"Tita, di mana Kenzie dan lainnya?" tanya Arsene pada wanita cantik yang tengah duduk menikmati lemontea di tangannya.
Seperti yang sudah-sudah, setiap weekend memang jadwal pasti Arsene dan teman-temannya untuk berkumpul. Kalau minggu lalu mereka menghabiskan waktu dengan makan malam bersama dilanjut bermain bowling, maka malam ini, kesemuanya memilih Heist Bank yang ada di Paddington, West London, untuk berkumpul sekalian bermain billiard.
Tampak Kenzie dan Richard membawa pasangannya masing-masing. Entah kali ini Edward membawa teman kencan atau tidak karena begitu sampai, Arsene hanya melihat keberadaan Tita dan Claire yang sedang terlibat pembicaraan serius.
"Kenzie dan Richard ada di dalam. Mereka sedang asyik bermain billiard," sahut Tita setelah menyesap lemontea miliknya.
"Apa Edward juga berada di dalam?"
Tita lantas menggeleng.
"Belum ada. Mungkin sebentar lagi sampai. Kau tau sendiri di antara kesemuanya, selalu Edward yang datang terlambat."
Arsene langsung terkekeh pelan. Apa yang Tita katakan memang benar. Dari dulu, entah kenapa Edward senang sekali datang paling akhir. Richard bahkan sudah tidak terhitung lagi melayangkan protes kepada pria berdarah Skotlandia tersebut.
"Jangan pernah sekali pun percaya dengan Edward kalau tidak ingin merasa kecewa," decak Richard. Wajahnya nampak sekali dipenuhi rasa kesal.
"Memangnya kenapa?" selidik Kenzie penasaran.
"Setiap diajak untuk bertemu dan ditanya keberadaannya, bocah sialan itu pasti selalu menjawab sudah on the way. Padahal, ia masih asyik berbaring di atas tempat tidur. Sungguh, Edward memang satu-satunya teman yang tidak bisa dipegang ucapannya."
Hingga detik ini pun, memang sulit mempercayai Edward bisa datang tepat waktu. Hampir tidak pernah sekali pun pria itu on time. Itu sebabnya, setiap merencanakan pertemuan, Richard selalu datang 30 menit setelah waktu yang sudah ditentukan agar tidak terlau lama menunggu Edward.
"Arsene, kau datang sendiri? Kenapa tidak membawa Kimora?" tegur Kenzie ketika melihat keberadaan Arsene yang baru saja memasuki ruang billiard.
"Aku yakin kali ini kita akan pulang larut malam. Kau tahu sendiri, aku tidak suka membawa wanita ---"
"Pulang terlalu larut?" potong Kenzie seolah hapal dengan apa yang akan Arsene ucapkan. "Honestly, You're a good Man, Arsene. Aku yakin, siapa pun yang menjadi pasanganmu nanti, ia pasti akan bahagia. Kau begitu menghargai yang namanya wanita."
"Mau bagaimana lagi, memang begitu yang mendiang Mamaku ajarkan."
Namun, mau bagaimana pun juga, di antara mereka ber empat, tidak ada satu pun yang suka mempermainkan wanita. Kesemuanya memang di didik untuk menghargai dan menjaga kehormatan wanita. Bahkan, se-b******k Edward sekali pun, ia tidak akan pernah berani membawa teman kencannya untuk having s*x atau tidur bersama sebelum memiliki ikatan yang resmi.
"Pasti kalian sudah menunggu kedatanganku," seloroh Edward yang baru saja sampai di lokasi pertemuan. Senyum manis tersungging di bibir pink pria itu. Tidak ada sedikit pun raut dosa atau penuh sesal karena sudah membuat para sahabatnya menunggu lama.
"Asal kau tahu saja ... " kata Richard sambil membidik bola di meja billiard. "Aku bahkan tidak menganggap kehadiranmu malam ini."
Edward tertawa. Buru-buru pria itu menghampiri Richard lalu tanpa canggung memeluknya dari belakang. Ia memang seperti ini kalau sedang merayu sahabatnya itu.
"Oh, ya ampun, sayang. Jangan marah seperti ini. Kau membuatku semakin cinta."
"Hentikan Edward!" seru Richard. Wajahnya tampak jijik. "Kau membuatku geli."
"Mau bagaimana lagi, aku memang mencintaimu Richard Delano. Kalau kau tidak jadi menikah dengan Claire Roland, aku siap menggantikan posisinya."
Richard mendesis. Memaksa sahabatnya itu untuk melepaskan tautan tangan pada tubuhnya. Geli sekali diperlakukan sedemikian rupa oleh Edward.
"Sekali lagi kau berani memeluk tubuhku, aku akan mematahkan lehermu!" ancamnya tidak main-main.
Semuanya langsung tertawa. Edward bahkan mengangkat kedua tangannya isyarat kalau dirinya menyerah dengan ancaman Richard.
"Kau sendiri saja malam ini?" tanya Arsene sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak, aku bersama Olivia. Dia ada di depan bersama Tita dan Claire."
Arsene mengangguk. Lantas menghampiri Kenzie dan Richard untuk ikut memulai permainan billiard.
Hampir satu jam lamanya mereka semua bermain. Sedang para wanita sibuk berbincang di cafe sambil menyantap makanan ringan yang tersedia.
"Soal lamaranmu ke Olivia, apa kau sudah menceritakan hal penting ini kepada orang tuamu?" tanya Kenzie di sela-sela permainan mereka.
"Belum," jawab Edward sambil fokus bermain. "Rencananya, aku akan memberitahu mereka setelah selesai melamar Olivia."
"Dan kau yakin Olivia akan menerimamu? Kau itu buaya darat Edward Cullen atau kalau bisa ku sebut dinosaurus darat mungkin kau masuk dalam spesies mereka," ejek Richard tidak tanggung-tanggung. "Kalau jadi Olivia, aku pasti akan menolakmu mentah-mentah. Mau jadi apa pernikahanku nantinya bila harus berpasangan dengan pria nakal sepertimu."
"Untungnya saja Olivia itu bukan dirimu. Jadi aku yakin dia tidak akan menolakku," olok Edward sambil menjulurkan lidah. Puas sekali ia membalas perkataan sahabatnya.
"Tapi Richard benar, Ed. Apa kau yakin dengan perasaan Olivia?" Giliran Kenzie yang nampak sangsi. "Lagi pula, bukannya kalian baru saja kenal. Aku juga tidak yakin wanita itu langsung menerimamu begitu saja. Kecuali, Olivia memang seorang wanita matrealistis yang menyukai pria karena melihat popularitas dan hartanya saja."
"Tenang," sela Edward. "Aku yakin Olivia bukan wanita seperti yang kau tuduhkan. Dalam satu bulan ini, aku akan intens mendekatinya."
Kening Kenzie nampak berkerut dalam. Mata pria itu langsung menyipit penuh selidik dengan rencana yang tengah sahabatnya susun.
"Mendekati seperti apa maksudmu?"
"Lusa, dan hari-hari berikutnya aku akan sering mengajaknya berkencan. Memberikan banyak kado atau mungkin kejutan. Aku yakin, dengan banyaknya intensitas pertemuan kami, hati Olivia pasti pada akhirnya akan luluh."
Sementara yang lain sibuk berdiskusi, dalam diam Arsene tampak mendengarkan dengan seksama. Mencerna segala rencana yang Edward jabarkan lalu berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk mengalihkan perhatian Olivia agar terfokus pada dirinya.
"Aku haus," keluh Edward. "Kita sudahi saja permainan ini. Lagi pula, kasihan para wanita di depan. Mereka pasti sudah bosan menunggu terlau lama."
"Iya," sahut Kenzie. "Aku juga yakin Tita pasti akan mengomel setelah ini."
Mereka semua lantas sepakat menghentikan permainan. Kemudian menyusuli para wanita yang sudah menunggu di cafe depan.
Arsene dapat melihat dengan jelas bagaimana Olivia malam itu terlihat cantik dengan pakaian casual-nya. Begitu menoleh, keduanya tanpa sengaja saling bersitatap. Olivia bahkan tanpa canggung langsung tersenyum kemudian menegur.
"Arsene, kau di sini juga rupanya."
"Tentu saja, Sayang." Bukannya Arsene, malah Edward yang menyahut. Pria itu mendekat lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah Olivia. "Kami semua bersahabat. Jadi, mau ke mana pun, pasti selalu bersama-sama."
Arsene mengangguk setuju dengan ucapan Edward. Menarik kursi, pria itu ikut duduk satu meja bahkan tepat berhadapan dengan Olivia.
"Apa kabar Olivia?"
"Aku sangat baik," jawab wanita itu seraya tersenyum penuh arti. "Kau datang sendiri?"
Arsene mengangguk.
"Iya, aku sendiri. Lagi pula, aku memang kurang suka membawa pergi wanita hingga larut malam."
"Arsene itu memang pria kolot." Edward ikut menimpali. "Aku bahkan sudah banyak mengenalkan wanita cantik dan seksi. Tapi tidak satu pun yang menarik perhatiannya."
"Jangan kau racuni Arsene hingga berkelakuan sama seperti dirimu, Edward Cullen. Arsene itu gentleman. Dia memang tipikal pria-pria setia seperti aku dan Kenzie," ucap Richard dengan nada sinis.
"Jadi kau pikir aku bukan pria yang setia?"
Richard mengedikkan bahunya. Malas menjawab pertanyaan yang Edward berikan.
Ketika semuanya larut dalam perbincangan, tiba-tiba saja ponsel Edward berbunyi. Sebuah panggilan darurat memaksanya untuk segera beranjak pergi.
"Semuanya, aku harus pamit sekarang juga. Papaku baru saja mengalami kecelakaan. Saat ini, beliau tengah ditangani oleh tim dokter yang berada di salah satu rumah sakit."
Semuanya terperanjat. Lebih-lebih Arsene. Raut khawatir langsung terpancar di wajahnya. Bayangan akan kecelakaan maut yang pernah ayahnya alami membuat Arsene seketika dihantui rasa takut. Ia tentu saja tidak ingin peristiwa memilukan itu kembali terjadi apalagi kepada sahabatnya sendiri.
"Ed, aku antar kau ke rumah sakit sekarang juga. Kau tidak boleh menyetir mobil sendiri dalam keadaan kalut seperti ini," tawar Arsene. Ia sudah bersiap untuk bangkit.
"Tidak." Edward menggeleng. "Kau di sini saja. Aku minta tolong kau antar Olivia ke rumahnya. Aku janji, setelah memastikan keadaan Papa, aku akan mengubungi kalian semua."
"Kau harus kabari kami perkembangan Uncle Alexander. Dan kalau sudah memungkinkan, kami semua akan langsung menyusulmu ke rumah sakit."
Edward mengangguk tanpa berucap. Setelah beranjak berdiri pria itu langsung berlari menuju mobil. Meninggalkan semua sahabatnya yang terlihat syok dengan berita yang baru saja Edward sampaikan.
***
Arsene baru saja tiba di kediamannya tepat pada pukul satu malam. Setelah memarkirkan mobil sport-nya dengan rapi, ia lantas melangkah dengan santai memasuki rumah. Begitu hendak menaiki anak tangga menuju lantai dua, samar indra pendengaran Arsene menangkap suara yang tidak asing. Seperti suara tangisan yang entah berasal dari ruangan mana.
Diliputi rasa penasaran yang mendalam, pelan tapi pasti Arsene menajamkan pendengaran. Berusaha untuk mencari-cari dari arah mana suara tersebut berasal. Hingga keyakinan itu muncul, ruang baca yang menjadi tujuan untuk Arsene datangi. Dan akhirnya apa yang dicari tertangkap oleh netra birunya.
"Astaga Kimora ... " tegur Arsene dengan nada suara sedikit khawatir.
Ia dengan matanya, dapat melihat keberadaan Kimora. Wanita itu tengah terduduk di lantai dengan posisi menekuk kedua kaki sembari menangis.
"Apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis di sini?" Arsene berjalan mendekat. Menghampiri lalu ikut berjongkok tepat di depan wanita itu.
Menyadari kedatangan Arsene, Kimora mendongak. Tanpa banyak bicara, wanita itu langsung menghambur pelukan. Membenamkan kepalanya pada dadaa bidang milik Arsene sambil menangis sesenggukan.
"Kimora ... " panggil Arsene sekali lagi sambil mengusap lembut rambut kecokelataan milik wanita itu. "Sebenarnya ada apa? Kau kenapa menangis seperti ini?" tanyanya kebingungan. Bertahun-tahun bersama, ini pertama kalinya Arsene melihat wanita cantik itu menangis.
"A-aku hanya rindu dengan mendiang Mama. Entah kenapa, dari kemarin aku kepikiran olehnya. A-ku ---"
"Sssttss ... " Arsene mendesis pelan lalu mengeratkan pelukannya pada tubuh Kimora. "Aku tahu perasaanmu bagaimana. Aku pun sering merasakan hal yang sama ketika merindukan mendiang Papa dan Mama. Tidak ada yang bisa ku lakukan sekarang ini selain mendoakan mereka."
"Aku hanya merasa begitu kesepian. Tidak ada lagi tempatku bercerita. Sekarang ---"
"Astaga, Kimora," potong Arsene sekali lagi dengan suara sedikit meninggi. Pria itu merenggangkan pelukan. Menarik dagu Kimora, meminta wanita itu untuk menatap dalam-dalam kedua matanya. "Apa kau tidak menganggap keberadaanku? Kau bisa menceritakan semua permasalahan hidupmu tanpa terkecuali. Sungguh, aku siap mendengarkan apa pun itu."
Kimora tidak menyahut lagi. Wajahnya kembali tertunduk seolah tidak ingin menunjukkan kesedihannya pada Arsene.
Gemas dengan tingkah laku Kimora, Arsene kembali meraih tubuh wanita itu. Menggendongnya tanpa permisi kemudian membawa Kimora menuju kamar lalu mendudukkannya tepat di atas tempat tidur.
"Tidak perlu bersedih lagi. Kalau ada yang ingin diceritakan, kau bisa bercerita kapan pun padaku," perintah Arsene. Tangan pria itu terulur mengusap air mata yang membasahi pipi Kimora.
"Terima kasih," cicit Kimora.
"Sekarang tidurlah. Ini sudah larut malam."
Kimora mengangguk. Menuruti perintah yang diberikan. Akan tetapi, belum sempat lagi Arsene beranjak, ia kembali menarik pergelangan tangan pria itu agar tidak beranjak pergi.
"Ada apalagi?" tanya Arsene dengan lembut.
"Soal pernikahan kita," gumam Kimora. Sejenak wanita itu malah menjeda kalimatnya. Yang mana hal ini tentu saja membuat Arsene kebingungan.
"Kenapa dengan pernikahan kita?"
"A-apa akan tetap terlaksana sesuai rencana?" Dengan tergugu Kimora memastikan perihal yang satu ini. Penting baginya mengetahui apakah Arsene akan tetap melaksanakan apa yang sudah jauh-jauh hari mereka rencanakan atau malah sebaliknya, membatalkan di tengah jalan.
"Tentu saja, Kimora. Aku sudah berjanji pada Uncle dan juga dirimu. Kau tahu sendiri kalau aku tidak pernah ingkar janji, kan?"
Kimora mengangguk.
"Aku tahu hal itu. Tapi masalahnya, Papa bilang saat ini kau tengah mendekati Olivia Adelaide. Aku hanya khawatir kalau ---"
Arsene langsung menaruh telunjuknya tepat di atas bibir Kimora. Meminta wanita itu untuk berhenti mengoceh apalagi sampai berpikir yang tidak-tidak.
"Yang kau khawatirkan tidak akan pernah terjadi. Bukannya aku sudah bersumpah untuk menikahimu?"
"Tapi yang jadi masalah, apakah kau menikahiku karena terpaksa atau benar-benar mencintaiku, Arsene."
"Tidak perlu cinta kalau tujuannya hanya ingin menikah."
Perkataan yang menguar dengan suara dingin itu membuat Kimora sedikit terkesiap. Seluruh ototnya berubah kaku hingga membuat tubuhnya tidak bisa bergerak. Kimora menelan ludah. Tiba-tiba ingatannya melayang pada pertemuan pertama mereka dulu. Masih tersimpan jelas di memori Kimora bagaimana dulu Arsene begitu terpuruk. Jatuh sejatuhnya. Tidak memiliki siapa-siapa dan dirinya lah yang mengulurkan tangan. Memeluk bahkan mengusap tiap air mata yang menggenang. Selalu meyakinkan Arsene bahwa pria itu tidak pernah sendirian di dunia ini.
Seluruh perasaan Kimora curahkan untuk Arsene seorang. Dalam hati bahkan berjanji cintanya tidak akan ia beri selain kepada Arsene.
Lantas sekarang? Pria itu menyebut cinta tidak perlu dalam pernikahan mereka nantinya. Haruskan ia bahagia mendengar ini?
"Kalau yang kau pusingkan soal cinta, maka perasaan itu mungkin saja akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Perlu kau tahu, aku menikahimu bukan karena terpaksa," ucap Arsene lagi.
Hati Kimora seolah diremas ketika mendengar kalimat itu. Di telannya kembali kata-kata protes yang ingin keluar dari bibirnya. Memilih diam seraya memandangi wajah Arsene dengan mata berkaca-kaca.
"Terserah kau mau cinta atau tidak padaku. Yang pasti, aku tidak ingin kehilangan dirimu."
Arsene lantas merengkuh tubuh Kimora. Memeluknya erat, seraya mengecup lembut puncak kepala wanita itu berkali-kali. Membiarkannya kembali menangis di dalam pelukan.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Kimora. Aku sudah berjanji padamu dan tidak akan mengingkari hal itu."