Setiap tiga puluh menit sekali salah satu perawat masuk ke dalam ruangan Alena. Menanyai apa ada yang diinginkan atau tidak.
"Saya cuma pengen sendiri," jawab Alena datar.
Alena sudah tidak seperti orang hidup. Dia berpikir apa gunanya hidup jika hanya sendiri, ditambah lagi dia tidak bisa melihat apapun. Kegelapan yang amat menakutkan harus dia hadapi setiap detiknya. Rasa takut yang kian mencekik dirinya.
Setelah lama berbaring tanpa melakukan apapun dan hanya ditemani tangis tanpa suara, Alena memencet tombol pemanggilan perawat. Dia awalnya kesusahan mencari tombol tersebut, butuh usaha yang luar biasa.
"Ada yang bisa saya bantu Alena?" tanya perawat tersebut.
"Saya mau keluar cari angin, bosan cuma di sini," jawab Alena yang sudah mencoba beranjak dari ranjangnya.
"Bentar Ale, saya harus konfirmasi dengan dokter penanggung jawab dulu."
Perawat itu buru-buru mencegah agar Alena tidak beranjak dari tempat tidur. Alena menghela napas, "Silahkan."
Perawat menghubungi dokter penanggung jawab dan ternyata diperbolehkan karena sudah lima hari Alena hanya berada di kamar. Dia tidak mengalami hal serius pada anggota tubuhnya kecuali hanya pada syaraf mata.
Alena menuju ke taman dengan bantuan kursi roda.
"Sekarang jam berapa mbak?" tanya Alena.
"Jam lima lewat dua belas Alena. Dokter hanya memberi waktu dua puluh menit," jawab perawat yang mendorong kursi rodanya.
"Itu sudah cukup."
Alena merasakan angin yang menerpa dirinya. Sangat menyegarkan dibanding berada di dalam ruangan.
Alena memejamkan matanya walaupun tidak tidak bisa melihat apapun. Dia merasakan suasana di taman tersebut.
Alena pernah berada di rumah sakit karena menemani sang Papa menjenguk teman lama. Dia sudah membayangkan tamannya seperti apa. Mereka berada di lantai tiga. Suara deru kendaraan terdengar karena di bawahnya ada jalan yang terbentang.
"Mbak saya haus," celetuk Alena.
"Ayo masuk kalau gitu," ujar perawat.
Alena menggelengkan kepalanya, "Baru lima menit di sini Mbak."
"Aduh... Saya nggak bawa ponsel pula buat minta tolong perawat lain agar membawakan minuman kesini. Nggak bisa ditahan hausnya?"
Alena terkekeh sebentar, "Mana bisa mbak!"
"Aduh gimana dong?"tanya perawat bernama Erin itu. Dia sangat dilema sekarang.
"Tinggal ambil di kamar saya Mbak," jawab Alena entang.
"Nggak apa-apa tinggal sendiri di sini?"
"Nggak apa-apa. Toh saya juga nggak bisa liat. Bisa kemana kalau buta gini mbak. Jangan khawatir, disini banyak orang."
Apa yang dikatakan Alena benar. Di taman itu banyak orang duduk atau sekedar mencari udara segera seperti dirinya. Alena tahu tentang keramaian itu dari suara-suara yang terdengar. Erin pamit untuk mengambil minuman, dia berlari dengan berat hati.
Sedangkan Alena langsung berdiri dari kursi rodanya. Dia meraba-raba apa yang ada di depan. Empat langkah, dia bisa merasakan dinding pembatas yang hanya setinggi dadanya.
"Ma, Pa Gimana kabarnya di sana?"
"Pasti senang banget ya di sana, kenapa nggak ajak aku?"
Air mata Alena mengalir, dia tersenyum sangat lebar.
Meskipun di taman ada beberapa orang, tetapi mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Alena berdiri dari kursi roda, dia meraba-raba apapun yang ada di depan dengan kedua tangannya. Tangan Alena menyentuh sebuah dinding, dinding itu sebatas pinggangnya. Tanpa ragu Alena memanjat dinding pembatas itu. Dinding itu tebal sehingga di atasnya bisa duduk bahkan berdiri.
Dengan susah payah, Alena bisa naik ke atasnya. Tidak ada yang mencoba menghentikan ataupun melarangnya. Mungkin orang melihat itu hal biasa, sehingga mereka tidak mempedulikannya.
"Rasakan anginnya Alena," monolog Alena sendiri. Dia membentangkan tangan untuk lebih merasakan hembusan angin. Satu langkah ke depan maka semua akan selesai.
"Selamat tinggal dunia,"
Brakk
"Alena," teriakan itu sangat kuat.
Alena merasakan tubuhnya masih sempurna.
"Kamu gila?" bentakan itu membuat Alena kaget. Dia tidak tahu siapa yang berada di depannya sekarang. Suara tegas mengingatkannya kepada Papa yang akan berbicara tegas saat Alena melakukan kesalahan.
"Apa yang mau kamu lakukan?" ujar Erin yang sudah kacau. Dia tidak bisa membayangkan jika tidak ada yang menarik Alena agar tidak melompat.
"KALIAN NGGAK USAH URUS HIDUP SAYA! SAYA NGGAK MAU HIDUP LAGI. APA SALAH?" ujar Alena dengan suara kuat. Dia memberi penekanan setiap katanya.
"Alena bu-" ucapan Erin terpotong.
"Salah, Kamu salah besar. Apa dengan kamu lompat dari sini bisa langsung mati? Kalau kamu masih hidup bagaimana? Hidup kamu tambah hancur. Jangan cuma mikirin hidup kamu, jika saja kamu bunuh diri maka perawat yang jaga kamu akan di pecat. Dia akan trauma seumur hidup, ngerti kamu?"
"Tidak usah pedulikan saya, pergi!!!!!!!" teriak Alena kuat. Semua orang di sana melihat ke arah mereka.
"Pergi? Apa orang tua kamu akan senang jika anaknya melakukan tindakan gila? Jawab saya!!"
Alena terdiam, ia tahu jika perbuatan bunuh diri sangat dibenci oleh Allah. Tetapi apa yang terjadi tidak bisa dia terima. Semua terlalu menyakitkan untuk dirinya. Alena benci hidup ini, kenapa dia harus menerima kenyataan tidak adil seperti ini.
"Kalau kamu tidak mau menyusahkan orang lain, maka hiduplah dengan benar!"
"Anda tidak tahu apa yang sayang rasakan," balas Alena tajam. Mereka semua berkata sabar-sabar, tetapi apakah orang tahu apa yang Alena rasakan sekarang? Mereka hanya tidak merasakannya saja sehingga dengan enteng berkata seperti itu.
"Memang saya tidak ada di posisi kamu sekarang, tetapi apakah bunuh diri bisa menyelesaikan segalanya?"
Alena menangis terisak. Dia tidak ingin menyusahkan siapapun, baik perawat yang menjaganya ataupun adik Mamanya. Alena hanya ingin menghentikan rasa yang kian mencekiknya dengan sangat menyakitkan.
"Mohon maaf Jangan membentaknya Mas, psikisnya sedang tergoncang," ujar suster Erin. Ia tidak mau membuat kejiwaan Alena bertambah buruk.
"Saya hanya mau buat dia sadar Mbak!" Sosok laki-laki itu terlihat sangat geram dengan apa yang ingin dilakukan oleh Alena. Erin tidak kenal siapa laki-laki itu, mungkin dia adalah salah satu kerabat dari pasien yang di rawat di sini.
"Saya tahu niat Mas baik, tetapi jika terus membentaknya seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tolong pahami kondisi Alena Mas," balas Erin. Ia berharap laki-laki itu mengerti tentang situasi yang terjadi.
Erin membantu Alena bangun. Banyak orang yang melihat mereka. Erin membersihkan kotoran yang menempel pada tubuh Alena. Ada sedikit luka lecet di tangan dan kakinya Alena karena gesekan lantai.
"Terima kasih banyak untuk hari ini Mas, jika tidak ada Mas saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi," ucap Erin dengan tulus. Ia juga salah karena membiarkan Alena sendiri tanpa pengawasan. Erin akan menjadikan ini pelajaran agar tidak lalai lagi dari tugasnya.
Laki-laki itu mengangguk sambil menatap Alena dalam. Erin membawa Alena masuk dengan menggunakan kursi roda. Alena masih menangis karena pikiran tengah kacau.
"Nggak apa-apa Alena, jangan menangis lagi ya," ujar Erin lembut.
Alena menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia benar-benar berada dalam kondisi kacau. Pikirannya kalut, apalagi semangat hidupnya sudah tidak ada lagi. Berulang kali Alena menyadarkan diri bahwa semua bukan mimpi belaka, semakin dia menerima semuanya maka semakin terasa amat menyakitkan. Ia tidak bisa melihat apapun, semuanya gelap gulita. Bahkan ketakutan Alena terhadap gelap sama sekali tidak terasa lagi. Usianya masih 19 tahun dan harus kehilangan segalanya, ia kehilangan keluarga, kehilangan mimpi dan kehilangan harapan. Lantas untuk apa Alena hidup sampai detik ini? Apa tidak cukup penderitaannya sekarang? Apa masih kurang?
Aksi heroik yang baru terjadi beberapa waktu yang lalu menjadi viral. Ada yang tidak sengaja merekam adegan tersebut. Dalam hitungan detik semua kagum dengan sosok yang baru saja menolong Alena. Bahkan banyak yang mencari tahu tentang identitas laki-laki tersebut. Ya hanya butuh waktu sebentar saja, identitasnya langsung tersebar kemana-mana. Dia adalah Bagas Rendra Baskara, pemilik dari perusahaan Baskara Grup.
Kaum hawa semakin mengagumi sosok Bagas. Dalam pandangan meraka Bagas adalah paket komplit. Dia ramah, kaya, ganteng dan baik hati. Bahkan setiap bulan selalu melakukan kegiatan Amal untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Bagas tidak langsung meninggalkan rumah sakit. Ia berjalan mencari kamar perempuan yang baru saja dia selamatkan. Bagas hanya bisa melihat dari jauh. Alena sudah tertidur karena disuntikkan obat penenang.
“Eh Mas,” Erin kaget saat keluar dari kamar Alena.
“Bagaimana keadaannya Sus?” tanya Bagas penasaran.
Erin baru sadar jika Bagas sangat-sangat tampan. Efek kacau karena tindakan Alena yang ingin mengakhiri hidup dia tidak bisa melihat Bagas dengan baik. Erin senyum-senyum sendiri.
“Sudah lebih baik Mas, terima kasih sekali lagi karena menolong Alena.”
“Namanya Alena?” tanya Bagas lagi.
Erin mengangguk.
“Keluarganya dimana?”
“Alena dan orangtuanya mengalami kecelakaan, hanya dia yang selamat. Ada tantenya yang menjaga, tapi karena ada urusan mendadak jadi beliau meninggalkan Alena sebentar.”
“Bagaimana psikisnya?”
“Tenang saja Sus, saya bukan orang jahat.” Bagas sadar jika suster Erin merasa tidak nyaman dengan pertanyaanya.
“Saya hanya jaga-jaga Mas, bisa aja oknum yang ingin menjual belikan manusia,” tukas Erin.
Bagas tersenyum tipis. Dia mengeluarkan kartu nama.
“Tenang saja Sus, saya bukan orang jahat.”
Pupil mata Erin melebar, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan CEO yang diidam-idamkan kaum hawa tersebut. Bahkan artis dan selebgram juga mengincar sosok Bagas.
“Maaf Mas eh Pak saya sudah lancang.” Erin malah jadi grogi sendiri.
“Tidak apa-apa suster, saya hanya tidak bisa melihat perempuan rapuh seperti itu. Kakak saya dulu lemah, dan ditinggalkan sebentar saja langsung ingin mengakhiri hidup sehingga saya tidak mau hal itu terjadi pada Alena.”
Hati Erin jadi dag-dig-dug tidak jelas. Siapa laki-laki yang bisa sesempurna ini? Dia benar-benar jatuh cinta pada sosok Bagas.
“Dia masih cukup muda, berapa umurnya?”
“19 tahun Pak, dia baru saja diterima diperguruan tinggi. Anak semuda itu sudah mengalami kejadian yang sangat menyeramkan.”
Siapa yang tidak bersimpati pada Alena, dunianya hancur dalam hitungan menit saja.
“Bapak keningnya kenapa?”
“Saya tidak sengaja terjatuh.”
“Apa lukanya sudah diperiksa?”
Pertanyaan Erin membuat Bagas tidak nyaman. Ia tidak suka orang yang bertanya-tanya tentang dirinya.
Setelah mendapat informasi tentang Alena, Bagas langsung meninggalkan rumah sakit. Dia membawa mobilnya sendiri meskipun kesulitan karena tangannya sakit. Bagas tidak ingin memanja-manjakan tubuhnya.