Assalamualaikum ukhti. Perkenalkan, ana David, Ahmad David Hanbali. Adapun tujuan dan niat hatiku menggores tinta dalam beberapa kata, tak lain tak bukan ialah untuk menemukan labuhan rasa.
Ukhti, ana mungkin belum mapan. Baik secara lahir maupun batin. Rupa pun tak seberapa sudah. Apalagi ilmu yang masih mengalahkan benang basah, belum memiliki tumpuan yang bertuah.
Namun begitu, ana teringat ajaran para guru kita bahwasanya menikahlah saat sudah siap. Bismillah, ana siap untuk mempertanggungjawabkan ukhti dunia dan akhirat. Sejujurnya, dua bulan belakangan ini, sudah pontang panting rasanya jiwa berpuasa dan mendekatkan diri kepada-Nya, namun kiranya gundah gulana itu ana rasa harus menemukan jawabnya, Ukhti.
Biar ada yang akan menyimakkan murajaah ana ketika keliru ikhfa dan idghamnya. Biar ada yang mengisi kekosongan sajadah di belakang punggung ana. Biar dua puluh tujuh derajat selalu dalam genggaman setiap malam kita.
Dahi Ustadzah Laila berkerut demi menyaksikan jemari yang menggamit kertas merah muda itu bergetar.
"Antum kenapa, Maria?"
"Astaghfirullahal azhim, astaghfirullahal azhim." Lirih Maria seraya meremas benda rapuh di tangannya itu lantas menyerahkannya ke pelukan bumi.
"Tak apa. Jangan terlalu dipikirkan. Itu khitbah, bukan perintah."
Setelah kembali menguasai diri, Maria bangkit.
"Apa yang ada di pikirannya, Dzah? Siapa dia sebenarnya sehingga bisa begitu percaya diri? Apa yang dia ..."
Ustadzah Laila terbelalak demi menyaksikan sosok di depannya ...
"Afwan, Ustadzah."
Belum selesai Ustadzah Laila mencerna episode baru di hadapannya, si empunya drama memilih lebih dulu meninggalkan tempat kejadian perkara.
***
"Yauma yaqụmur-rụḥu wal-malā`ikatu ṣaffal lā yatakallamụna illā man ażina lahur-raḥmānu wa qāla ṣawābā."
"Zālikal-yaumul-ḥaqq, fa man syā`attakhaża ilā rabbihī ma`aba."
"Illa hamiimaw ..."
BRAKK!
Rotan itu mendeham ke sisi meja.
"Illa hamiimaw wa ghassaqa ..."
BRAKK!
Lagi.
"Afwan, Ustad."
"Illa hamiimaw wa ghassaaqa ..."
"Astaghfirullahal azhim." Maria bergidik. Sebelum sesuatu lebih mengerikan terjadi, ia putuskan menyelamatkan diri.
"Kalla saufa ta'lamuun."
BRAKK!
***
Ustadzah Laila bangkit berdiri. Berharap sudah ada kata pasti, dari seseorang di depannya yang tengah melamun mengembara diri.
"Apa antum ... "
Maria beralih, menohok seseorang di depannya yang sepertinya akan melancarkan pukulan strike. Jelas sekali dari kelak kelok bibirnya yang penuh aba-aba itu.
"Tidak, Dzah. Mana mungkin." Sentak Maria sehalus mungkin.
Ustadzah Laila menabok jidat. Ia akhirnya paham mengapa anak di depannya ini memegang gelar juara lomba debat bahasa Indonesia antar pesantren 5 kali berturut turut.
"Ana bahkan belum selesai, tapi antum sudah ...
Ia lempar pandangannya ke luar jendela, lantas menarik napas perlahan. "Sebenarnya, menurut ana, lelaki seperti dia, patut antum pertimbangkan. Kenapa? Karena keberaniannya dalam membina rumah tangga padahal masih dalam usia belia. Banyak lelaki yang memperturutkan hawa nafsu dengan berkedok menikmati masa muda yang akhirnya menghancurkan hidup mereka dan orang sekitarnya ..."
"Tapi, Dzah ..."
Ustadzah Laila memegangi dadanya sejenak. Mengatur ritme oksigen yang tadinya meletup karena diserobot.
Maria tertunduk. Ia menggigit bibir.
"Soal agama, ana yakin ..."
Blablablabla.
"Hafizh dan Hafizhah ..."
Bagaimana bisa dia jadi seorang Imam?
Maria menggeleng pelan ketika gema an naba itu kembali lewat tanpa permisi.
"Ahmad David Hanbali ..."
Bahkan namanya ... aneh. Perpaduan macam apa itu.
"Alangkah indah murajaah bersama ..."
Panggil Ustad Arkan atau Ustad Yusuf saja kalau begitu.
"27 derajat ..."
Mesjid depan juga butuh imam, Dzah.
Ustadzah Laila memegangi kedua sisi meja yang dijadikan siku Maria sedari tadi untuk mengokohkan diri.
Maria yang sedari tadi menunduk dengan kedua tangan mengatup, mau tak mau mendongak menyadari beberapa gelombang merambat melalui sela-sela meja.
K.O.
Adegan itu berakhir dengan salam penutup dari Ustadzah Laila yang kemudian beranjak menyelamatkan diri sebelum benar-benar dimangsa.
"Waalaikumussalam." Jawab Maria seraya mengedikkan bahu, berusaha mencerna apakah mungkin ia melakukan kesalahan.
***
"Kenapa, Dzah? Abis pelajaran olahraga ya tadi? Ustad Yendra ndak masuk?" tanya Ustadzah Mayra mendapati sang rekan kerja macam orang kehabisan napas.
"Astaghfirullahal azhim. Astaghfirullahal azhim." Lirih Ustadzah Laila sambil mengembalikan jalur napasnya seperti sediakala. Konyol sekali rasanya sesak sendiri karena kisah cinta orang lain yang belum tentu direstui Ilahi, apalagi subjeknya itu santri sendiri. Ya salaaam.
"Ini, Dzah." Ustadzah Mayra menyodorkan botol air mineral yang sebentar ini baru dibelinya di kantin bulat bulat demi menjaga keramahtamahan.
GLEK GLEK GLEK!
Krekk!
"Syukran, Dzah." Lirih Ustadzah Laila tersengal-sengal. Diusap-usapnya pundak si lawan bicara lembut.
Ustadzah Mayra menatap karya seni penyok di telapak tangannya dan sang rekan kerja yang habis manis sepah dibuang bergantian.
"Dek?"
Panggil sebuah suara yang akhirnya memecah adegan krik-krik itu sebelum akhirnya benar-benar berakhir memilukan.
"Assalamualaikum Ustad Arkan." Sigap Ustadzah Mayra membungkuk memberi salam yang lantas hanya dibalas lengkung bibir dari seberang sana. Ia mencibir menyaksikan rangkulan Ustad Arkan yang begitu akrab di bahu Ustadzah Laila, mengedikkan bahu, kemudian berlalu.
***
"Jangan tanya ..." Larang Ustadzah Laila seolah mafhum dengan alur pembicaraan yang akan disampaikan.
Alis Ustad Arkan terangkat.
"Ya Allah ... Laila. Lagi?"
Ustadzah Laila bersungut-sungut, tak terima. Perbendaharaan kata di ujung bibir tenggelam begitu saja. Ya, ia selalu memilih sebagai defender jika sudah berdebat dengan sang abang.
"Iya ... iya ..." Laila manyun. Kalau sudah membahas santrinya, pasti Ia serta merta menjadi nomor dua. Terkadang Laila ragu, apa benar Arkan Al Firdaus ini benar benar saudara serahimnya.
"Assalamualaikum Ustad."
Saat seperti ini, dua bersaudara yang tadinya sikut sikutan itu kompak menabok dahi.
Timing yang benar benar hancur!
Namun kekhawatiran itu ...
"Kenapa antum sumringah sekali, David? Ada hal baik yang terjadi?" tanya Ustad Arkan mendapati pemandangan langka itu.
Ustadzah Laila yang tersenyum canggung. Bingung menetapkan keberadaannya sendiri, entah masih sebagai tokoh utama atau tokoh sampingan yang hanya lewat saja sebagai pemanis.
Santri yang dipanggil David itu menggangguk lantas berujar, "Tentu, Ustad. Ana bersyukur karena masih diberi kesempatan, Ustad. Bukankah syukur membuat segala hal menjadi baik, Ustad?"
Ustadzah Laila tergelak. Tak menyangka humor yang terkesan dipaksakan itu dengan lancarnya mengudara.
Ustad Arkan sigap menyikut sang adik, mengantisipasi.
"Jangan berputar-putar, David. Kalau hanya untuk membanggakan diri karena mengamalkan setiap apa yang antum pelajari, antum tidak akan mencari ana ke tempat seprivat ini, bukan?" tohok Ustad Arkan menegaskan.
David memperhatikan sekelilingnya.
Astaghfirullah.
Bisa-bisanya ia baru sadar sedang berada di mana sekarang.
"Maaf Ustad Arkan, Ustadzah Laila ..." ia bungkukkan badan meminta sedikit pemakluman.
"Ya sudah, cepat beritahu. Bagaimana kabar calon antum itu hari ini?" sambar Ustadzah Laila yang dibalas pelototan oleh Ustad Arkan dan cengiran oleh si empunya kisah. Bagaimana tidak, ada yang peka terhadap perasaannya.
Tanpa menunggu waktu lama, tiga titik itu membentuk segitiga persekutuan. Setelahnya banyak hal mengalir begitu saja dengan satu fokus di puncak piramida utama.
***
"Barakallah. Antum berhasil membuktikannya untuk ke sekian kali." Tutur seorang ustadzah dengan pashmina selutut menyaksikan sebuah piala dalam gamitan sepasang tangan Maria.
"Iya, Dzah Els. Padahal di asrama, kerjaannya cuma nonton video debat, eh nggak taunya ..." Celetuk Ameena jujur, yang untungnya tidak mendapatkan kado toyoran di dahi.
"Iya, iri deh. Kemaren juga jadi yang terbaik dengan menyelesaikan kitab Al-Ajurumiyah dan Amtsilah At-Tashrifiyah dalam waktu kurang dari 1 bulan." Tambah Rasya seraya mencubit lembut lengan sahabatnya itu.
"MasyaAllah, semoga antum bisa melanjutkan ke Kairo sebagaimana cita cita antum yang tertempel di dinding mimpi dulu."
Ketiganya berpandangan sekilas lalu. Saling mengedip seraya tersenyum simpul sepeninggal perempuan yang mereka panggil Ustadzah Els itu. Seorang santri datang kemudian menghalang gerak bibirnya dengan sebelah telapak. Mungkin Syekh memiliki sesuatu yang harus beliau sampaikan pada sang anak.
"Ssssttt ..." Setelah dibelai lembut sang angin dengan dinginnya, Ameena sekonyong konyong menyikut para sahabatnya, memaksa keduanya menoleh.
"Assalamualaikum, Ukhti."
Dia?
Maria kontan melengos. Bisa-bisanya adegan yang sering ia saksikan dalam FTV FTV jadi diperankan oleh dirinya sendiri.
"Waalaikumussalam, Akhi." Jawab Ameena lembut seraya menggoyangkan gandeng tangannya yang menyampir ke lengan Maria.
"Ada yang bisa dibantu, Akhi?" giliran Raisya yang dengan tegas bertanya. Sejujurnya, ia paling tidak suka jika we timenya dengan para sahabat kesayangan terganggu gara-gara iklan yang kebetulan lewat.
"Begini, Ukhti, ana bermaksud ..."
"Afwan, Akhi, Ukhti, ana permisi!" tanpa tedeng aling aling, Maria menyentakkan tangan kedua orang yang menumpang di lengannya lantas membungkukkan badan. Menyelamatkan diri dari drama kehidupan yang sepertinya akan rumit jika terlalu dijalankan apalagi tanpa persiapan.
"Mar ..."
"Mar ..."
Lurus saja seperti jembatan shiratal mustaqim. Maria tak lagi peduli dengan panggilan panggilan alam yang menyuruhnya sekadar menampakkan basa basi.
"Afwan, Akhi David. Assalamualaikum." Pamit Ameena lantas mengangkat gamis, bermaksud segera menyusul Maria.
Sayangnya, belum apa-apa ...
PLAKK!
Sesuatu menghantam lengannya, mengingatkan tentang cara berjalan perempuan yang sesuai dengan anjuran Sunnah.
David menghela napas kasar.
***