Kekaguman Terpendam

1784 Kata
Bel istirahat berbunyi, anak-anak kelas 10-3 bersorak gembira. Mereka langsung berhamburan keluar, ada juga yang langsung berkumpul untuk mengobrol. "Re, ke kantin yuk," ajak Sisca. "Males ah," ujar Rea sembari merebahkan kepala beralaskan kedua tangannya. "Laper nih. Temenin gue ke kantin yuk," bujuk Sisca. "Males Sis." Bukan Rea tidak mau menemani Sisca ke kantin, tapi suasana di kantin terlalu ramai. Dan sudah beberapa hari belakangan ini, Calvin anak kelas 12 IPA1 selalu mencoba mengajaknya mengobrol, bahkan selalu membayar makanan dan minuman Rea dan Sisca. Dan Rea tidak menyukai hal itu. Belum lagi kakak kelas perempuan yang memandangnya dengan tatapan tidak suka. "Bener nggak mau?" tanya Sisca. "Hm." "Ya udah, gue ke kantin sendiri. Lo mau titip apa?" tanya Sisca. Rea mengangkat kepala dan menggeleng. Rea mengeluarkan earphone dan ponselnya, memutar musik kemudian merebahkan kembali kepalanya. "Rea! Re!" Terdengar suara cewe yang memanggilnya. Dengan malas Rea mengangkat kepalanya dan mencari siapa yang memanggilnya. Rea melihat Nita, teman sekelasnya melambai dari luar kelas. Bukannya berdiri, Rea malah kembali merebahkan kepalanya. Malas rasanya keluar kelas dan menemui Nita. "Rea!" Nita memanggil lagi. Rea berpura-pura tidak mendengar. Melihat Rea tidak bereaksi, Nita datang menghampiri Rea. "Re!" ujar Nita sambil mengguncang bahu Rea. "Apaan?" ujar Rea sambil melepas salah satu earphone nya. "Lo dicariin sama Kak Calvin tuh," ujar Nita sambil menunjuk ke luar kelas tempat Calvin berdiri. "Mau ngapain sih?" "Mana gue tau. Mending lo samperin gih ke sana," ujar Nita. "Harus ya?" "Terserah ah!" ujar Nita gemas. "Pokoknya gue udah lakuin tugas gue. Selanjutnya terserah lo." Nita berbalik meninggalkan Rea. "Kak, masuk aja," ujar Nita pada Calvin yang masih berdiri di depan pintu kelas. "Oke. Makasih ya Nit." Calvin masuk ke kelas dan berjalan menuju meja Rea di barisan paling belakang. "Kamu sakit Re?" tanya Calvin setelah tiba di meja Rea. "Nggak," jawab Rea. "Kenapa nggak ke kantin?" ujar Calvin sembari duduk di bangku depan Rea. "Males, penuh terus." Rea memberikan alasan. "Enakan juga di kelas, liat pemandangan sambil dengerin lagu." "Kalo ke kantinnya sama aku, pasti nggak penuh deh." Rea tertawa mendengar perkataan Calvin. "Mana mungkin Kak, kecuali Kakak borong semua yang ada di kantin, baru kantin nggak penuh." "Eh, tapi ada lho tempat nongkrong yang enak di deket sekolah," ujar Calvin dengan senyum jahil. "Oh ya? Di mana?" tanya Rea dengan antusias. "Kamu mau ikut?" "Eng …, di mana dulu?" "Kalo kamu mau, ntar pulang sekolah aku ajak kamu ke sana," "Rea tanya Sisca dulu. Kalo Sisca mau, Rea ikut." "Boleh aja. Ntar aku tunggu di lapangan basket," ujar Calvin. "Oke." "Oh iya, sampe lupa. Nih aku bawain ini buat kamu," ujar Calvin seraya meletakkan bungkusan di meja Rea. "Apaan tuh?" "Buka aja sendiri." Calvin bangkit dari kursi yang dia duduki. "Aku tinggal dulu ya. Bye." Calvin berjalan menuju keluar. Rea penasaran dengan isi bungkusan yang dibawa Calvin, dan memeriksa isinya . Di dalam ada roti cokelat, minuman dingin, dan cokelat 2 batang. "Wah …, koq dia tau aku suka cokelat," gumam Rea sambil tersenyum. "Woy!" seru Sisca sambil memukul meja Rea. "Apaan sih, bikin kaget aja," gerutu Rea. "Habis lo senyum-senyum sendiri kaya orang stress," ledek Sisca. "Biarin." Sisca melihat kantong kresek yang dipegang Rea. "Katanya nggak mau ke kantin. Tapi lo jajan juga!" "Bukan aku yang beli Sis." "Lha terus siapa?" "Tadi Kak Calvin nganterin ini buat aku." Rea menjelaskan. "Seriusan lo?" Rea mengangguk. "Ke …," Belum sempat Sisca berkata, bel masuk berbunyi. "Kamu mau bilang apa Sis?" "Nggak jadi Re, ntar aja." "Sekarang pelajaran siapa Re?" tanya Sisca. "Mister Handoko," ujar Rea sambil mengeluarkan buku Fisika dari dalam tas. "Uh …, Fisika. Gue benci Fisika," gerutu Sisca. Selama pelajaran Fisika Rea menyimak semua materi yang diajarkan, berbanding terbalik dengan Sisca yang asik membuat coretan di bagian belakang buku tulis. "Sis, kamu ngapain?" bisik Rea. "Liat deh," ujar Sisca sambil menunjukkan gambar buatannya. Gambar karikatur Mister Handoko yang sedang mengajar dengan ekspresi marah yang dibuat Sisca sangat bagus dan lucu. Rea tersenyum lebar melihatnya. "Kenapa ketawa?" tanya Sisca. "Lucu ekspresinya. Tapi kalo ketauan gimana?" "Nggak akan lah." "Eh Sis, ntar siang mau temenin aku nggak?" tanya Rea. "Ke mana?" " Kak Calvin mau ngajakin ke tempat nongkrong dia. Katanya dekat sekolah." "Hayu aja." "Beneran?” tanya Rea memastikan. “Iya, bener.” “Oke. Kalo gitu ntar pulang sekolah kita ke lapangan basket,” ujar Rea. *** Bel pulang sekolah berbunyi. Rea dan Sisca membereskan buku-buku dan alat tulis. Memasukkan ke dalam tas, dan bersiap-siap untuk pulang. “Re, gue ke toilet dulu ya. Lo duluan aja ke lapangan basket,” ujar Sisca. “Oke.” Sisca segera berlari menuju toilet sekolah, sedangkan Rea tetap di dalam kelas. Rea mengeluarkan ponsel, ingin mengirim pesan pada Mama memberitahu dia akan pulang terlambat. Rea : Ma, hari ini Rea pulang telat ya. Rea : mau main dulu sama Sisca. Mama : Iya. masih punya uang kan? Rea : Masih Ma. Mama : Ya udah Selesai mengirim pesan, Rea beranjak dari kursi berjalan keluar kelas. Ketika hampir sampai di lapangan basket, dari jauh Rea belum melihat Sisca. “Sisca ke mana ya? Katanya ke kamar mandi, kok lama?” gumam Rea. Alih-alih menuju lapangan basket, Rea memutar tubuhnya dan berjalan menuju toilet. Ketika hampir sampai di toilet, Rea melihat salah satu geng Lydia sedang berdiri di depan toilet. Perasaan Rea langsung tidak tenang. Dihembuskannya napas, kemudian Rea meneruskan langkah menuju toilet. Setibanya di depan toilet, Fanny salah satu anggota geng Lydia mencegat Rea. “Permisi, aku mau masuk.” “Nggak ada yang boleh masuk ke sini!” ujar Fanny dengan nada jutek. Sayup-sayup Rea mendengar suara tangisan Sisca. Hatinya makin yakin ada yang tidak beres di dalam. “Minggir!” kali ini Rea berkata dengan tegas. “Gue bilang nggak ada yang boleh masuk! Lo ngerti nggak?!” Fanny mencoba mencengkeram kerah baju seragam Rea. Namun sebelum tangan Fanny berhasil menyentuh Rea, terlebih dahulu Rea mencekal tangan kanan Fanny dan memelintirnya ke belakang. “ADUH!” pekik Fanny kesakitan. “Jangan coba-coba nyentuh gue! Paham?!” desis Rea dingin. Fanny masih mencoba melepaskan cekalan tangan Rea, akan tetapi semakin dia berontak, Rea semakin kuat memelintir tangannya. “Lo paham nggak omongan gue?!” ujar Rea dingin di telinga Fanny sambil memberikan tekanan di tangan Fanny. “Iya, gue ngerti.” Fanny menyerah. “Gue mau masuk. Jangan coba-coba ikut masuk, apalagi kalo sampe ikut campur! Ngerti?!” “Iya,” ujar Fanny. Dengan tenang, Rea masuk ke toilet perempuan dan menemukan Lydia sedang menjambak rambut Sisca. Mendidih amarah di hati Rea melihat hal itu. “Lepasin temen gue!” Rea berkata dengan tenang. “Emangnya lo siapa?! Berani ikut campur urusan gue?!” “Mending lo lepasin temen gue sekarang!” Rea memperingati Lydia. “Enak aja lo merintah gue. Belum tau gue siapa? nggak ada anak di sini yang berani lawan gue! Dan karena lo lancang, tunggu giliran lo. Urusan gue sama ini anak belum beres!” ujar Lydia sambil menarik rambut Sisca. “ADUH!” pekik Sisca kesakitan. “Ria, lo urus dia! ujar Lydia pada temannya. “Oke!” ujar Ria dengan seringai menyebalkan sambil menghampiri Rea. “Anak kecil nggak tau diri!” Ria melayangkan tangannya ke muka Rea. Namun sebelum tangan itu menyentuh wajah Rea, dalam sekejap Ria terjatuh ke lantai dengan bunyi yang cukup keras. “AW!” teriak Ria kesakitan. “Jangan salahin gue,” desis Rea. Lydia melongo melihat temannya tergeletak di lantai. Mulai timbul rasa kecut di hatinya. Selama ini baik kakak kelas maupun teman seangkatan belum ada yang berani padanya. Karena kedua teman Fanny bisa sedikit ilmu bela diri. Namun hari ini, Ria malah tergeletak di bawah. “Fanny!” teriak Lydia. “Fan! Fanny!” “Percuma lo panggil-panggil. Dia nggak akan datang.” Dengan tenang Rea melangkah mendekati tempat Lydia dan Sisca. Setelah tiba di hadapan mereka, Rea berkata. “Mending lo lepasin temen gue sekarang!” “Kalo bisa, lepasin sendiri,” tantang Lydia. “Mending lo lepasin Sisca sekarang. Selagi gue masih ngomong baik-baik.” Tatapan mata dan suara Rea begitu tenang dan dingin. Sisca pun dibuat takut dengan tatapan mata temannya itu. “Nih!” ujar Lydia sambil mendorong Sisca ke arah Rea. Namun dengan sigap, Rea bergeser ke samping menghindari tubuh Sisca, tetapi tangannya langsung menahan badan Sisca yang akan terjerembab. “Kamu gapapa?” tanya Rea tanpa melepaskan pandangannya dari Lydia. “Gue gapapa Re,” ujar Sisca yang masih gemetar ketakutan “Diem di sini!” perintah Rea. Perlahan Rea maju menghampiri Lydia. Dalam satu tarikan napas, rambut Lydia sudah berada dalam genggaman Rea. “AW! SAKIT!” Lydia menjerit. “Sekarang coba lo rasain apa yang temen gue rasain. Apa yang tadi lo lakuin ke dia, sekarang gue yang lakukan ke elo!” desis Rea dengan dingin. “Gimana rasanya?!” “Lo diem aja di sana! Jangan coba-coba nolongin dia!” ujar Rea pada Ria yang sedang mencoba untuk bangun. Mendengar perkataan Rea, Ria urung bangun. “Lepasin gue!” Bentak Lydia. "Kalo gue nggak mau, lo mau apa?!” tanya Rea dengan nada sinis. “Gue mau ingetin lo! Jangan pernah lo dan geng lo coba-coba usik gue dan dia! Paham?!” ujar Rea sambil tangannya memberi tekanan sedikit pada rambut Lydia. Karena rambutnya semakin sakit, akhirnya Lydia menyerah. “Iya, gue paham!” ujar Lydia dengan ketus. Rea melepaskan jambakannya pada rambut Lydia. Dia menghampiri Sisca dan memeluk Sisca. “Ayo kita keluar,” ujar Rea sambil menuntun Sisca. “Makasih Re,” bisik Sisca. Rea terus menuntun Sisca meninggalkan toilet dan berjalan menuju lapangan basket untuk menemui Calvin. Tanpa mereka sadari terutama Rea, ternyata Robert sudah mengikuti Rea sejak gadis itu meninggalkan kelas menuju ke toilet. Robert menyaksikan bagaimana gadis itu dapat mengalahkan Lydia CS sendirian demi menolong temannya. Hal itu membuat Robert semakin tertarik ingin mengenal Rea, gadis yang sudah beberapa waktu mengganggu hati dan pikirannya. *** Pulang sekolah, Robert iseng berjalan menuju kelas 10-3. Dia ingin melihat Rea, karena sejak pagi dan ketika istirahat dia tidak melihat gadis itu. Namun, Robert sedikit bingung ketika melihat Rea berjalan menuju ke kamar mandi. Karena penasaran, diam-diam Robert mengikuti dari belakang. Ketika Rea tiba di kamar mandi, dari kejauhan Robert melihat kalau pintu toilet dijaga oleh Fanny, salah satu anak buah Lydia. Awalnya Robert ingin langsung menolong Rea, supaya gadis itu tidak terluka. Namun, Robert urung melakukan hal itu ketika dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan bagaimana Rea menghadapi Fanny. Ketika melihat Rea masuk ke dalam toilet wanita sendirian, untuk sesaat dirinya merasa sedikit khawatir. Namun, rasa khawatir itu lenyap saat dia melihat Rea keluar dari toilet dalam keadaan baik-baik saja sambil memapah Sisca. “Ternyata kamu memang berbeda dengan gadis lain yang ada di sekolah ini,” gumam Robert sambil tersenyum kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN