Saya Pernah Di Posisi Itu

1394 Kata
Kasus kecelakaan yang menimpa Alena dan Keluarganya menemui titik terang. Pelaku ditangkap dan mendapat hukuman dari pengadilan negeri karena kelalaian dalam berkendara yang mengakibatkan 2 orang kehilangan nyawa dan satu orang masih dirawat di rumah sakit. Alena tidak tahu tentang hal tersebut karena baik Desi dan suaminya memang tidak terlalu banyak membahas hal yang berbaur kecelakaan yang terjadi malam itu. Hal ini mereka lakukan untuk kebaikan psikis Alena yang mengalami masalah. Sudah 1 minggu lebih Alena berada di rumah sakit. Dia masih murung dan kadang menangis sendiri. Beberapa perawat dan juga dokter berusaha untuk mengembalikan semangat hidup Alena. “Bagaimana keadaannya Sus?” Bagas masih setia untuk melihat Alena meskipun hanya dari pintu ruang rawat. Ia belum bisa menemui dan berbicara secara langsung karena Alena tidak mudah untuk membuka diri pada orang asing. Dia hanya berada di dalam kamar setiap hari dan tidak melakukan apapun. “Ya begitu Pak, banyak murung dan nangis,” jelas Suster Erin. Bagas menghela nafas panjang, banyak orang yang bertanya-tanya kenapa bisa Bagas yang sibuk dengan perusahaannya mau untuk meluangkan waktu dengan datang setiap. Mungkin karena kisah Alena terlalu menyedihkan sehingga hati Bagas tergugah untuk membantunya bangkit dari trauma. Sosok Bagas selalu menjadi gosip hangat di dalam rumah sakit. Bagaimana tidak? Bayangkan saja Bagas tidak henti-hentinya bertanya tentang kondisi Alena padahal Alena bukan siapa-siapa dirinya. Bagas hanya tidak ingin Alena mengakhiri hidupnya karena merasa tidak ada guna untuk hidup. Dia ingin Alena bangkit dan tetap melanjutkan kehidupan. Hanya orang-orang yang bekerja di rumah sakit yang tahu bagaimana Bagas begitu memperhatikan Alena. Meksipun begitu, tidak ada gosip yang keluar. Hanya dalam lingkup rumah sakit saja, Bagas sudah mengatur itu semua agar Alena tidak menjadi bual-bualan orang lain. “Masuk aja Pak, “ ujar Suster Erin. Bagas menggeleng. “Bukan waktu yang tepat.” Suster Erin tidak bisa berkata apa-apa. Ya memang benar mendekati Alena bukan perkara mudah. Ia tidak ingin berbicara dengan orang asing. Hanya 4 orang saja yaitu Dokter Zafran, suster Erin, Om dan Ante Desi. Selebihnya jangan harap karena Alena akan mengunci mulutnya rapat-rapat. Bagas datang bertepatan dengan jam makan siang, Suster Erin masuk dengan membawa makan siang. Ia menyapa Alena dengan ria. “Alena bagaimana kabarnya?” “Masih sama, tidak bisa melihat dan ingin mati.” Jawaban masih sama setiap ditanya tentang kabar. Bagas hanya bisa menatap dari pintu. Entah bagaimana perasaanya saat mendengar hal tersebut. “Ale tidak boleh berpikir seperti itu, Ale harus semangat.” Alena tertawa, bukan tawa kebahagian melainkan tawa penuh luka. “Ayo kita makan dulu biar cepat pulih.” “Ante Desi kemana?” tanya Alena. Sejak kemaren dia belum bertemu dengan adik kandung ibunya itu. “Nanti dia datang.” Suster Erin juga tidak tahu. Mungkin problem pada keluarga Alena tidak hanya tentang kecelakaan. Beberapa kali suster Erin melihat Tante dari pasiennya menangis sendiri seperti orang yang tengah dihadapkan masalah besar. “Kita makan dulu!” Erin membuka plastik putih yang menutupi makanan Alena. “Saya belum lapar,” jawab Alena dingin. “Sedikit saja.” Lagi lagi Alena menolak. Erin mencoba membujuk kembali. Tetap saja Alena tidak mau, hal ini bahkan membuat sendok yang ada ditangan Erin terjatuh ke lantai karena hempasan tangan Alena. Erin sama sekali tidak marah, hal ini wajar bagi pasien yang psikisnya terguncang. Bagas yang melihat hal ini terjadi setiap harinya tidak bisa diam saja. Dia masuk ke dalam. “Biar saya saja Sus,” ujar Bagas dengan nada datar. Ia tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan orang asing. Yang Bagas tahu hanyalah bagaimana membahas bisnis dengan kliennya. “Siapa?” ujar Alena langsung. Meskipun matanya buta, Alena masih bisa mendengar. “Perkenalkan saya Bagas.” Bagas memulai perkenalan yang bahkan belum sempat terjadi beberapa hari ke belakang. “Pergi!” usir Alena. Bagas menyuruh suster Erin keluar sebentar, ia akan mencoba untuk berbicara berdua saja dengan Alena. “Tapi pak?” Suster Erin masih ragu. Bagas sama sekali tidak menyalahkan hal tersebut. Bagas meyakinkan Suster bahwa tidak akan terjadi hal aneh, dia juga menyuruh suster untuk tidak menutup pintu dan membiarkan terbuka saja. Suster Erin akhirnya keluar, sekarang hanya ada Bagas dan Alena saja. Kesunyian mulai melanda, Bagas hanya menatap Alena dengan dalam. Wajah pucat dengan mata bengkak bukan lagi hal aneh untuk Alena. Tubuhnya bagai mayat hidup. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Bagas mengawali obrolan mereka. Alena tidak menjawab, bibirnya tertutup rapat seakan sudah terkunci. Bagas tidak lagi memaksa, dia meletakkan piring yang berisi makanan di atas nakas samping ranjang Alena. “Hidup kita sebenarnya tidak jauh berbeda,” ucap Bagas. Alena masih diam. Dia bahkan menjauhkan wajahnya dari sumber suara. “Kakak saya meninggal karena bunuh diri, kemudian dihari yang sama saya dan kedua orangtua saya mengalami kecelakaan hebat. Orangtua saya meninggal dalam kecelakaan itu, hanya saya yang hidup sampai detik ini. Saya memang masih bisa melihat tetapi saya tidak bisa berjalan dan bergerak selama beberapa bulan. Mungkin kamu akan berpikir hidup kenapa tidak adil, ya dulu saya juga berpikir demikian. Saya ingin mengakhiri hidup karena sudah terlalu lelah. Tidak ada siapa-siapa lagi, sendiri di dunia ini amat menakutkan,” lanjut Bagas lagi. “Anda bohong!” “Untuk apa saya berbohong, sampai detik ini bekas luka dikaki saya karena kecelakaan itu masih ada. Hidup harus tetap berjalan Alena.” Mata Alena sudah berkaca-kaca. “Mungkin kamu mengira saya hanya menghibur saja dengan menceritakan hal ini. Apa yang kamu alami saat ini, sama dengan yang saya alami beberapa tahun yang lalu. Perasaan sakit, perasaan kacau, perasaan tidak ingin hidup lagi dan perasaan-perasaan lainnya.” “Karena saya pernah ada diposisi ini dulunya, maka saya tahu bagaimana rasanya. Saya tidak berbohong Alena apalagi menceritakan ini bukan hal yang mudah buat saya karena sama saja seperti saya membuka luka yang bahkan belum sembuh sampai sekarang.” “Saya tidak meminta kamu untuk melupakan segalanya, kamu tidak akan bisa lupa. Saya hanya meminta kamu menerima segala yang terjadi karena dengan begitu rasa sesaknya sedikit berkurang.” Alena tiba-tiba saja menangis. Dia bahkan mencengkram selimut dengan begitu kuat. “Menangislah, saya tidak akan melarangnya. Alena kamu tidak sendiri. Ada saya, saya akan jadi orang yang selalu ada disamping kamu. Saya tidak ingin kamu merasakan sendiri dalam sakit, tolong jangan tolak kehadiran saya.” Alena tidak memberi respon apa-apa, ia hanya menangis dan menangis seakan-akan rasa sesak itu makin lama makin terasa sakit sekali. Hidup harus tetap berjalan, ya Bagas bisa melewati semuanya maka Alena juga pasti bisa. Kisah mereka tidak jauh berbeda, rasa sakit mereka sama. Bagas menunggu Alena berhenti menangis, dia tidak melarang atau berusaha menghentikannya. Tangis adalah cara terbaik untuk meluapkan segala macam bentuk emosi yang terpendam di dalam d**a. Hampir beberapa menit berlalu, akhirnya tangis Alena mulai mereda. “Makan dulu ya, saya suapi bagaimana?” Alena kembali tidak menjawab. Meksipun begitu, Bagas tetap menyodorkan sendok ke bibir Mala. Mala membuka mulutnya, akhirnya dia mau untuk mengisi perut. Bagas tersenyum melihat hal tersebut. “Apakah besok saya boleh ke sini lagi?” tanya Bagas hati-hati. Alena tidak kunjung menjawab. Bagas tidak masalah karena meskipun ditolak sekalipun dia tetap akan berkunjung. Makan siang Alena tidak habis, hanya beberapa sendok saja yang masuk ke dalam mulutnya. Meksipun begitu, Bagas dan suster Erin sangat senang sekali. Bagas bersiap-siap untuk segera meninggalkan rumah sakit, dia masih harus bekerja. “Saya pamit dulu ya, jangan nangis sendiri. Nanti kalau mau nangis di depan saya saja.” Setelah mengatakan hal demikian, Bagas mulai melangkah untuk meninggalkan ruang rawat. “Anda boleh ke sini lagi,” ujar Alena tiba-tiba. Bagas tersenyum mendengar perkataan tersebut. Sepertinya Alena sudah menerima kehadiran dirinya. “Nanti malam saya akan ke sini lagi.” Bagas keluar dan berbicara pada suster Erin untuk tetap memantau keadaan Alena. Setelah itu, Bagas memakai topi dan maskernya kembali sehingga tidak ada orang yang mengenal dirinya. Dia harus kembali ke perusahaan, meksipun dia pemilik perusahaan itu dan bisa datang dan pergi kapan saja, tetap saja Bagas tidak ingin seenaknya saja. Dia harus memberikan contoh yang baik kepada karyawan-karyawan yang lain. Sesampainya di perusahaan, Bagas disambut dengan sangat baik. Beberapa orang menegur sopan dirinya. Seperti biasa, Bagas membalas teguran itu. “Rapat bulanan akan segera dimulai Pak!” Bagas memijat kepalanya sejenak, bisa-bisanya dia lupa jika hari ini ada rapat bulan bersama petinggi dari setiap divisi untuk mengevaluasi kinerja mereka. Untung saja dia bisa kembali ke perusahaan tepat waktu. Selama ini Bagas tidak pernah terlambat atau absen dalam rapat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN