Penyuka Blackcurrant dan Red Velvet.
Penggila salad sayur serta masakan Asia.
Menyukai olahraga menyelam dan bersepeda.
Tidak suka tidur larut malam.
Menyukai pria romantis, perhatian, dan penuh kejutan.
Tidak suka menunggu lama.
Paling benci diabaikan.
.
Arsene kembali membaca satu persatu rangkuman dari hasil penyelidikan Mario beberapa waktu yang lalu. Berusaha mengingat, menanamkannya baik-baik di dalam otak dan pikirannya, apa yang disuka dan tidak suka dari sosok seorang Olivia Walters Adelaide.
Bukan tanpa alasan Arsene repot-repot melakukan ini semua. Ia hanya ingin terlihat sempurna, hingga mampu menarik serta meluluhkan hati Olivia sebelum Edward mendahuluinya. Arsene sudah bertekad, ia tidak akan membiarkan sahabatnya itu menjalin hubungan dengan Olivia.
"Saya rasa ... " gumam Mario. "Momen Anda menggendong Olivia di areal parkir restoran kemarin pastilah mampu menarik sedikit perhatian Olivia. Wanita di seluruh dunia juga sama, Mister. Suka sekali yang namanya diperhatikan apalagi di manja oleh kaum pria. Klise, tapi benar-benar ampuh."
Arsene menyetujui ucapan asistennya tersebut. Menyandarkan bahunya pada kursi, pandangan pria itu belum sedikit pun beralih dari lembaran kertas yang tengah ia pegang.
"Aku juga berkeyakinan yang sama, Mario. Olivia pasti mulai memperhitungkan keberadaanku. Itu sebabnya, aku harus bergerak cepat. Deadline-ku harus berhasil sebelum Valentine tiba."
"Jadi bagaimana?" tanya Mario. "Apa Mister hari ini jadi menjenguk wanita itu di apartemennya?"
Arsene mengangguk yakin. Sebagai seorang gentleman, ia memang harus menunjukkan sikap perhatian kepada wanita incarannya. Lebih-lebih, Olivia tengah sakit sekarang.
"Tentu saja. Tolong kau pesankan aku satu bucket bunga mawar merah. Sepulang kerja, aku akan membuat kejutan dengan menjenguk Olivia secara tiba-tiba."
"Baik, Mister," sahut Mario cepat.
Ada jeda sejenak sebelum Arsene berkata-kata lagi. Merotasi matanya, pria itu nampak berpikir. Seperti ada yang kurang, sebelum akhirnya ia teringat sesuatu.
"Ah, tolong selain bunga mawar, kau siapkan juga satu box red velvet premium. Mungkin kedua barang ini bisa membuat Olivia semakin terkesan padaku."
Mendengar perintah tersebut, Mario mengangguk kemudian buru-buru menyahut. Apa yang Arsene ucapkan adalah titah yang wajib segera ia kerjakan.
"Akan saya siapkan semuanya. Saya akan carikan bunga mawar dan red velvet terbaik untuk Anda bawa malam ini."
Maka di sore hari setelah pekerjaannya selesai, buru-buru Arsene melangkah dari ruangannya menuju lobby. Ketika keluar dari lift, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Kimora yang saat itu juga bersiap untuk pulang.
"Arsene," panggil Kimora.
Yang dipanggil namanya langsung menoleh. Melempar senyum ramah, lantas berjalan menghampiri.
"Pekerjaanmu sudah selesai?"
Kimora mengangguk pelan.
"Tentu saja. Itu sebabnya aku sekarang bersiap-siap untuk pulang."
"Mau pulang bersamaku?" tawar Arsene.
Sebenarnya, mereka berdua tinggal serumah di kediaman Arsene. Hanya saja, setiap pagi kesemuaan orang berangkat dengan mobilnya masing-masing. Kadang Kimora bersama Olvier, kadang kala mereka pergi dengan diantar oleh supir. Sedang Arsene sendiri selama ini selalu membawa mobilnya sendiri. Entah kenapa, ia merasa lebih leluasa ketimbang harus bersama supir yang mengantarkan.
"Tidak, kalau aku ikut denganmu, bagaimana dengan supir?" tolak Kimora dengan halus. Pada dasarnya, ia memang tidak begitu suka merepotkan orang lain. Dari kecil, sang ayah mengajarkannya untuk mandiri dan tidak sedikit pun bergantung pada orang lain.
"Tapi mereka belum menjemputmu, kan?"
Kimora kali ini menggeleng. Kemudian mengedarkan pandangan seolah memastikan apakah supir yang biasa mengantar jemputnya sudah tiba atau belum di lobby.
"Mungkin sebentar lagi."
"Kalau begitu ikut denganku saja. Aku paling tidak suka melihat wanita harus repot-repot menunggu," ucap Arsene sambil merangkul pundak Kimora. Membawa wanita itu untuk melangkah segera menuju mobilnya. Dengan baik hati juga, pria itu membantu untuk membukakan pintu lalu mempersilakan wanita cantik tersebut untuk masuk.
Sepanjang perjalanan pulang, Kimora sesekali mengamati pria yang fokus mengemudi di sebelahnya. Sebagai wanita normal, ia tahu bagaimana sosok Arsene yang rupawan. Berkulit putih. Memiliki postur tubuh tinggi menjulang. Dadaa yang bidang, punggung tegap dan lebar, bibirnya tipis kemerahan layaknya wanita yang memakai lipstick karena Arsene bukanlah seorang perokok. Belum lagi sepasang manik biru yang tajam dan dingin, menambah kadar ketampanan pria itu.
Tidak hanya tampan dan memesona, Arsene juga seorang pria yang baik dan penuh perhatian. Bertahun-tahun tinggal bersama, pria itu tidak pernah sekali pun membuat Kimora kesal. Bahkan selalu berusaha untuk menjaga serta melindunginya.
"Kita sudah sampai," tegur Arsene saat mobilnya sudah terparkir dengan baik tepat di pelataran rumah mereka. "Kimora," panggil Arsene sekali lagi saat wanita di sebelahnya tidak menyahut.
"Ah, I-iya," jawab Kimora tergugu begitu tersadar dari lamunan. Buru-buru wanita itu meraih shopper bag miliknya, kemudian turun bersamaan dengan Arsene.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa sampai hilang fokus seperti itu?" tanya Arsene sambil melangkah masuk ke rumah.
"Tidak ada," jawab Kimora menggeleng. "Tidak ada yang penting lebih tepatnya." Ketika sudah berada di dalam rumah, Kimora menghentikan langkah. Menoleh ke arah Arsene, ia lantas berkata-kata lagi. "Kau ingin makan malam apa hari ini? Mau ku siapkan sesuatu?"
Arsene menggeleng. Ia ingat kalau malam ini harus menjenguk Olivia di apartemennya.
"Sepertinya malam ini aku tidak bisa ikut makan malam bersama kalian. Setelah berganti baju, aku harus menemui seseorang."
Mengangguk paham, Kimora menyahut pelan.
"Begitu rupanya. Yang penting kau tidak melewatkan makan malammu."
"Tentu saja Tuan Putri," jawab Arsene sambil mencubit gemas pipi Kimora. "Terima kasih sudah mengingatkan. Aku tidak akan lupa. Jadi kau tidak perlu khawatir," tambahnya seraya tersenyum sambil mengacak-acak rambut Kimora. Detik kemudian pria itu melanjutkan langkah menuju kamar, meninggalkan Kimora yang juga berbelok menuju ruangannya.
Selepas membersihkan diri dan mempersiapkan segala keperluan, Arsene langsung memacu mobilnya menuju apartemen Olivia. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengambil langkah besar kemudian mengetuk pintu apartemen wanita itu sampai akhirnya seseorang datang membukakan.
"Selama malam," sapa Arsene dengan tersenyum.
"Arsene ... astaga, sedang apa kau di sini?" tanya Olivia dengan nada terkejut. Tidak ada kabar apalagi basa-basi, tahu-tahu pria itu sudah berada di depan pintu kediamannya. Tentu saja hal ini membuat Olivia benar-benar terperanjat.
"Aku datang untuk menjengukmu. Aku ingin memastikan sendiri apakah kondisimu sudah membaik atau masih sakit seperti kemarin," ungkap pria itu.
"Ya Tuhan." Sekali lagi Olivia berseru. "Kalau begitu silakan masuk."
Belum lagi hilang kesiap yang muncul di wajah Olivia, Arsene kembali membuatnya terperangah. Lebih-lebih saat pria itu menyerahkan barang-barang yang sudah ia bawa.
"Aku tidak tahu kesukaanmu. Yang pasti aku tulus memberikan bunga mawar dan red velvet cake ini untukmu," bual pria itu. Sedang ia saja sampai menyuruh Mario untuk menyelidiki apa yang Olivia suka dan tidak suka demi menarik perhatian wanita itu.
Terbukti, Olivia tidak bisa lagi berkata-kata. Sikap manis yang Arsene tunjukkan membuatnya semakin berpikir kalau pria itu memiliki nilai lebih di matanya.
"Sungguh, kau tidak perlu repot-repot untuk membawakanku barang seperti ini," cicit Olivia ketika keduanya sudah sama-sama duduk di sofa tamu. Mereka berbincang dengan santai sambil menikmati red velvet yang Arsene bawa. "Dan lagi, asal tahu, semua barang yang kau bawakan hari ini adalah kesukaanku. Demi Tuhan, aku tidak berbohong. Apa kau cenayang? Bisa-bisanya tahu apa yang ku suka?"
Arsene tersenyum puas. Paling tidak, rencana keduanya untuk menarik perhatian Olivia dipastika sudah berhasil. Sambil menyuap kue ke mulutnya, pria itu kembali menanggapi ucapan Olivia.
"Aku memang seorang pengamat yang baik. Aku juga cukup lega dan bersyukur kalau kau suka. Di lain waktu, aku akan membawakannya lagi untukmu."
Buru-buru Olivia menggelengkan kepala. Merasa tidak enak dengan pria di sebelahnya.
"Jangan berlebihan. Kau tidak perlu repot-repot, Arsene."
Kening Arsene langsung berkerut. "Kenapa tidak? Lagi pula, tidak ada ruginya memberikan bunga dan kue untuk wanita secantik dirimu, Olivia."
Olivia berdecak. Bahkan turut salah tingkah. Wajahnya sampai bersemu merah karena merasa tersanjung dengan sikap manis yang Arsene tunjukkan.
"Dasar gombal."
"Aku bersungguh-sungguh, Olivia. Kenapa sulit sekali kau mempercayaiku?"
Olivia kembali berdecak lalu memasang ekspresi tampak geli. "Iya, aku percaya kalau kau bukan playboy seperti Edward."
"Exactly. Tolong bedakan kami berdua," ucap Arsene seraya tertawa. "Tapi omong-omong, selama kau beristirahat, bagaimana pekerjaanmu? Apa pihak agensimu tidak protes? Karena seingatku, kemarin bukannya kau harus menjalani sesi foto?"
Olivia menggeleng.
"Berita baiknya, mereka paham dengan kondisiku. Aku diminta untuk beristirahat penuh sampai benar-benar bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Jadi pemotretan kemarin ditunda dan akan lanjut kemungkinan minggu depan."
"Syukurlah." Arsene mengembuskan napas lega. "Dan selama beristirahat, apa ada yang menjengukmu selain aku?" tanya Arsene hati-hati. Manik birunya tampak tidak sedikit pun bergeser menatap lembut ke arah Olivia.
"Tidak ada. Hanya kau saja yang baru menjengukku. Lagi pula, aku tidak suka bercerita ke banyak orang mengenai kondisiku. Aku bukan tipe wanita yang suka berbagi kesedihan."
Arsene mengangguk paham. Seringai tampak terulas tipis di wajahnya yang tampan. Itu artinya, Edward sekali pun tidak tahu bagaimana kondisi Olivia sekarang. Hal ini tentu saja memberikannya keuntungan. Yang mana bisa semakin mudah untuk menarik perhatian serta meluluhkan hati Olivia sesegera mungkin sebelum Edward datang dan melamarnya.
***
Seorang wanita tampak berjalan dengan langkah pasti menuju ruang kerja yang ada di salah satu perumahan elit di distrik Kensington, London. Mengetuk sebanyak dua kali, ia langsung memutar tuas pintu dan tanpa ragu melangkah masuk mendekati si empunya ruangan yang tengah duduk menunggu sembari membaca buku di tangannya.
"Papa memanggilku?"
Pria itu mendongak. Menutup bukunya, ia langsung menyahut, "Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan denganmu."
Suara itu terdengar begitu tenang, tapi terasa sangat mendominasi. Mendebarkan jantung. Menciptakan sedikit hawa mencekam, seolah pasokan udara di ruangan tersebut tiba-tiba menipis membuat napas menjadi terengah.
Oliver Gamaliel Smith memiliki wajah tampan di usianya yang tidak lagi muda. Postur tubuh yang tegap dan besar. Rahang tegas lengkap dengan sepasang mata biru yang tajam layaknya elang. Membuat siapa pun mangsanya pasti langsung begidik takut bila berhadapan terlalu lama dengannya.
Kata ambisius mungkin cocok disematkan pada pria yang sudah tidak muda tersebut. Bagaimana sepak terjangnya selama ini dalam membangun bisnis. Lebih-lebih caranya mendidik Arsene hingga mampu bangkit dan bersinar seperti sekarang. Itu semua tidak luput dari tangan dingin seorang Olivier.
"Apa ini soal pekerjaan?" tebak Kimora yang sudah mengambil posisi duduk tepat di sebelah ayahnya tersebut.
"Bukan," sahutnya sembari melepas kacamata baca yang bertengger di wajahnya. "Ini soal Arsene."
Kedua belah alis Kimora nyaris bertaut. Ada perkara apalagi sampai-sampai ayahnya itu memanggil lalu sekarang mengajaknya untuk berdiskusi soalan Arsene. Apakah ada sesuatu kesalahan yang tengah pria itu perbuat.
"Ada apa dengan Arsene?" tanya Kimora penuh ingin tahu.
"Apa kau tahu saat ini Arsene tengah berusaha untuk mendekati Olivia, anak dari Raymond Adelaide?"
Kimora terperanjat lalu buru-buru ia menggeleng.
"Aku tidak tahu apa-apa soal ini. Lagi pula, itu tidak masuk dalam ranah urusanku, Pa. Jadi, sudah selayaknya aku tidak ikut campur."
Oliver mengangguk sembari tersenyum. Ia merasa bangga atas didikannya yang berhasil pada Kimora. Mengajarkan wanita itu mandiri. Menghargai dan tidak perlu ikut campur dalam urusan orang lain. Dan yang terpenting, ia menanamkan pada diri putrinya tersebut untuk berusaha semaksimal mungkin dalam meraih apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya. Sedikit ambisius memang. Tapi kalau kita tidak kuat, sudah pasti akan jadi posisi yang tertindas.
"Untuk yang satu ini, kau tetap harus tahu. Karena pada akhirnya, kaulah yang akan menikah dengan Arsene," ucap Oliver dengan dingin. Semua ekspresi sang putri tidak sedikit pun luput dari pandangannya.
Sementara Kimora sendiri hanya bergeming. Memilih untuk diam sejenak sembari bepikir. Bertahun-tahun tinggal bersama Arsene membuatnya benar-benar jatuh hati pada pria itu. Belum lagi sikap Arsene yang lembut dan begitu perhatian, membuatnya semakin terlena.
Mendengar berita yang baru saja ayahnya sampaikan entah kenapa membuat Kimora sedikit tidak rela. Ya, wanita mana pun pasti tidak rela bila orang yang dicintainya dekat dengan wanita lain.
"Lalu apa yang aku harus lakukan setelah ini? Aku yakin Arsene mendekati Olivia karena tujuan tertentu. Bukan serius untuk menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih."
Oliver dengan serta merta mengangguk. Membenarkan apa yang putrinya ucapkan.
"Kau benar, Nak. Arsene memang mendekati Olivia dengan tujuan ingin membalas dendam kepada Raymond, ayahnya. Tapi seperti yang Papa katakan sebelumnya, kau tetap harus memperhatikan Arsene. Jangan sampai pada akhirnya dia malah jatuh cinta sungguhan pada wanita itu."
"Tidak mungkin." Kimora menggeleng. "Aku kenal siapa Arsene, Pa. Ia tidak mungkin jatuh cinta pada target balas dendamnya," ucap Kimora penuh yakin.
"Papa harap demikian. Yang pasti, setelah semua rencananya terlaksana. Kau harus bersiap-siap untuk menikah dengan Arsene. Karena Papa tahu dari dulu kau sudah mencintainya. Papa juga akan melakukan apa saja untuk menjaga serta melindungi keluarga ini."
Kimora memejamkan mata dramatis. Mencerna baik-baik apa yang ayahnya titahkan. Kalau dirinya memang ingin Arsene menjadi miliknya, ia memang harus mengawasi gerak gerik pria itu agar tidak terlampau jauh berhubungan apalagi sampai benar-benar jatuh cinta dengan Olivia. Tidak, Kimora tidak akan membiarkan itu semua terjadi.