Bab 9. ( Hari yang Kacau)

1060 Kata
Taksi yang dikemudikan oleh Joko akhirnya tiba juga di depan, jalan rumah ibunya Ketrien. Joko lalu menghentikan laju taksinya dengan sempurna, takut Ketrien terluka. Sedangkan Ketrien segera mengeluarkan dompetnya dari dalam tas wanitanya. untuk membayar ongkos taksi yang tertera di agrometer taksi itu. Yang menunjukan Rp 80.000. Terlihat Joko masih grogi dengan Ketrien, akibat dari kesalahan yang ia buat dan kecantikan Ketrien, yang baginya bagai seorang bidadari dari surga tertinggi di langit. Hingga menerima uang dari Ketrien pun. Tangan kanannya bergetar. Hingga membuat Ketrien tersenyum ke arah Joko. Melihat tingkah dari Joko Subroto itu. Yang seakan belum makan selama berhari-hari. "Ya, ampun Mas Joko kenapa sih? Sampai gemetaran tangannya, kayak gitu? Enggak usah takut, saya enggak akan melaporkan ke kantor Mas Joko ko, tentang peristiwa tadi," ucap Ketrien, lalu tersenyum ke arah Joko. Yang tetap grogi di hadapan gadis cantik itu. "Bukan itu, Mba masalahnya," sahut Joko, sambil mengambil uang pecahan Rp 20.000, dari dompetnya. "Lalu masalahnya apa? Apa takut uang saya itu palsu?" tanya Ketrien dengan penuh selidik. Namun tetap tersenyum lebar dengan cerianya kepada Joko. "Bukan itu juga," sahut Joko, mulai terbiasa dengan Ketrien. Dan mulai dapat mengendalikan dirinya. "Lalu apa?" tanya Ketrien seolah penasaran. Padahal tak peduli sama sekali. Dengan alasan yang akan dilontarkan oleh Joko nanti. "Senyuman Mba itu, yang membuat saya gemetaran ...," sahut Joko, lalu tersenyum malu-malu kepada Ketrien. Mendengar ucapan dari Joko itu. Ketrien pun tertawa lepas.Tak menyangka sama sekali. Jika jawaban yang diberikan oleh Joko, bisa membuatnya tertawa selepas itu. "Ha ...ha...! kamu itu bisa membuat saya tertawa. Jarang loh, ada yang bisa membuat saya tertawa seperti ini. Bisa enggak, saya minta nomor HPnya?" kata Ketrien, yang membuat Joko menjadi ge'er dibuatnya. Karena dirinya mengira, Ketrien sudah jatuh cinta pada dirinya sejak pandangan pertama. Hingga gadis itu pun meminta nomor teleponnya terlebih dahulu, untuk menghubunginya selanjutnya nanti. "Buat apa, Mba? Buat pedekate sama saya ya?" timpal Joko kege'eran, sambil memberikan senyuman termanisnya kepada Ketrien. Yang malah membuat Ketrien tertawa kembali. "Waduh! pikiran kamu itu ngawur sekali. Saya itu meminta nomor HPmu, untuk menghubungi kamu, saat saya pulang malam suatu saat nanti. Daripada saya menggunakan taksi lain, lebih baik saya menggunakan taksi kamu. Karena saya merasa nyaman sama kamu," sahut Ketrien, lalu mulai bersiap untuk mengetik nomor kartu ponsel Joko. Di smartphone layar sentuhnya itu. "Oh begitu toh, Mba. Saya kira ada apa begitu, jadi saya ge'er duluan," sahut Joko, sambil mengambil ponsel androidnya dari dalam saku celana bahannya. "Lebih baik panggil saja saya, Ketrien, daripada harus dipanggil Mba. Terdengarnya aneh saja. Saya juga akan panggil kamu Joko saja, engga pakai embel-embel Mas," ucap Ketrien, sambil menunggu Joko. Yang tengah sibuk mencari nomor ponselnya, di ponselnya. Karena ia tak ingat nomor ponselnya sendiri. "Itu terserah kamu Ket, bagaimana baiknya saja. Aku mah manut-manut saja. Nih nomor saya," Joko lalu menyebutnya nomor teleponnya itu. Yang segera diketik di layar sentuh smartphone Ketrien, dengan begitu cepatnya. Setelah nomor telepon Joko tersimpan di smartphonenya. Ketrien lalu menelepon nomor itu. Yang membuat ponsel Joko berdering, dengan mengeluarkan nada dering lagu dangdut kesukaannya. Sesudah nomor Ketrien terdeteksi di ponsel Joko. Ketrien lalu memutuskan panggilan itu. "Itu nomorku, sekarang aku mau masuk ke dalam rumah dulu," ujar Ketrien dengan bahasa yang lebih santai dari yang tadi. Sambil membuka pintu taksi itu. Dan lalu keluar dari dalam taksi yang dikemudikan Joko dengan lembutnya. "Ket, ini kembaliannya," ucap Joko, mengulurkan uang kembaliannya kepada Ketrien, saat Ketrien menutup pintu taksi itu. "Sudah ambil saja, sampai jumpa kembali ya. Joko Tarub ...!" ujar Ketrien, sambil mencandai Joko. Yang semakin ge'er mendengarnya. "Iya, Nawang Wulan ...!" timpal Joko, sambil bercanda pula. Joko lalu melajukan kembali taksinya, meninggalkan tempat itu. Dengan segala kebahagiannya bersama khayal Ketrien. Yang meraja di angannya. Hingga si supir taksi itu pun terlihat tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila. ★★★ Sepeninggalan taksi Joko, Ketrien melangkahkan kakinya menuju ke rumahnya. Dan tak berapa lama kemudian. Ketrien akhirnya tiba di pintu gerbang rumah besar orang tuanya. Ia lalu memencet bel rumah itu, dan sesaat kemudian muncullah Mang Darman, tukang kebun di rumah orang tuanya. Yang membukakan pintu gerbang rumah orang tuanya itu, dengan tergesa-gesa. Seakan ingin menyambut Ketrien layaknya seorang tuan putri. "Eh, Neng Ketrien datang juga. Bapak dan ibu sudah menunggu Neng dari tadi di dalam," ucap Mang Darman dengan logat Sundanya yang kental. Lalu tersenyum ramah, menyambut kedatangan Ketrien. Ketrien lalu masuk ke dalam halaman rumahnya, dan sempat melihat mobil sedan yang asing baginya. Hingga ia pun bertanya kepada Mang Darman, yang tengah menutup pintu gerbang itu kembali. "Mang itu mobil siapa?" tanya Ketrien, sambil menunjuk ke arah mobil sedan yang terlihat antik di matanya. "Oh itu, itu mobilnya Raden Mas Cokro Suryo Tejho Sumirat Joyo, tamunya bapak dan ibu," ucapan Mang Darman itu membuat Ketrien harus mengerutkan dahinya. Seakan ia tak percaya, bila nama yang disebut oleh Mang Darman masih ada di zaman ini. Nama yang benar-benar aneh bagi gadis cantik itu. Gadis yang berpikir terbuka seperti Ketrien pun harus mengerutkan dahinya ketika mendengar nama klasik itu. Padahal Ketrien menyukai hal-hal yang berbau klasik. Akan tetapi mendengar nama klasik. Dirinya mulai berspekulasi jika pemilik naka itu, pasti orangnya klasik. "Waduh! namanya serasa hidup pada zaman pra kemerdekaan saja. Namanya antik begitu, mungkin juga pemilik nama itu juga, antik orangnya," ujar Ketrien, seakan sedang berbicara sendiri. Lalu melangkahkan kakinya kembali dan meninggalkan Mang Darman sendirian, yang langsung melanjutkan aktifitasnya kembali. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Ketrien menghentikan langkah kakinya, tepat di pintu rumahnya. Ia lalu membuka pintu rumah itu, tanpa memberi salam terlebih dahulu. Saat pintu itu terbuka, terlihatlah ayah dan ibunya. Yang tengah duduk berdampingan. Di sofa di ruang tamu, yang berada di tengah rumah itu. Sedangkan di hadapan kedua orang tuanya, tampak sesosok lelaki seusia kakaknya. Yang tak mungkin teman dari Kevin, kakaknya itu. Jika dilihat dari penampilannya, yang jauh sekali dari penampilan anak muda Jakarta yang metro seksual. Bagaimana mungkin kakak kandungnya memiliki teman seklasik seperti itu. Lelaki muda itu sepertinya memakai minyak rambut yang berlebihan, terlihat dari rambut belakangnya. Yang nyaris mengkilap dan basah, seperti kucing yang habis kecebur air got. "Inikah tamu yang dimaksud oleh Mang Darman? Sepertinya ini benar, ia lelaki tipe klasik ...," kata Ketrien di dalam hatinya. Sambil terus melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu itu. Inginnya gadis cantik itu tertawa terbahak-bahak saat itu juga. Melihat penampilan dari tamu ayah-ibunya itu. Akan tetapi perempuan cantik itu takut dosa. Walaupun sebenarnya, dosa itu tak terasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN