Rea karena penasaran, “Kenapa nggak kamu terima Robert aja sih Re?” Belum sempat Rea menjawab, guru Biologi sudah memasuki kelas. Pembicaraan mereka terhenti. Pelajaran Biologi dapat terlewati dengan baik. Ketika sedang di pelajaran terakhir, Sisca memperhatikan Rea yang duduk dengan gelisah. “Lo kenapa Re?” bisik Sisca. “Gapapa,” jawab Rea perlahan. “Bohong lo!”  ujar Sisca. “Muka lo pucat banget Re,” tukas Sisca. Disentuhnya kening Rea, dan terasa panas lagi, padahal tadi sudah reda panasnya. “Lo demam lagi, Re,” ujar Sisca sedikit panik. “Kepala aku berat banget, Sis,” keluh Rea. “Kita ke UKS yuk,” bujuk Sisca. Rea menggelengkan kepalanya. Kemudian Rea Melihat jam tangan, “Tanggung Sis, bentar lagi pulang.” “Ya udah, lo tidur aja lagi kayak tadi,” saran Sisca. Rea mengikuti anjuran Sisca. Direbahkan kepalanya beralaskan kedua tangan. Diam-diam Rea menangis. Pergelangan kakinya terasa sangat nyeri sampai ke ubun-ubun. “Uhh, kapan pulang sih,” Rea membatin. “Pengen pulang, terus tidur.” “Re, Rea, bangun.” Rea seperti mendengar suara Sisca dari jauh. Perlahan Rea membuka mata dan melihat wajah Sisca sedang menatapnya dengan sorot mata panik. “Hm, ada apa Sis?” “Bangun. Mau pulang gak?” tanya Sisca. Mendengar kata pulang, Rea mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling. Ternyata masih di kelas, dan kelas sudah sepi.  “Yang lain pada ke mana?” tanya Rea bingung. Maklum nyawanya belum terkumpul semua. “Andrea Wiguna Cantik,” ujar Sisca sambil menyentil kening Rea. “Semua anak udah pada pulang. Dan kelas sudah berakhir dari 30 menit yang lalu.” Rea mengusap keningnya yang terasa sakit karena sentilan Sisca. “Enggak usah pake nyentil segala kali,” gerutu Rea. “Lagian elo, tidur kayak orang mati,” sindir Sisca. “Maaf deh. Tapi emang aku tidurnya lama?” tanya Rea. “Enggak juga, cuma susah aja dibangunin.” “Maafin aku deh,” ujar Rea merasa bersalah. “Its ok, Re,” ujar Sisca. “Sekarang pulang yuk,” lanjut Sisca. Perlahan Rea berdiri. Ketika merasa sudah dapat berdiri dengan mantap, Rea mencoba melangkahkan kakinya. “ADUHH,” pekik Rea sambil meringis menahan nyeri. “Lo bisa jalan nggak, Re?” tanya Sisca panik. “Bisa,” ujar Rea. Perlahan, Rea mencoba melangkah lagi, namun tidak memaksakan kaki kanannya untuk menapak. Sambil dibantu oleh Sisca, perlahan namun pasti mereka berdua berjalan meninggalkan kelas. Ketika mereka sampai di pintu kelas, ternyata Benny sedang memperhatikan mereka dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.  “Kaki kamu masih sakit?” tanya Benny sopan. Rea tidak menanggapi pertanyaan Benny.  “Minggir!” ujar Rea dengan ketus pada Benny. Sisca serba salah melihat sikap Rea. Benny tidak menggubris ucapan Rea dan tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Rea mendelik pada Benny. Kesal, pusing,  dan nyeri membuat Rea sulit mengontrol emosinya. “Minggir!” kali ini Rea sedikit membentak sambil mendorong Benny. Melihat emosi Rea dalam kondisi yang tidak baik, akhirnya Benny mengalah dan melangkah mundur, memberikan jalan untuk Rea dan Sisca. Rea menarik tangan Sisca supaya mengikuti dia keluar kelas.  “Maaf Pak,” ujar Sisca ketika melewati Benny. Biar bagaimanapun juga Benny adalah seorang guru, dan Sisca merasa tidak enak hati pada pemuda itu karena kelakuan Rea. Benny tetap diam memandangi mereka berdua pergi. Namun akhirnya mengejar mereka, ketika Benny melihat Rea hampir jatuh. “Dasar keras kepala!” desis Benny sambil menahan tangan Rea supaya gadis itu tidak jatuh. “Lepas!” bentak Rea sambil mengibaskan tangannya yang sedang dipegang oleh Benny, dan itu membuat Rea hilang keseimbangan dan hampir jatuh lagi. Namun beruntung karena Benny tidak melepaskan cekalannya pada tangan Rea. “Kamu mau kaki kamu makin sakit?!” tanya Benny dengan suara dingin. “Duduk!” perintah Benny sambil mendudukkan Rea di bangku kayu di deretan luar kelas. Setelah Rea duduk, Benny berjongkok di depan Rea, menarik kaki kanan Rea, membuka sepatu dan kaos kaki Rea. Benny tidak menggubris protes Rea, dan menahan pergelangan kaki kanan Rea supaya tidak lepas. Benny menghela napas panjang, membuang rasa kesal di hatinya. Kemudian dengan amat lembut, Benny mulai memijat pergelangan kaki Rea yang bengkak. “ADUH,” rintih Rea. Hati Benny terasa sakit mendengar rintihan Rea. “Sakit banget?” tanya Benny dengan lembut. Rea menganggukkan kepala. “Masih bisa tahan?” Kembali Rea mengangguk. Benny melanjutkan memijat kaki Rea. Setelah selesai, Benny memakaikan kembali  kaos kaki dan sepatu Rea. “Sudah,” ujar Benny sambil berdiri. “Kalian pulang sama siapa?” tanya Benny. “Pulang sendiri Pak,” ujar Sisca. “Kamu bisa pulang sendiri?” tanya Benny pada Rea. “Harus bisa,” jawab Rea dingin. “Andrea pulang dengan saya Mister,” ujar Robert yang sudah berdiri di belakang Benny.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN