Tidak Suka

1434 Kata
Sudah 1 minggu berlalu, Tante Desi tidak pernah datang berkunjung bahkan mengirim kabarpun tidak ada. Alena benar-benar merasa hidupnya tidak berguna sama sekali. Alena tidak akan menyalahkan Tante Desi karena dia memang merepotkan. Jika bisa meminta, Alena tidak ingin hidup dan ingin ikut bersama kedua orangtunya. "Kenapa sedih?" Bagas datang. Kali ini dia datang dengan membawa banyak makanan kesukaan Alena. Semakin hari keduanya semakin dekat, meskipun Alena tidak mengenal Bagas dengan baik. Dalam benaknya, Bagas adalah sosok malaikat yang datang untuk menemani harinya yang gelap. Jika Bagas ada niat tertentu, maka Alena tidak masalah. Apa mungkin Bagas ingin menjual organ-organ tubuhnya setelah baik kepada dirinya? Alena tidak masalah. Tidak ada yang berarti dalam hidupnya. "Nggak apa-apa, sekarang jam berapa?" "Pukul delapan, udah sarapan kah?" "Sudah, kok datangnya cepat?" Bagas tersenyum. Ternyata Alena termasuk tipe orang yang cerewet. Lihat saja interaksi mereka beberapa hari ke belakang. Tidak ada lagi Alena yang pendiam. Pernah sekali Bagas tidak berkunjung karena ada perjalanan bisnis ke Korea Selatan, ternyata Alena bertanya kepada suster Erin kenapa dirinya tidak datang. "Nggak apa-apa, Mas bawa ek krim." Bagas mengeluarkan beberapa jenis makanan yang ada di dalam plastik. Panggilan Mas memang menjadi pilihan Alena setelah mengetahui usia Bagas yang sangat jauh dengan dirinya. Alena menjulurkan tangannya, Bagas menggeser sedikit tangan Alena agar bisa tepat berada di depannya. Bagas membuka tutup es krim itu terlebih dahulu, setelah itu baru dia berikan kepada Alena. "Besok kata dokter aku sudah boleh keluar," ujar Alena. Sudah hampir satu bulan dia berada di rumah sakit. Alena masih bingung siapa yang membayar semua biayanya selama berada di rumah sakit. Meskipun Alena tidak dapat melihat, setidaknya dia bisa merasakan kamar ruang rawatnya bukan kelas biasa. Buktinya saja, dia hanya sendiri di dalam kamar ini dan selama satu bulan tidak ada orang lain. Televisi juga ada, Alena dapat mendengar suaranya. Pastinya kamar ini memiliki harga yang tidak murah. Pernah sekali Alena bertanya kepada dokter yang bertanggung jawab selama dia berada di dalam rumah sakit ini, siapa yang membayar semua tagihan rumah sakitnya? Dokter Zafran hanya tersenyum dan menyuruh Alena untuk tidak banyak berpikir karena ada orang baik yang membayar semua tagihannya. Entah berapa tagihan itu, mungkin sampai ratusan juta rupiah. Tante Desi hanya bisa membayar sebagiannya saja, entah ada masalah apa dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar. "Wahh bagus dong," balas Bagas tersenyum senang. Kondisi Alena memang sudah membaik, dia tidak lagi mencoba untuk mengakhiri hidup. Alena juga sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit. "Mau tinggal dimana?" Alena tidak memiliki siapapun lagi, dia juga bingung tinggal dimana. Sebenarnya rumah masih ada, tetapi dia belum terbiasa untuk hidup sendiri tanpa bisa melihat. "Belum tahu, tapi Dokter Zafran menawarkan untuk sementara tinggal dirumahnya." "Kamu tidak takut tinggal di rumah orang asing?" Bagas sedikit tidak suka. Entahlah, sejak awal dia memang tidak suka dengan dokter Zafran. Sampai-sampai Bagas hanya bertanya terkait kondisi Alena kepada suster Erin saja. Alena terdiam sesaat. Ia rasa semua yang hadir tiba-tiba dalam hidupnya adalah orang asing. Apakah Alena punya pilihan untuk menentukan kemana jalan hidupnya? Jika bisa memilih rasanya ia terlalu sombong dengan kondisi yang serba terbatas seperti sekarang ini. “Mas juga orang asing.” Kali ini giliran Bagas yang terdiam, apa Alena masih belum menerima kehadirannya? Padahal Alena sudah mulai membuka diri kepada dirinya. Ternyata memang Bagas terlalu banyak berpikir. “Oh ternyata kamu masih menganggap aku orang asing, terima kasih.” Alena sadar telah mengacaukan suasana kali ini. Meskipun begitu, Bagas tidak pergi. Dia masih berada di dalam kamar rawat Alena seperti biasa. Alena pun tidak berani membuka mulut lagi, dia hanya fokus makan es krim yang ada ditangannya. Bagas memperhatikan dengan sangat jeli. Jika ada es krim yang tumpah atau jatuh, maka Bagas langsung membersihkan dengan tisu. “Kamu tidak bekerja Mas?” Alena berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan sesuatu. Selama ini Alena tidak pernah bertanya soal apa pekerjaan Bagas. Yang jelas Bagas memiliki pekerjaan. “Aku rasa pertanyaan ini tidak terlalu penting untuk mendapat jawaban, kita hanya orang asing.” Bagas kembali menyinggung tentang kata orang asing. “Mas marah?” “Tidak, apa hak aku untuk marah?” Beberapa pesan masuk, ternyata dari sekretaris sekaligus orang kepercayaannya yang mengingatkan tentang pertemuan yang akan terjadi beberapa menit lagi. Bagas membalas pesan tersebut dengan singkat. “Kenapa gordennya tidak dibuka?” Bagas baru sadar jika tidak ada cahaya dari luar yang masuk padahal sudah pukul delapan pagi. Alena sedikit tertawa. “Tidak ada bedanya gorden dibuka atau tidak. Aku tidak bisa melihat apapun.” “Kita sudah membahas ini ribuan kali!” Bagas berdiri dan membuka gorden agar cahaya bisa masuk menggantikan sinar lampu. Setidaknya keadaan ini lebih baik. “Kamu marah!” Nada bicara Bagas tidak seperti biasanya. Alena menganggap Bagas marah. “Sudah aku katakan, aku tidak memiliki hak untuk marah!” Bagas mulai memasukkan beberapa jajanan ke dalam laci meja. “Nanti kalau butuh sesuatu minta tolong saja sama Mbak Erin. Makanan ada di laci.” “Kamu marah!” Lagu dan lagi Alena mengatakan hal yang sama. “Aku ada urusan penting, tidak tahu apakah akan selesai cepat atau tidak. Jika aku tidak bisa melihatmu setelah ini, maka aku berharap kamu bisa menjalani hidup dengan baik.” “Aku nggak suka nada bicara kamu Mas,” ujar Alena. “Aku harus seperti apa? Kamu menganggap aku orang asing, jadi aku bertingkah sewajarnya Alena.” “Jangan memperkeruh suasana, jika kamu tinggal di rumah dokter tersebut aku tidak akan bisa untuk melihat kamu lagi. Jadi aku harap kamu bisa hidup dengan baik. Aku pamit!” “Mas!!!” teriak Alena memanggil. Bagas tidak membalas panggilan tersebut padahal dia mendengarnya. Ia menatap Alena sekilas, setelah itu langkahnya benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit. Masker dan topi masih menjadi andalan Bagas untuk bisa keluar masuk rumah sakit tanpa ada yang mengetahui identitasnya. Bagas berjalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Bagas tidak sengaja berpapasan dengan dokter Zafran, entah kenapa Bagas ingin meludah saat itu juga. Sepertinya dia benar-benar tidak cocok dengan orang seperti itu. Dokter Zafran terkenal ramah di rumah sakit, dia juga masih lajang padahal umurnya sudah memasuki kepala tiga. Entah kenapa belum menikah, mungkin karana alasan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari atau juga ingin fokus dalam pekerjaan. Semua orang suka dengan kepribadian dokter Zafran kecuali Bagas. Menurutnya Zafran tidak ada apa-apa dibanding dirinya. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Bagas menghampiri nurses station untuk bertanya soal biaya Alena selama di rumah sakit. “Maaf Pak, Ada yang bisa saja bantu?” “Bisa perlihatkan berapa total tagihan pasien atas nama Alena di kamar VIP 05A.” “Maaf Pak, anda siapanya?” “Kerabat jauh.” “Bisa perlihatkan kartu identitasnya.” Bagas mengambil dompet di dalam saku celana, di membuka dompet tersebut dan mengambil salah satu kartu identitasnya. Awalnya karyawan rumah sakit tersebut hanya bertingkah seperti biasa. Namun saat melihat identitas dan foto Bagas, dia kaget. Selama ini dia hanya melihat sosok Bagas dari media sosial saja ataupun berita televisi. Ternyata sekarang dia bisa melihat langsung walaupun wajah Bagas tidak terlihat seutuhnya. “Kenapa Mbak?” Bagas merasa risih jika ada orang yang melihatnya terlalu dalam. Karyawan itu meminta maaf dengan cepat, setelah itu dia mencari total biaya tagihan pasien atas nama Alena. “Total tagihan 198 juta Pak, statusnya sudah lunas.” “Siapa yang membayar?” Bagas sangat tahu jika keluarga Alena kekurangan uang. “50 juta dibayar atas nama Desi, kemudian sisanya dibayar atas nama Zafran Rinaldi.” Wahh, Bagas benar-benar ingin bertepuk tangan sekarang. Apa motif dokter Zafran sebenarnya? Apa bisa diterima dengan logika dia membayar sisa tagihan yang tidak bisa dikatakan sedikit itu. Bagas rasa gaji menjadi dokter tidak akan bisa mengalahkan pendapatannya setiap hari. “Apakah pembayaran yang dilakukan dokter Zafran bisa di cancel?” “Untuk hal ini, Bapak bisa berkomunikasi dengan dokter Zafrannya langsung. Jika beliau setuju, maka uang yang disetorkan bisa kami kembalikan.” Bagas terlalu malas untuk itu. “Apa Mbak punya nomor rekening dokter tersebut?” “Maaf Pak, kami tidak bisa memberikan nomor rekening staff rumah sakit ataupun keluarga pasien kepada orang lain. Bapak bisa berdiskusi hal ini kepada dokter Zafran langsung.” Bagas tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia mengucapkan terimakasih dan langsung pergi dari sana. Bagas melakukan panggilan suara. Tidak butuh waktu lama, panggilan itu terhubung. “Cari informasi detail tentang Zafran Rinaldi, dia dokter dari rumah sakit A. Jika sudah mendapatkan nomor rekeningnya, langsung kirim nominal uang 200 juta.” Setelah mengatakan hal demikian, Bagas menutup panggilan tersebut dan segera melangkah menuju mobilnya. Mobil mercy keluaran terbaru, mobil itu baru sampai beberapa hari yang lalu. Bagas mengemudi mobil dengan kecepatan normal, mobilnya bergerak menuju perusahaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN