Memiliki Kesukaan Unik

1626 Kata
“Kita pulang aja ya Sis,” ujar Rea yang tidak tega melihat penampilan Sisca yang cukup berantakan. “Jangan Re. Nggak enak sama Kak Calvin.” “Tapi keadaan kamu nggak memungkinkan buat pergi Sis!” “Gapapa Re. Minimal gue temenin lo sampe ketemu Kak Calvin di lapangan.” “Gimana kamu aja Sis.” Namun Rea tetap menuntun Sisca sampai mereka tiba di lapangan. Di sana ada Calvin dan beberapa anak kelas 11 dan 12. “Wah, kenapa banyak anak-anak?” tanya Sisca. “Gue pikir cuma Kak Calvin doang.” Rea diam saja. Hatinya juga berkecamuk ingin pulang saja. Namun di satu sisi dia pun harus menepati janji menemui Calvin untuk memberi kabar jadi atau tidak pergi bersama. Sementara itu Calvin dan teman-temannya yang sedang menunggu Rea senang ketika melihat gadis itu berjalan menghampiri mereka. Namun semakin dekat jarak antara Rea dengan mereka, Calvin melihat ada yang aneh. Sisca yang rambut dan baju seragamnya berantakan serta sudut bibirnya berdarah. Calvin bergegas lari menghampiri Rea dan Sisca. “Kalian kenapa?” tanya Calvin setelah tiba di hadapan Rea dan Sisca. “Gapapa Kak,” jawab Sisca. Calvin memandang Sisca dari atas sampai ke bawah dan berkata. “Gapapa, tapi kok babak belur begitu? “Ini ulah siapa?” tanya Calvin. Rea dan Sisca diam. Teman-teman Calvin satu per satu mulai menghampiri mereka dan terkejut melihat keadaan Sisca. “Ini perbuatan siapa?” tanya Gerry. Namun Rea dan Sisca tetap bungkam. “Hasil karya Lydia CS,” ujar Robert yang sudah bergabung dengan rombongan Calvin. “Serius lo?!” tanya Calvin nggak percaya. “Lo tanya aja ma dia,” ujar Robert sambil menunjuk ke arah Rea dengan dagunya. “Bener Re?” tanya Calvin. Rea mengangguk. “Emang ada masalah apa lo sama Lydia?” tanya Gerry penasaran. “Bukan aku Kak.” Rea menjawab dengan tenang. Diam-diam Robert memperhatikan Rea dengan saksama. Dingin, itu kesan pertama yang Robert rasakan. Ini anak ngejawab tenang banget. Apa nggak punya rasa takut? Robert membatin. “Eh liat tuh,” ujar salah satu teman Calvin sambil menunjuk ke arah kelas-kelas. Di sana mereka melihat Lydia CS sedang berjalan ke arah luar menuju gerbang sekolah. Namun yang membuat mereka bingung adalah Ria, salah satu dari Geng Lydia berjalan terpincang-pincang. Robert tersenyum lebar melihat hal itu. “Kak,” panggil Rea pada Calvin. “Oy,” jawab Calvin. “Maaf, kayanya aku nggak bisa pergi. Suasana hati aku udah nggak bagus. Daripada aku jadi orang yang nyebelin, mending aku nggak pergi." "Kamu jadi orang jujur amat Re? Aku suka orang yang jujur," ujar Calvin. "Oh ya, kalian berdua mau liat kami main basket?" "Mau Kak. Tapi emang boleh?" Sisca bertanya. "Boleh lah. Emang kenapa nggak boleh?" Calvin menjawab sambil tertawa. Satu per satu teman-teman Calvin meninggalkan mereka dan berjalan menuju ke tengah lapangan basket, bersiap untuk memulai permainan. "Ayo!" Ajak Calvin pada Rea dan Sisca. "Sis, aku pulang aja deh," Rea merasa tidak enak berada di sini. "Bentar aja Re," pinta Sisca. "Sebentar aja ya." Setelah itu Rea dan Sisca berjalan menuju pinggir lapangan dan duduk di tempat duduk batu. Mereka menonton Calvin dan kawan-kawan bermain basket. Robert tersenyum kecil ketika mengetahui Rea menonton mereka bermain. "Woy," ujar Gerry sambil memukul bahu Robert. "Ngapain lo senyum-senyum sendiri? Masih waras kan lo?" "Apaan sih?!" Robert menggerutu sekaligus malu ketahuan sedang senyum oleh Gerry. Selama setengah jam, Rea dan Sisca menonton Calvin bermain. "Sis, aku beneran mesti pulang. Aku duluan ya." "Kok buru-buru Re? Emang kamu mau kemana?" tanya Sisca. "Aku mesti pergi, ada yang mesti aku kerjain," ujar Rea. "Yah …. Kamu mau ke mana sih Re. Aku ikut kamu ya," ujar Sisca dengan nada memohon dan tangan yang ditangkupkan seolah sedang memohon. "Jangan!" Rea belum ingin Sisca tau tentang apa yang dia kerjakan. "Aku pergi dulu ya." Rea bangun dan berjalan menghampiri Calvin. "Kak!" Rea memanggil Calvin. Calvin berjalan menghampiri Rea dan bertanya. "Kenapa Re? "Aku duluan ya." "Kamu mau ke mana? Tunggu bentar lagi Re, biar aku antar." "Eh. Jangan Kak. Terusin aja mainnya. Makasih ya Kak udah diijinin liat Kakak main. Bye," Rea pun pamit dan berjalan meninggalkan lapangan dan Sisca. "Rea tunggu! Gue ikut." Sisca berlari mengejar Rea yang sudah meninggalkan lapangan. "Rea!" Dengan napas terengah-engah Sisca memanggil Rea. Rea menghentikan langkahnya dan menunggu Sisca. "Kenapa?" tanya Rea. "Lo mau ke mana? Gue ikut ya …?" pinta Sisca dengan nada memohon. "Nggak bisa!" tolak Rea. "Kenapa? Emangnya lo mau ke mana dan mau ngapain?" tanya Sisca penasaran. "Ada yang mau aku kerjain." "Rahasia?" tanya Sisca ngotot. "Nggak juga." "Kalo bukan rahasia, gue ikut ya. Gue bingung mau ngapain," ujar Sisca. "Kan kamu bisa pulang ke rumah Sis. Di rumah bisa istirahat." "Iya, kamu betul. Tapi buat apa aku di rumah, nggak ada siapa-siapa selain asisten rumah tangga. Selalu begitu setiap hari." Rea terdiam mendengar ucapan Sisca. Tidak jauh berbeda dengan dirinya yang selalu sendiri di rumah. Namun Rea juga belum siap jika Sisca tahu lebih banyak akan dirinya dan apa yang akan dia lakukan saat ini. "Boleh ya Re …, please …," Sisca memohon. "Iya boleh," ujar Rea yang tidak tega melihat wajah memelas Sisca. "Tapi kamu mesti janji sama aku, kalo kamu nggak akan cerita ke siapapun tentang hal ini!" Sisca menganggukkan kepala dan berkata, "Iya, aku janji!" Mereka berjalan meninggalkan lapangan basket yang terletak bagian dalam sekolah menuju ke luar terus menuju gerbang sekolah. Dari kejauhan Rea melihat supir Sisca yang sudah menunggu. "Oh iya ada satu hal lagi," ujar Rea. "Apaan?" tanya Sisca. "Kita pergi naik angkutan umum." "HAH?!" ujar Sisca terkejut. Seumur hidupnya, dia belum pernah naik kendaraan umum. Dari kecil selalu ada mobil dan supir yang selalu siap mengantar dirinya ke manapun dia ingin pergi. "Setuju apa nggak?" tanya Rea. "Mm …, tapi gue belum pernah naik kendaraan umum Re," ujar Sisca. "Ya pilihan di tangan kamu. Kalo mau ikut, harus ngikutin aturan aku. Kalo nggak bisa ya nggak usah ikut," tantang Rea. Dia bukan tidak tahu kalau sebenarnya Sisca anak orang berada. Tapi Rea ingin jikalau Sisca benar-benar ingin menjadi temannya, anak itu juga harus bisa naik kendaraan umum, memahami dirinya yang hanya anak dari keluarga sederhana. "Oke siapa takut," ujar Sisca mantap setelah terdiam sejenak. "Lo tunggu sini ya. Gue mau ngomong dulu sama Pak Joko." "Sekalian jalan aja Sis," ujar Rea yang tetap berjalan di samping Sisca. "Pak hari ini saya mau pergi sama Rea. Bapak nggak usah ikut," ujar Sisca setelah tiba di depan Joko. "Lho memangnya Non Sisca mau ke mana?" "Mau pergi sama Rea. Mau jalan-jalan." "Tapi nanti kalo Nyonya telepon, saya mesti bilang apa Non?" "Bapak bisa ikutin kami dari belakang kok," sela Rea. "Siap Non," ujar Joko. "Ayo Sis," ajak Rea. Rea dan Sisca kembali berjalan. Mereka berjalan di sepanjang trotoar sampai di halte bis. Ini pengalaman pertama Sisca menunggu bis di halte. Cukup menyenangkan juga walaupun cuaca cukup terik siang ini. "Sis, itu bis nya dateng. Kamu berdiri dekat aku ya," pinta Rea. Setelah bis berhenti dan pintu terbuka, mereka berdua naik. Masih ada beberapa tempat duduk di dalam bis, mereka pun duduk bersebelahan. "Re," panggil Sisca. "Hm." "Lo tadi bilang sama Pak Joko mau ke tempat latihan. Emang lo mau latihan apa?" tanya Sisca penasaran. "Nanti juga kamu tau kok." "Ih bikin penasaran aja deh," gerutu Sisca. Rea mengeluarkan ponsel dan earphone nya. Ketika akan memakai earphone, Sisca mengambil satu earphone di telinga kanannya. Rea hanya diam dan memasang yang sebelah di telinga kirinya. "Ini siapa yang nyanyi Re?" tanya Sisca. "Kenapa?" "Gue baru pernah denger lagu ini. Enak juga lagunya," ujar Sisca. "Ini yang nyanyi White Lion, judulnya When the Children Cry." "Gue baru pernah denger band ini." "Mereka grup band tahun 80 an Sis," ujar Rea." "Hah?! Ternyata selera lagu kamu kuno ya." Sisca tertawa mendengar perkataan Rea. "Memang salah?" "Nggak sih. Tapi gue baru nemuin anak remaja yang suka lagu jadul." "Jadul tapi legend," ujar Rea. "Serius Re, gue jadi makin penasaran ma elo. Nggak nyesel kenal sama elo dan jadi temen lo." "Udah ah ngobrolnya. Aku mau dengerin lagu," pinta Rea. Sisa perjalanan itu mereka habiskan dengan mendengarkan alunan musik dari ponsel Rea. Sisca yang terlena alunan musik dari ponsel Rea perlahan mulai mengantuk, ditambah bis yang selalu berhenti di setiap halte akhirnya membuat Sisca tertidur. Rea yang melihat temannya tertidur hanya tersenyum, dan membiarkan hal itu. "Sis, bangun. Kita udah mau turun," ujar Rea sambil mengguncang pelan bahu Sisca. Perlahan Rea mencopot earphone dari telinga Sisca dan menyimpan ponsel beserta earphone dalam tas. "Sis, bangun. Kita udah mau turun." Kali ini Rea mengguncang bahu Sisca dengan keras. "Masih ngantuk," ujar Sisca. "Ya udah. Aku turun sendiri ya," ancam Rea. "Jangan!" Sisca langsung membuka matanya. Rea tertawa melihat kelakuan Sisca. Kemudian Rea berdiri. Setelah Sisca ikut berdiri, Rea perlahan berjalan menuju pintu bis. Di halte mereka berdua turun. Di seberang mereka terlihat sebuah bangunan yang cukup luas. Banyak orang terlihat keluar dan masuk di sana, kebanyakan anak muda, ada juga anak kecil. "Kita mau ke mana sekarang Re?" tanya Sisca. "Ke sana," ujar Rea sambil menunjuk ke arah bangunan di seberang. "Ayo." Rea meraih tangan Sisca dan menuntunnya untuk menyeberangi jalan. "Itu tempat apaan?" tanya Sisca sambil terus mengikuti langkah Rea. "Liat aja ntar." Setelah mereka tiba, Rea mengajak Sisca untuk masuk ke dalam. Di dalam, ada sebuah ruangan yang mirip seperti ruang tunggu, terlihat nyaman dan menyenangkan. Rea terus berjalan menuju ke sebuah pintu kayu besar. Setiba di dalam Sisca terbelalak takjub melihat ruangan yang besar. Di sana terlihat anak-anak remaja sedang berlatih beladiri. “Wah …, keren banget!’ ujar Sisca sambil memandangi sekeliling ruangan dengan pandangan takjub. “Ini tempat apaan Re?” tanya Sisca. “Tempat latihan taekwondo. Kenapa gitu?” “Elo ngapain ke sini?” tanya Sisca penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN