4. Slow but Sure

2107 Kata
Arsene : [Olivia, apa kau sedang beristirahat?] Arsene : [Kebetulan aku berada tidak jauh dari lokasi agensimu. Apa kau keberatan bila aku mengajakmu makan siang?] Olivia : [Hai. Saat ini aku sedang santai. Tentu saja aku tidak keberatan] Arsene : [Kalau begitu, bersiaplah. Mungkin lima menit lagi aku sampai di lokasi] Olivia : [Ok. Aku akan menunggumu di lobby] Arsene tersenyum memerhatikan deretan pesan singkat yang baru saja ia kirim. Tepat terakhir pertemuan antara dirinya dan Olivia, ia berhasil mendapatkan nomor ponsel wanita cantik tersebut dengan mudah. "Terima kasih, Arsene. Kau sudah mau repot-repot mengantarkanku sampai apartemen." Olivia berucap seraya melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Setelah terlepas sempurna, wanita itu meraih shopper bag miliknya yang berada di kursi belakang. "Sama-sama. Tidak perlu sungkan Olivia. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya seorang gentleman lakukan." Olivia tertawa. Merasa geli dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian Arsene. "Kenapa malah tertawa? Apa ada yang lucu?" Buru-buru Olivia menggeleng. Senyum manis masih terukir indah di wajahnya. "Tidak. Aku hanya membayangkan, sudah berapa wanita yang kau rayu dengan sikap manis seperti ini." Kening Arsene berkerut dalam. Mengarahkan telunjuknya, pria itu dengan serta merta menunjuk wajahnya sendiri. "Aku merayu banyak wanita? Ya ampun, Olivia. Aku bukan pria yang suka mengumbar kata-kata manis ke seluruh wanita yang ku kenal," ucapnya seraya tersenyum jenaka. "Oh, ya?" Wajah Olivia menunjukkan ekspresi seolah sangsi. Manik birunya bergerak-gerak, mencari sela kebohongan yang mungkin terselip di sepasang manik biru milik Arsene. "Apa yang sedang kau lihat, Olivia? Kau meragukan ucapanku?" tegur Arsene ketika sadar kalau Olivia tengah serius memperhatikan wajahnya. "Aku hanya ingin memastikan apakah kau serius atau membual." Senyum masih terkembang di wajah tampan Arsene. Pria itu memutar posisi duduknya agar berhadapan langsung dengan Olivia. Ketika sudah nyaman, ia lantas berkata-kata lagi. Memang perlu mengklarifikasi hal yang satu ini. "Kalau kau suka menonton televisi atau acara gosip, pasti yang selalu muncul di pemberitaan media adalah Sebastian Edwardo Cullen bukan Arsene Tobias Geraldo." Sambil terkekeh pelan, Olivia mengamini perkataan pria di sebelahnya. Yang Arsene ucapkan memang benar. Selama ini yang sering menjadi pemberitaan panas adalah kehidupan Edward yang glamor dan suka bergonta ganti pasangan. Sementara Arsene, lebih banyak diberitakan dalam urusan bisnis dan segala pencapaian yang ia dapat. "Sepertinya aku memang harus percaya padamu." Mendengar itu, Arsene kembali tertawa pelan. Hingga tak lama setelahnya Olivia pamit untuk keluar dari mobil. "Sekali lagi terima kasih atas kebaikan hatimu sudah mengantarkan aku pulang. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu." Arsene mengangguk setuju. "Tentu saja. Tapi omong-omong, kalau lain waktu aku mengajakmu makan siang atau makan malam bersama, apa kau bersedia?" "Sure. Why, not?" jawab Olivia tanpa ragu. Lagi pula, menurutnya Arsene sosok yang baik dan juga sopan. Tidak ada alasan untuk menolak ajakan pria itu. "Baiklah. Kalau ada waktu senggang aku akan menghubungi dan mentraktirmu makan." Mendengar ucapan Arsene yang satu ini, mata Olivia langsung menyipit. "Apakah ini semacam modus meminta nomor ponsel?" Malu-malu pria itu mengangguk. "Jika kau tidak keberatan." Olivia lantas merogoh dompetnya dari dalam tas yang ia bawa. Mengeluarkan selembar kartu nama lalu menyodorkannya pada Arsene. "Ini kartu nama beserta nomor ponselku. Silakan catat dan simpan dengan baik. Kau boleh kapan saja menghubungiku." Sejak malam itu, Arsene sesekali menghubungi Olivia walau sekedar menyapa wanita itu via pesan singkat. Dan baru hari ini juga ia berani secara langsung mengajak untuk pergi makan siang bersama. Pikir Arsene, ia harus se-natural mungkin mendekati Olivia. Pelan-pelan menarik perhatian, menciptakan kesan nyaman serta mendalam yang membuat wanita itu tidak akan lupa dengan apa yang ia perbuat. "Hai, maaf kalau aku membuatmu menunggu." Menurunkan sedikit kaca mobil, Arsene langsung menyapa Olivia. Wanita itu tampak sekali menunggunya secara langsung tepat di depan lobby gedung agensi. "It's, Ok." Olivia lantas masuk kemudian duduk dengan tenang di samping Arsene. Membiarkan pria itu membawanya pergi menuju ke sebuah restoran untuk menyantap makan siang bersama. "Aku tidak menyangka kau benar-benar mengajakku untuk makan siang bersama," tegur Olivia ketika keduanya sudah sampai dan sedang memilih menu makanan untuk disantap. Arsene menoleh. Pria itu menyunggingkan senyum. "Kau pikir sebelumnya aku hanya basa-basi?" Olivia mengedikkan kedua bahunya. "Sudah ku katakan, siapa tahu saja kau hanya modus karena ingin meminta nomor ponselku." Arsene tersenyum lagi. Entah sudah tidak terhitung berapa senyuman yang ia berikan demi terlihat manis di depan Olivia. "Tapi buktinya aku tidak seperti itu, kan? Sudah ku katakan juga, aku tidak memiliki bakat menjadi seorang playboy, Olivia." "Oke ... oke ... " Olivia terkikik geli melihat ekspresi Arsene. "Mulai saat ini, aku akan belajar untuk mempercayai kalau kau bukan seorang playboy seperti Edward." Keduanya setelah itu sama-sama tertawa. Larut dalam perbincangan. Saling bertukar cerita sembari menikmati makan siang yang sudah mereka pesan. Perlu Olivia akui, Arsene memang sosok yang asyik ketika diajak bercerita. Berwawasan luas. Bahkan mengerti hampir semua topik yang Olivia kemukakan. Ada sedikit rasa takjub menggelayuti hatinya. "Setelah ini kau mau ku antar kembali ke tempat kerja atau langsung pulang ke apartemen?" tanya Arsene saat keduanya sudah selesai menikmati makan siang. Olivia melirik jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul satu siang. Itu artinya ia memang harus kembali ke gedung agensi untuk melanjutkan pekerjan. "Aku masih ada satu kali lagi sesi pemotretan. Hari ini aku berkolaborasi dengan Tita, kekasih sahabatmu," ungkapnya. "Kalau begitu, aku akan antarkan kau sekarang juga biar tidak terlambat." Olivia tidak menolak. Memilih bangkit dari duduk kemudian mengekori langkah Arsene menuju areal parkir restoran. Menuruni anak tangga menuju mobil, Olivia yang berjalan sedikit tergesa tiba-tiba saja terpeleset. Beruntung Arsene yang berada tepat dibelakangnya langsung sigap menahan tubuh wanita itu agar tidak tersungkur jatuh. "Olivia, kau baik-baik saja?" Arsene berseru seraya memegangi tubuh Olivia. "Aku baik-baik saja," jawab wanita itu begitu yakin. Namun, saat hendak kembali melangkah, Olivia refleks memekik. Ada rasa sakit teramat yang melajari kaki sebelah kanannya. "Olivia, are you ok?" Olivia meringis. Raut wajahnya tampak seperti orang yang tengah menahan sakit. Entah apalagi yang sedang terjadi pada wanita itu. "Entahlah. Kakiku terasa nyeri sekal," ungkapnya seraya meringis. Arsene tanpa banyak bicara langsung menunduk turun. Meraih kaki kanan Olivia seolah memeriksa sesuatu di sana. "Kakimu terlihat memerah. Apa kau sama sekali tidak bisa melangkah?" Pelan Olivia mengangkat kaki kanannya. Berusaha untuk mengecek apakah memungkinkan untuk ia kembali melangkah. Paling tidak menuju mobil Arsene yang mungkin hanya berjarak kurang dari 50 meter dari tempatnya berdiri. "Aukh!" Sekali lagi Olivia memekik. Rasa nyeri yang menyerang kakinya benar-benar tidak bisa di toleransi. "Sepertinya kakiku terkilir." Melihat wanita di sebelahnya mengeluh kesakitan, tanpa permisi tanpa meminta izin lagi, Arsene meraih tubuh Olivia. Detik kemudian menggendongnya dengan hati-hati menuju mobil. Tentu saja apa yang Arsene lakukan ini membuat Olivia terkesiap. Ia benar-benar tidak pernah membayangkan kalau Arsene sampai sebegitu perhatian kepada dirinya. "Kau harusnya tidak perlu repot-repot menggendongku," tegur Olivia saat ia sudah duduk dengan tenang di sebelah kursi kemudi. "Mana mungkin bisa aku membiarkanmu berjalan sendiri, sementara kakimu tengah sakit seperti sekarang," kata Arsene dengan nada terdengar cemas. "Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit demi memastikan apakah sakitnya parah atau tidak." Sedang Olivia menggeleng. Ia menolak tawaran Araene kali ini untuk membawanya ke rumah sakit. Lagi pula, Olivia berkeyakinan kalau kakinya bisa sembuh sendiri tanpa harus ditangani dokter segala macam. "Tidak perlu. Antarkan saja aku ke apartemen. Aku hanya butuh istirahat." Arsene bergeming sejenak. Tampak menimbang apakah harus menuruti ucapan Olivia atau tetap bersikeras membawa wanita itu menuju rumah sakit. "Aku baik-baik saja," tegas Olivia sekali lagi ketika melihat ekspresi Arsene yang tengah bimbang. "Kau tidak perlu terlalu cemas." Arsene pada akhirnya mengangguk, kemudian menuruti permintaan Olivia. Walau perasaan ragu ada, tetap saja ia tidak bisa memaksakan kehendakannya pada wanita tersebut. "Baiklah, kalau begitu aku antarkan kau pulang sekarang juga." Kemudian Arsene membantu Olivia memasangkan sabuk pengaman. Menarik pengait kemudian melingkarkannya dengan hati-hati ke tubuh wanita itu. Berada pada jarak begitu dekat dengan Arsene membuat Olivia merasa sesak napas. Belum lagi aroma citrus woody dari parfum yang Arsene kenakan menguar tajam mengusik indra penciuman. Rasa-rasanya, ia ingin bersandar pada tubuh Arsene demi menghirup dalam-dalam aroma parfum tersebut. Kenapa pria ini wangi sekali, batinnya. Sementara Arsene fokus mengemudi, sesekali Oliva tampak mengusap dadaa. Berusaha merayu detak jantungnya yang sempat menggila agar kembali berdetak dengan normal. Tapi sayang, jantung itu seakan menolak untuk diajak kerja sama. Tetap saja berdetak dengan kencang hingga membuat Olivia kewalahan. Wahai jantung, bekerja-samalah. Kalau begini terus, bisa-bisa aku mati mendadak olehmu. *** Selepas mengantar Olivia pulang, Arsene memang tidak langsung kembali ke kantor. Pria itu memutar kemudi untuk menemui para sahabatnya yang tengah berkumpul di salah satu cafe yang berada di tengah kota London. Sudah menjadi agenda rutin kesemuanya. Setiap menjelang akhir pekan, mereka pasti akan berkumpul sebentar walau hanya sekedar menyantap makan siang atau makan malam bersama. "Maaf aku sedikit terlambat." Ketiga pria yang tengah berbincang spontan menoleh bersamaan. Edward bahkan langsung menepuk permukaan sofa yang ia duduki, meminta Arsene untuk segera bergabung duduk di sebelahnya. "Tidak juga. Kami bahkan baru saja sampai di sini," balas Richard sambil menyesap caramel frappuccino di depannya. "Kalian sedang membahas apa? Dari depan kulihat begitu asyik sekali?" tanya Arsene ingin tahu. Ia ikut menyeruput Raspberry Blackcurrent yang sudah Edward pesankan untuknya. Sahabatnya itu memang hapal sekali minuman atau makanan apa yang paling ia suka. "Kami sedang membahas soal valentine," jawab Kenzie. "Valentine?" ulang Arsene seraya menoleh ke arah pria berwajah oriental tersebut. "Bukannya itu masih lama?" "Ya, masih satu bulan lagi." Kenzie kembali membalas. "Hanya saja, kami sedang berdiskusi kado apa yang menarik untuk diberikan kepada masing-masing pasangan. Seperti kau tau juga, Tita dan Claire sudah banyak memiliki barang mewah. Itu sebabnya, kami ingin memberikan sesuatu yang tidak biasa." Arsene mengangguk paham. Kali ini pandangan pria itu beralih pada sosok Edward yang sedari tadi duduk tenang di sebelahnya. "Kau sendiri, siapa wanita kali ini yang akan kau ajak berkencan di luar negeri?" selidik Arsene. "Bukannya kelakuanmu selalu sama. Selalu membawa teman kencanmu untuk pergi berlibur bersama, hmmm?" "Edward tidak akan berlibur kali ini," sela Richard seolah paling tahu. "Oh, ya? Lalu apa yang akan playboy satu ini lakukan?" "Edward ingin melamar seseorang." Mendengar jawaban Richard, Arsene langsung terkesiap. Ia tidak tahu menahu kabar yang satu ini. Seingatnya, pria itu tidak ingin berkomitmen atau menjalin hubungan sampai ke jenjang yang serius sebelum umurnya genap menginjak 30 tahun. Lalu, siapa wanita yang berhasil merubah pemikiran seorang Edward Cullen? "Kau ingin melamar kekasihmu? Siapa?" Ekspresi Arsene kentara sekali seperti orang yang kebingungan. "Ini tidak serius, kan?" Di tanya demikian, Edward hanya tersenyum miring. Pria itu tidak sedikit pun menampik apa yang sahabatnya katakan. Tanpa ragu dan penuh antusiasia menceritakan keinginannya. "Aku ingin melamar Olivia Adelaide tepat di hari valentine bulan depan." Arsene langsung menarik wajahnya dalam. "Hah? Olivia Adelaide? Apa kau benar-benar yakin?" Edward mengangguk-angguk sebagai jawaban. Yang mana ekspresinya ini membuat Arsene kembali melayangkan pertanyaan. "Oh, ayolah, Edward. Kau bahkan baru mengenalnya. Kau yakin wanita itu memiliki perasaan yang sama denganmu?" Edward kembali tersenyum. Ia sadar kalau sahabatnya itu pasti menyangsikan kabar ini. "Dari banyaknya wanita yang dekat dan bekencan denganku, entah kenapa aku merasa Olivia yang paling pas dengan kepribadianku." "Ck! Semua wanita pun kau katakan demikian, Ed," delik Richard tidak terima dengan ucapan sahabatnya yang terkesan membual. "Aku serius, Richard Delano. Kali ini aku benar-benar serius. Olivia benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita lainnya. Ia begitu istimewa. Banyak kesamaan antara kami berdua yang membuatku merasa nyaman dan tidak ingin jauh darinya. Semacam kau bertemu belahan jiwa yang selama ini terpisah lama," ungkapnya panjang lebar. "Dasar hiperbola. Kau sungguh berlebihan, Edward Cullen." Lagi, Richard mencibir sahabatnya itu. "Jadi kau benar-benar ingin melamar Olivia? Maksudku apa kau yakin kalau wanita itu memiliki perasaan yang sama denganmu?" Arsene kembali melanjutkan pertanyaannya yang sempat tertunda. "Aku bersungguh-sungguh untuk hal ini," jawab Edward cepat. "Aku juga merasa kalau Olivia memiliki perasaan yang sama denganku." Merasakan ekspresi sangsi yang tidak sedikit pun pudar dari wajah Arsene, Edward langsung mengulurkan tangan. Menepuk lembut pundak pria di sebelahnya sambil merapalkan kata-kata yang mungkin mampu menghilangkan rasa cemas yang timbul. "Tidak perlu khawatir. Doakan saja niat baikku ini bisa terlaksana sesuai dengan apa yang aku harapkan." Arsene mengangguk pelan. Pria itu tanpa canggung menghambur pelukan ke arah sahabatnya itu. "Ya, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Ed." "Aku bahkan mendoakan agar kau mampu bertemu dengan wanita yang benar-benar pas dan baik untukmu. Bukan anak pembunuh seperti Olivia. Itu sebabnya, aku harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat,"batin Arsene. Selepas mengurai pelukan, mereka melanjutkan obrolan. Sementara Arsene tampak banyak diam. Ada banyak rencana yang kini tengah ia pikirkan. Targetnya untuk saat ini hanya satu, sebisa mungkin menarik perhatian Olivia agar bisa menjauh dari Edward. Ia tentu saja tidak rela kalau wanita itu sampai benar-benar menjalin hubungan serius dengan pria yang sudah ia anggap saudara sendiri. Tidak akan pernah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN