Ketrien akhirnya tiba juga di ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Ia lalu menghampiri ayah dan ibunya, dengan mencium tangan kanan kedua orang tuanya. Setelah itu, ia pun duduk di sofa, di samping ibunya. Dan mau tak mau, ia pun melihat sosok nyata. Dari tamu kedua orang tuanya itu.
Ketrien hampir tertawa lepas dan terbahak-bahak, ketika melihat penampilan lelaki muda itu lebih jelas dari yang tadi. Rambutnya ternyata, bermodel potongan rambut aktor Korea yang berponi, tetapi dengan wajah yang asli pribumi. Ditambah lagi, dengan pakaian jas berwarna hitamnya, seolah Lelaki bernama panggilan Tejho itu. Memang benar-benar pecinta Drama Korea yang sering diputar di televisi nasional.
Namun untung saja Ketrien dapat menahan tawanya. Jika tidak, gadis cantik itu tidak bisa membayangkan apa reaksi dari Tejho dan kedua orang tuanya itu nanti. Jika ia kelepasan tertawa terbahak-bahak.
"Mam, sebenarnya ada perlu apa sih. Ketrien disuruh pulang kemari?" tanya Ketrien dengan penuh selidik, lalu memalingkan pandangannya ke arah ibunya, yang terlihat masih cantik dan muda, walaupun telah berkepala 5 usianya.
"Tidak ada apa-apa Ket. Hanya Papi mu saja, yang ingin mengenalkan anak sahabatnya sewaktu kuliah dulu, sama kamu," timpal Rani, ibu dari Ketrien. Yang langsung disambung oleh perkataan dari suaminya.
"Ya, Papi ingin mengenalimu. Sama anak sahabat Papi dulu, yaitu Om Priyo. Yang sekarang sedang ada di hadapan kita ...," ucap Rama, ayahnya Ketrien. Yang seakan memberi isyarat. Untuk tamunya mengenalkan dirinya kepada Ketrien.
Lelaki muda itu pun lalu bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Ketrien. Dan mengulurkan tangan kanannya ke arah Ketrien. Yang dengan sangat terpaksa menerima uluran tangan kanan lelaki muda bertampang klasik itu. Dan ia pun segera mengeluarkan suaranya, untuk mengenalkan dirinya kepada Ketrien.
"Perkenalkan nama aku, Raden Mas Cokro Suryo Tejho Sumirat Joyo ...," ucapnya, dengan logat Jawa yang kental.
"Namaku, Ketrien Anjani ...," timpal Ketrien dengan dinginnya.
"Kalau namaku kepanjangan, cukup panggil Tejho saja ya ...," ucapnya, belum ingin melepaskan jabatan tangannya. Dengan tangan Ketrien, hingga Ketrien pun kesal dibuatnya.
"Raden Mas Tejho, perkenalannya sudah. Jadi tolong lepaskan tanganku ...," mendengar ucapan Ketrien itu, Tejho lalu melepaskan tangan Ketrien, lalu duduk di tempatnya semula.
"Papi harap, kalian akan semakin dekat. Satu sama lainnya, hingga kalian pun akan saling menyatu di masa depan nanti," ujar Rama, yang tak dimengerti oleh Ketrien sama sekali maksudnya.
"Maksud Papi apa? Ketrien enggak mengerti nih?" tanya Ketrien kepada ayahnya, dengan wajah yang dipenuhi oleh kebingungan.
"Maksud Papi, kalian itu cocok untuk menjadi sepasang kekasih," mendengar perkataan itu. Ketrien pun tampak terkejut bukan main.
"Maksud Papi, aku dan dirinya mau dijodohkan?" tanya Ketrien, sambil memegang keningnya dengan tangan kanannya. Seolah dirinya langsung pusing tujuh keliling mendengar perkataan dari ayahnya itu.
"Ya, maksud Papi dan Om Priyo juga begitu. Kamu mau kan?" ucap ayahnya Ketrien, berusaha untuk membujuk Ketrien. Yang ia kenal sebagai gadis yang keras kepala selama ini.
"Enggak! Ketrien sudah punya pilihan hati sendiri," jawab Ketrien dengan tegasnya. Menolak keinginan ayahnya itu.
"Tapi iya itu, anak sahabat Papi, dan keturunan darah biru ...," jelas Rama.
"Masih zaman darah biru, darah emas juga Ketrien tetap enggak mau dijodohkan oleh siapapun!" ucap Ketrien bertambah keras, menolak perjodohannya itu. Hingga Tejho pun ikut bicara.
"Ket, apa sih kurangnya diriku ini. Sampai kamu menolak aku?" ucap Tejho, dengan nada suara yang seakan sedang membaca puisi.
"Raden Mas Tejho, enggak ada kurangnya. Hanya, mungkin kita ini, enggak cocok kalau kita menjadi sepasang kekasih," timpal Ketrien, lalu berdiri bersiap untuk pergi.
"Kalau enggak dicoba, bagaimana kita akan tahu hasilnya," sahut Tejho, sambil ikut berdiri.
"Enggak perlu dicoba, intuisi ku mengatakan. Kita ini enggak cocok!" ujar Ketrien, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Tanpa pamit kepada kedua orang tuanya terlebih dahulu. Mungkin karena saking kesal dirinya, terhadap mereka. Yang ingin dijodohkan oleh lelaki klasik seperti itu.
Melihat Ketrien pergi, Tejho pun mengejarnya, dengan berlari kecil.
"Tunggu aku, Diajeng ...!" ucap Tejho, masih dengan nada suara yang seakan sedang membaca puisi.
"Dipikir aku ini pemain ludruk apa, dipanggil Diajeng!?" timpal Ketrien dengan ketusnya.
"Itu panggilan sayang, untuk kamu. Aku cinta sama kamu pada pandangan pertama...," tutur Tejho, lalu menghadang Ketrien yang telah tiba di halaman rumah itu.
"Prett ...! basi tahu !" ujar Ketrien, sambil menatap tajam ke arah Tejho.
"Percayalah, kepadaku ...!" ucap Tejho, semakin mendekati Ketrien, yang telah menghentikan langkahnya.
"Minggir ...!" kata Ketrien tegas, yang mulai melanjutkan langkahnya. Tetapi hal itu, malah dihalangi oleh Tejho. Dengan merentangkan kedua tangannya, seakan ia ingin memeluk Ketrien. Hingga membuat Ketrien marah besar, yang lalu menyengkat kaki Tejho, dengan kakinya. Sehingga Tejho pun terjatuh di halaman rumah itu. Yang membuat ayah dan ibu Ketrein menghampiri Tejho, yang terlihat dari kejauhan oleh sepasang mata mereka berdua.
"Dibilang minggir, masih saja keras kepala. Itulah akibatnya, maaf aku sedang sibuk. Aku enggak punya banyak waktu untuk bermain ludruk dengan dirimu!" ucap Ketrien, dengan ketusnya. Lalu meninggalkan Tejho sendirian, sebelum kedua orang tuanya menghampirinya. Ketrien dengan cepatnya, meninggalkan rumah itu. Dengan terlebih dahulu membuka pintu gerbang rumah itu. Tanpa menutupnya kembali.
"Dia memang perempuan yang hebat, berbeda sekali dengan perempuan-perempuan yang aku kenal selama ini. Yang lemah lembut dan penurut. Aku bertambah suka dengan perempuan pemberontak seperti itu," ucap Tejho, lalu bangkit dari jatuhnya, tepat setelah kedua orang tua Katrien tiba di hadapannya.
"Nak Tejho, tidak kenapa-kenapa?" tanya Rama dengan penuh kekhawatirannya. Takut anak dari sahabatnya itu terluka oleh ulah putri kesayangannya itu.
"Tidak, kenapa-kenapa ko, Om Ram," timpal Tejho denga lembutnya.
"Maafkan, Ketrien ya. Nak Tejho, dia memang seperti itu. Maklum anak metropolitan." kata Rama, lalu tersenyum kepada Tejho.
"Tidak apa-apa Om, saya malah suka dengan sikap dan sifatnya itu, Ketrien sungguh berbeda dengan gadis-gadis yang saya kenal selama ini," timpal Tejho, lalu tersenyum.
"Ya sudah, kalau begitu kita masuk ke dalam saja," Ajak Rama, mereka pun lalu masuk kembali ke dalam rumah besar itu.
★★★
Ketrien terus berjalan, semakin menjauhi rumahnya. Hingga ia pun tiba pada sebuah jalan raya, yang dilewati oleh jalur Transjakarta. Ia lalu menaiki tangga penyeberangan untuk menuju ke gate Transjakarta. Dengan pikiran yang melayang kemana-mana.
"Lebih baik, aku naik Busway saja. Untuk menghilangkan kegalauan hatiku ini. Lumayanlah mengelilingi Jakarta, untuk membunuh waktu ini," ucap Ketrien di dalam hatinya, lalu membelokan langkah kakinya. Untuk me'tap kartu e-money nya.
Ketrien lalu masuk ke ke dalam shelter Transjakarta. Hanya ada beberapa orang yang menunggu di dalam shelter itu. Hingga bus yang mereka tunggu pun datang juga.
Seusai menurunkan beberapa penumpang dari dalam bus itu, Ketrien dan beberapa orang yang menunggu lebih lama dari Ketrien pun masuk ke dalam bus itu. Yang telah penuh, hingga Ketrien pun harus berdiri di dekat pintu bus itu. Setelah para penumpang yang telah menunggu, telah masuk semua. Bus Transjakarta itu pun melaju di jalur khususnya, untuk menuju ke shelter selanjutnya, di dalam perjalanannya itu.
Sesudah berhenti di beberapa shelter, akhirnya Ketrien mendapat tempat duduk juga. Tetapi tanpa diduga, saat bus itu berjalan kembali. Dan saat matanya memandangi ke arah kerumunan penumpang yang ada di dalam shelter itu. Ia pun melihat sosok Zulian di antara kerumunan para penumpang itu. Inginnya Ketrien keluar untuk menghampirinya, namun itu tak mungkin. Karena bus Transjakarta itu telah berjalan cukup jauh. Tak mungkin ia menghentikan bus Transjakarta itu di luar shelternya.
"Apakah aku tidak salah lihat, lelaki yang aku lihat tadi adalah Zulian?" tanya Ketrien di dalam hatinya.
"Atau apakah itu hanya fatamorgana ku saja, yang sangat merindukan dirinya?" ucapnya meragu di dalam hatinya.
"Tapi kalaupun mungkin, yang aku lihat itu adalah sebuah kenyataan. Aku pasti akan mencarinya, dan hal itu akan menjadi lebih mudah. Karena jejaknya telah berada di Jakarta, pencarian ku akan lebih terfokus," ujar Ketrien, masih di dalam hatinya.
Ketrien lalu mengambil smartphonenya, yang ia simpan di dalam tas wanitanya. Dan langsung masuk ke dalam aplikasi onlinenya, langsung sibuk dengan dunia maya nya. Tanpa mempedulikan kehadiran siapa pun di dalam bus Transjakarta, yang semakin lama semakin terisi penuh oleh para penumpang baru.