3. Cappuccino Latte

2106 Kata
Arsene duduk termenung. Tatapannya lurus, memperhatikan jejeran gedung-gedung pencakar langit dari balik kaca ruang kerjanya. Samar, terlihat ia tersenyum. Bukan tanpa sebab. Seperti ada percikan rasa senang yang tengah menjalari hatinya yang sudah lama kosong. Ini semua terjadi atas sebab pertemuannya kemarin dengan sosok wanita yang Edward bawa dalam pesta perayaan ulang tahunnya. "Jadi, selama ini, Olivia menetap di Jerman?" tanya Arsene sambil menyantap makan malam yang sudah terhidang di meja. Mendengarkan Edward yang terus mengoceh soal pasangan yang ia bawa, membuat Arsene ikut penasaran. "Iya ... " Wanita bernama Olivia itu mengangguk. "Dari kecil, aku memang tinggal di Jerman. Baru setahun belakangan pindah dan akhirnya memutuskan untuk menetap di London," jelasnya kemudian seraya menyesap wine pemberian Edward. "Omong-omong, dengan siapa kau tinggal di sini? Apakah sendiri atau mungkin bersama keluarga?" Lagi, Arsene melayangkan pertanyaan. Ia begitu antusias dengan apa pun yang Olivia ceritakan. Tidak sedikit pun perhatiannya beralih. Seolah sudah terpaku pada wanita cantik yang sedang duduk di sebelah sahabatnya itu. "Saat ini aku hanya tinggal sendiri. Kedua orang tua dan saudariku berada di Jerman. Tapi dalam waktu dekat, mereka juga akan menyusul untuk pindah ke London." "Pasti tidak mudah tinggal sendiri di kota yang baru saja kau tempati." "Ya ... " Olivia mengangguk setuju. "Pada awalnya, aku merasa kesulitan. Tapi tidak masalah. Jujur, aku bahagia bisa tinggal sendiri di London. Di sini, aku bebas melakukan pekerjaan dan seluruh hobiku tanpa ada yang menganggu." Sekali lagi, dalam diam Arsene tersenyum. Bukan senyum senang karena bertemu wanita cantik. Tapi senyum senang seolah bahagia karena target yang selama ini ia cari muncul dengan sendirinya. "Mr Arsene, saya membawakan apa yang Anda minta." Dari balik pintu ruangan. Terdengar ketukan pintu disertai masuknya seorang pria yang begitu Arsene kenal. Melangkah pelan, berjalan mendekati di mana pria itu tengah duduk. "Informasi apa saja yang sudah kau dapat, Mario? Tolong tunjukkan padaku," balas Arsene. "Semuanya saya rangkum dalam satu dokumen. Mohon maaf sebelumnya, mungkin masih ada beberapa informasi yang kurang. Tapi saya janji, akan mencarikan sisanya untuk Anda." Arsene mengangguk lalu meraih map berwarna hitam yang disodorkan kepadanya. Mulai membaca dengan seksama. Menelisik segala informasi yang mungkin memang ia perlukan. "Olivia Walters Adelaide. Anak pertama pasangan Raymond Adelaide dan Anna Maria Adelaide." Arsene membaca apa yang tertulis di sana. Pria itu melirik, menatap wajah asistennya dalam-dalam. "Itu artinya, wanita ini memang benar orang yang aku cari." "Bisa dipastikan seperti itu Mister," sahut Mario. "Dari semua laman sosial media. Biodata yang tertera di web agensi serta foto-foto yang beredar, bisa dipastikan wanita ini memang putri dari Raymond Adelaide; Pengusaha properti asal London yang sekarang merambat ke dunia konstruksi dan menetap di Hamburg, Jerman." Arsene kembali memandangi lembaran kertas di tangannya. Melihat beberapa foto sembari membaca ulang dengan hati-hati, seolah tidak ingin tertinggal satu pun informasi. "Baru berumur 24 tahun. Single. Berprofesi sebagai model dan dikenal juga sebagai aktivis sosial. Beberapa kali menjalin hubungan dengan para artis. Dan saat ini tengah tinggal sendiri di Marylebone Square's Penthouses." "Benar, Mister," sahut Mario lagi. "Saya sudah menyelipkan beberapa jadwal show nona Olivia yang di release resmi oleh agensinya. Saya juga melampirkan data-data siapa yang tengah dekat dengan wanita itu. Dan salah satunya adalah sahabat Anda sendiri." Arsene di tempat duduknya mengangguk. "Ya, aku tahu. Wanita ini sepertinya tengah dekat dengan Edward." Alis mata Arsene meninggi. Pria itu menarik sudut bibirnya penuh arti. "Tapi tidak akan aku biarkan mereka berhubungan lebih jauh. Tidak akan pernah, Mario." Suara Arsene merendah. Tetapi ada nada ancaman pasti yang terselip di sana. Tatapannya tajam menghunus ke arah foto Olivia yang tengah ia pegang. Mario hanya bisa bergeming di posisinya. Selain menjalankan tugas utamanya di kantor, sebagai orang kepercayaan, Arsene juga memintanya untuk menyelidiki seseorang. Bahkan pria muda itu rela membayar mahal seorang detektif swasta untuk mencari keberadaan pria bernama Raymond Adelaide berikut seluruh keluarganya. Dari dulu, Mario penasaran. Tapi sampai detik ini, ia tidak pernah berani bertanya secara gamblang untuk tujuan apa pria itu mencari keberadaan Raymond yang notabene sudah lama hijrah dari London ke Hamburg, Jerman. "Terima kasih atas laporanmu, Mario. Kalau ada informasi lain soal keluarga Adelaide, tolong kabari aku secepatnya," pinta Arsene. Mario mengangguk dengan sopan. Setelah memberikan apa yang Arsene minta, ia lantas memilih untuk pamit pergi dari ruangan. Belum ada beberapa menit kepergian Mario, pintu ruangan Arsene kembali terketuk. Kali ini giliran Oliver yang datang untuk mengunjungi pria muda tersebut. "Apa Uncle menganggu waktumu?" tanya Oliver seraya melangkah masuk. "Tentu tidak, Uncle Oliver. Sesibuk apa pun, aku akan selalu ada waktu untukmu." Ada nada tulus di kalimat yang Araene lontarkan. Sebagai yatim piatu, ia merasa benar-benar berhutang budi pada Oliver. Pria itu yang selama ini dengan sabar mengurus bahkan merawatnya. Menjaga serta mengajarinya begitu banyak hal sampai ia bisa berhasil seperti sekarang. Karena besarnya jasa inilah, Arsene bertekad untuk selalu menuruti apa yang Oliver ucapkan. Ia juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membantah apa yang pamannya itu perintahkan. "Kau memang pintar sekali membuatku tersentuh," kata Oliver. Pria itu kemudian duduk dengan tenang di kursi yang terletak tepat berseberangan dengan Arsene. "Ada hal penting apa sampai Uncle menemuiku kemari?" tanya Arsene penasaran. "Uncle ingin membahas soal pertunanganmu dengan Kimora. Menurutmu, kapan waktu yang pas untuk melangsungkan prosesi sakral ini?" Arsene diam sejenak. Nampak sekali menimbang-nimbang kapan waktu yang pas untuk melaksanakan apa yang sudah pamannya itu perintahkan. Ia sudah berjanji dan tidak akan mungkin untuk mengingkari. "Sebenarnya, aku tidak keberatan mau kapan saja diselenggarakan acara tersebut. Akan tetapi ... " Kening Oliver langsung berkerut dalam. Mendengar Arsene yang sengaja menjeda kalimatnya membuat ia yang jadi penasaran sekarang. "Tapi apa?" tanyanya memastikan. "Baru-baru ini aku bertemu dengan Olivia Adelaide. Putri dari Raymond Adelaide yang selama ini sudah ku cari-cari, Uncle." Pernyataan dari Arsene tersebut tentu saja membuat Oliver tersentak kaget. Ia ingat benar pernah menyuruh anak buahnya untuk menyelidiki Raymond serta keluarganya. Tapi agak sulit baginya mendapatkan informasi. Dan sekarang, tiba-tiba putri dari seorang Raymond Adelaide muncul tanpa perlu dicari. Seolah Tuhan sengaja menunjukkan kebaikan hatinya kepada Arsene yang sudah lama berkeliling hanya untuk mencari keberadaan wanita itu. "Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?" selidiknya ingin tahu. Oliver yakin putra dari kedua sahabatnya itu sudah menyiapkan rencana yang matang dari jauh-jauh hari. Ia kenal benar siapa Arsene. Pria muda itu terlahir atas insting yang kuat. Tidak pernah gegabah. Selalu penuh perhitungan di setiap tindakan serta keputusan yang akan diambilnya. Hal ini juga yang menyebabkan Arsene mampu bersaing dengan para kompetitor dalam dunia bisnis yang tengah digelutinya sekarang, "Aku akan pelan-pelan mendekatinya, Uncle. Untuk itu, tolong izinkan aku untuk mendapatkan hati Olivia terlebih dahulu. Ketika semua rencana terlaksana dengan mulus, aku janji akan langsung menikahi Kimora." Mendengar kalimat itu, Oliver mendongak dan membuat pandangan mereka bertemu. Mata hijau emerald-nya menatap dalam manik biru tajam milik Arsen. Berusaha sekali membaca rencana apa yang sebenarnya pria itu tengah susun. "Kau yakin dengan rencanamu ini?" Arsene menganggukkan kepala dan memberikan sikap hormat. "Aku sudah memperhitungkannya dengan sangat matang, Uncle. Hanya ini cara untuk menghancurkan Raymond secara pelan-pelan." "Bukan itu maksudku," sanggah Oliver. Wajahnya nampak sekali cemas. "Bagaimana kalau nantinya kau malah jatuh cinta pada putri Raymond?" "Itu tidak akan mungkin terjadi, Uncle." Arsene penuh percaya diri langsung membantah. "Mana mungkin aku mencintai putri dari orang yang sudah menghancurkan keluargaku." Seketika perkataan dingin Arsene mengikis kekhawatiran di diri Oliver. Lebih-lebih melihat raut penuh dendam yang tidak beranjak sedikit pun di wajah pria itu, sangat tidak memungkinkan kalau Arsene sampai jatuh cinta pada anak dari musuhnya sendiri. "Baiklah. Uncle percayakan semuanya padamu. Tapi perlu kau ingat, Arsene." Oliver menatap dalam-dalam wajah pria yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri tersebut. "Bagaimana pun juga, kau tetap harus berhati-hati. Uncle tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu." Arsene kembali mengangguk. Meraih pergelangan tangan Oliver lalu menggenggamnya erat-erat. Seolah memberikan keyakinan kalau tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya di kemudian hari. "Percayakan semuanya padaku. Apa yang sudah Raymond perbuat, ia juga yang pada akhirnya harus bertanggung jawab." *** Arsene menyesap pelan-pelan caramel machiato yang baru saja di pesannya. Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan, ia memutuskan untuk singgah terlebih dahulu ke salah satu coffeshop langganann yang terletak tak jauh dari kantornya. Sambil memerhatikan lampu-lampu serta kendaraan yang hilir mudik, Arsene tampak menikmati kesendiriannya malam ini. Sesekali bayang-bayang akan kedua orang tuanya terlintas. Menampilkan memori kebahagiaan yang dulu pernah mereka lewati. Sampai tak berapa lama, teguran seorang wanita mengusik apa yang tengah ia lakukan sedari tadi. "Arsene," tegur wanita cantik yang suaranya tidak begitu familiar di telinga Arsene. Ketika mendongak, ia mendapati sosok Olivia sudah berdiri tegap tepat di depan meja. "Aku tidak menyangka bisa bertemu dirimu di sini. Apa aku boleh bergabung denganmu?" Arsene tersenyum tipis. Bangkit dari duduknya, dengan sopan pria itu mempersilakan Olivia untuk duduk. "Dengan senang hati, silakan duduk. Kebetulan aku hanya sendirian malam ini." Olivia tersenyum senang. Tanpa ragu-ragu lagi langsung mendudukkan dirinya. "Kau mau minum sesuatu? Aku bisa memesankan ya untukmu," tawar Arsene dengan sopan. "Tentu saja." Olivia langsung mengangguk. "Cappuccino latte sepertinya pas untuk aku minum bersamamu malam ini." Arsene kemudian melambaikan tangan isyarat memanggil waitress yang tengah berjaga. Setelah memesankan minuman, pria itu kembali mengajak Olivia berbincang. "Kau dari mana? Baru selesai bekerja?" "Ya, begitulah. Aku baru saja menyelesaikan satu sesi pemotretan di salah satu studio yang tak jauh dari sini. Kau sendiri? Bagaimana? Sudah lama berada di cafe ini?" Arsene mengangguk lalu mengulurkan tangannya demi meraih cangkir caramel machiatto yang sudah ia pesan. Menyesapkan perlahan, lalu setelahnya bercerita. "Kantorku tidak jauh dari sini. Biasanya sebelum kembali ke rumah, aku singgah dulu sebentar untuk sekedar duduk dan menikmati kopi." "Oh, ya? Apa kau selalu sendiri seperti ini? Atau terkadang bersama pasanganmu?" tanya Olivia terkesan hati-hati. Arsene melirik, tak lama pria itu terkekeh dengan pelan. Ada rasa gemas melihat wajah Olivia yang kentara sekali menunggu jawaban dari dirinya. "Selalu sendiri. Kebetulan aku memang tidak memiliki pasangan saat ini." "Ah, kau pintar sekali membual," tukas Olivia seraya berdecak. Mana mungkin ia percaya begitu saja ada pria setampan Arsene tapi tidak memiliki pasangan. "Apa pria tampan selalu berucap demikian? Maksudku, selalu mengaku single kepada wanita yang baru dikenalnya?" "Aku tidak membual," jawab Arsene dengan tersenyum. "Aku memang tidak sedang berhubungan dengan siapa-siapa saat ini." "Lalu siapa wanita cantik yang bersamamu malam itu?" selidik Olivia ingin tahu. Ia ingat saat diacara perayaan tempo hari, Arsene tampak dekat dengan wanita ysng bersamanya. "Wanita cantik?" seketika kening Arsene berkerut dalam. Sejenak ia mencoba untuk mengingat-ingat sampai tak lama kemudian pria itu berseru pelan. "Ah, maksudmu Kimora? Wanita yang bersamaku saat pesta ulang tahun?" Olivia langsung mengangguk-angguk. "Iya, dia kekasihmu, kan? Kalian terlihat sangat dekat dan serasi sekali malam itu." "Tapi dia bukan kekasihku," tegas Arsene. "Kimora bisa dibilang sudah ku anggap seperti adik sendiri. Kami memang dekat karena dari kecil sudah saling kenal dan berteman." "Ah, begitu rupanya." "Kau sendiri, bagaimana?" Arsene balik bertanya. "Maksudmu bagaimana apanya?" tanya Olivia kebingungan. "Hubunganmu dengan Edward. Bukannya kalian sedang dekat saat ini?" Olivia mengangguk. Tidak menampik sama sekali apa yang Arsene katakan. "Beberapa bulan terakhir, kami berdua memang sedang dekat. Tapi sejauh ini hanya sebatas teman. Tidak lebih dari itu. Aku juga belum terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun." "Itu artinya aku juga tidak punya kesempatan untuk mendekatimu?" seloroh Arsene sambil tertawa kecil. Yang mana ucapannya ini membuat Olivia terdiam sejenak. Seolah mencerna apa yang baru saja pria itu sampaikan. "Oh, Ya ampun Olivia, aku hanya bercanda." Buru-buru Arsene meralat kalimatnya. "Kau ini. Membuatku gugup saja," protes wanita itu. Keduanya lantas kembali berbincang. Saling membahas hal-hal ringan sampai lupa waktu dan akhirnya memutuskan untuk pulang. "Kau bawa kendaraan?" tanya Arsene ketika melangkah bersama Olivia menuju luar cafe. "Tidak. Aku jarang menggunakan kendaraan sendiri. Mungkin sebentar lagi aku akan menelpon supir untuk menjemput." "Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu pulang," tawar Arsene dengan sopan. Ia memang harus pelan-pelan mendekati wanita itu. "Tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkanmu." "Tentu saja tidak," sahut Arsene dengan cepat. "Lagi pula, sangat berbahaya wanita cantik sepertimu menunggu jemputan sendiri di sini." Di sebut cantik, seketika wajah Olivia bersemu merah. Ia juga merasa tersanjung dengan sikap manis dari pria yang sedari tadi bersamanya itu. Melihat ketulusan di wajah Arsene, mata sebiru langit itu mengerjap sesaat. Tampak menimbang-nimbang apakah perlu menerima tawaran yang baru saja diberikan kepadanya. Kemudian, seulas senyum manis terkembang dari bibir Olivia. Pikirnya, tidak salah menerima ajakan Arsene yang notabene bukan pria sembarangan. "Baiklah kalau kau memaksa. Lagi pula tidak ada ruginya diantar pria tampan sepertimu," ungkapnya jujur. Ya, Arsene memang begitu tampan di mata Olivia. Ia tidak bisa menampik kenyataan yang satu ini. Dengan sopan Arsene menuntun Olivia untuk melangkah menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan cafe. Tanpa ragu, bantu membukakan pintu lalu mempersilakan wanita itu untuk masuk. Kemudian mengantarkan Olivia hingga sampai ke tempat tujuannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN