Tamparan

1559 Kata
Bibir Maria melengkung senyum. Untunglah sang tabir melaksanakan tugasnya dengan baik. Kalau tidak, ia pasti sudah dicap sakit jiwa. Ah, kebetulan yang benar-benar menjelma takdir. Ternyata dunia belum sejahat itu pada-Nya. Hampir saja ia menyerahkan hidup kepada jalanan dan aspal kalau saja tidak bertemu sang jalan keluar. "Assalamualaikum, ukhti." Sinyal bahaya. Bagaimana bisa dia di sana? Sejak kapan? Saking tak siap, Maria sampai mengagetkan bunga tak berdosa yang semenjak tadi menemani nostalgianya. "Astaghfirullah, maaf, waalaikumussalam akhi." Nyaris saja si imam melupakan kajian perihal mahram menyaksikan tangannya bergerak lebih cepat daripada otaknya. Sungguh empati yang hampir menjerumuskannya dalam dosa. "Tidak masalah. Ukhti terluka?" tanyanya lagi. "Nak David ..." Dari kejauhan seorang bapak dengan setelan koko dan peci melambai dari pintu kemudi. Maria jelas sekali mendengar bunyi desis di balik punggungnya setelah suara itu memanggil. Entah, mungkin saja yang dipanggil merasa haknya terganggu sejenak. "Sebentar, Pak ... Ukhti ..." Tiiiin tiiiiiin! David mengerang lantas berucap istighfar. Yah, sepertinya Sang Pemilik Raganya belum mengizinkan taman di hati David untuk kembali berbunga. Pada akhirnya, ia bungkukkan badan lalu ... "Hmm ..." Susah payah Maria menahan gelombang panas yang mengaliri sendi-sendinya. Juga, untuk tidak menoleh menyelidik keadaan di belakang sana. Takut akan ada yang mencelos dari tempatnya jika demikian adanya. "Maksa banget itu si Bapak rete ..." Celetuk sebuah suara tak jauh dari tempat Maria memaku langkah. "Pak RT?" sambut suara kedua mengklarifikasi. "Iyaaaaa. Sejak punya marbot ganteng, jadi rajin banget syukuran, udah kayak minum obat." "Bau-bau janur mau melengkung ni." Keduanya mengangguk-angguk, membungkam mulut, lalu saling menabok manja hingga ... BRAKK! Sapu yang sedari tadi berkontribusi dalam kenyamanan ibadah umat itu berakhir lemah tak berdaya. Pandangan si korban menerawang menelisik setiap lapisan udara di sekitarnya. Jemarinya meraba-raba sensor bulu kuduk yang sepertinya tengah berbaris rapi seolah menyampaikan sebuah pesan. "Astaghfirullahal 'azhim. Astaghfirullahal 'azhim. Astaghfirullahal azhim." Lirih Maria seraya mengucek matanya yang absen berkedip selama beberapa menit. Lantas mengecek tempo adrenalin di area rongga dadanya sebelah kiri. *** Mbok Rahima menyentuh ekor matanya yang berembun. Bagaimana tidak, sedari tadi wanita berbalut mukena di depannya itu menadah tangan haru. Pipi lembabnya meranum. Membuncahkan sesak yang menggunung dalam pelukan sepasang rusuk yang sudah merawan. "Sudah, Ndok ..." Lirih Mbok Rahima seraya memegangi ulu hatinya yang mendadak ngilu. Yang dipanggil bergeming, tak ada pergerakan sama sekali. Tak ada niat untuk sekadar mengalihkan simpuh yang semenjak tadi berpelukan erat. *** "Loh, loh, loh ..." Mbok Rahima yang muncul dengan segepok jemuran tergopoh-gopoh meletakkan beban di pundaknya. Sesigap mungkin, mencekal lengan seseorang yang sepertinya akan membuat keputusan konyol yang memperturutkan emosi semata. "Sebentar ..." Belum lagi mendengarkan jawaban orang yang dicekalnya, Mbok Rahima kembali masuk lalu datang dengan secangkir ramuan herbal. "Minum, dulu." Suruhnya seraya mengusap-usap punggung si lawan bicara. "Kenapa toh, Ndok? Jangan begini, kasihani dirimu. Dari kemaren perutmu belum diisi nasi. Apa pun yang Mbok buat ndak disentuh sama sekali. Ndak enak yo?" Rahmah memalingkan wajah. Ia paling tak bisa kalau wanita tua di depannya ini sudah mengiba-iba, jelas-jelas keadaannya sekaranglah yang lebih pantas dijadikan objek perasaan itu. Mbok Rahima mengangguk takzim. Ia tahu betul hidup wanita yang sudah ia anggap seperti anak kandung ini tengah di ambang derita. Cukup baginya untuk paham bagaimana awal kedatangan Rahmah yang sebatang kara, barang bawaan seadanya, tas kain lusuh, wajah sembab. Ditambah lagi, Maria, yang katanya sudah menyelesaikan studi dan berencana mengabdi di kampung yang bahkan tak membersamainya. "Kamu mau ke mana toh, Ndok? Kalau di jalan ada apa-apa gimana? Kamu udah ndak punya siapa-siapa lagi. Cuma kamu sama Mbok." Terang Mbok khawatir. Rahmah mengangkat wajah perlahan. "Aku ndak peduli, Mbok, yang penting anak dan cucuku selamat. Bagaimana kalau mereka kenapa-kenapa? Kasihan dia, Mbok, punya orang tua yang buruk." "Sudah-sudah, mau sampai kapan merengek, ndak malu kalau sampai ketemu anakmu dengan mata bengkak kayak begitu? Ayo!" *** "Mau ke mana, Nak David?" sapa seorang Bapak yang sedang fokus dengan perbaikan channel televisi nun jauh di atas kepala. David mendongak. "Ini, Pak, ada perlu sebentar ke pasaraya. Hati-hati, Pak, nanti amblas." David cengar-cengir seraya membungkukkan badan. Pemandangan itu sungguh melunakkan hati. Terlebih dengan perawakan muka timur tengah yang dominan mirip Omar Barkan al-Gala* membuat seseorang dengan tabir hitam menyelubungi di jendela musala itu tersipu. Astaghfirullahal azhim. Batinnya yang lantas memegangi rongga d**a yang bergemuruh. Sadar betapa lemahnya ia sebagai seorang hamba. "Ukhti ..." Sapa seorang ibu. Tunggu ... bukankah beliau yang kemaren ... "Huft!" Maria mendengus sebal begitu melengos. Ahaa. "Ibu yang kemaren bilang Pak RT mau ngambil Ustad David jadi menantu ya?" ujar bibir tipis itu tanpa memedulikan betapa berbahayanya fakta itu jika tersebar ke seluruh penjuru desa. "Sssssttt ..." "Bu Nandee ... dicariin Ummi tuu." Seru sebuah suara dari arah belakang. Yang dipanggil seketika galau. Bagai makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Kalau boleh memilih, mungkin maunya dia saja yang mati. Biar semua bahagia. Tapi tidak, hidup adalah pilihan. "Iya sebentar ..." Jawab Bu Nande sekenanya lantas kembali beralih kepada wanita bercadar di depannya. "Ukhti ..." Blablablablabla ... Maria menguap beberapa kali. Sayup-sayup mendengarkan klarifikasi sekaligus permohonan agar tidak ada nama yang dicatut. Sampai-sampai memaparkan list barang barang yang masih diberi tanggungan napas buatan setiap bulan, mulai dari televisi, kulkas, mesin cuci, dan keluarga dekat jauhnya. Kesimpulannya, ia bukan pendengar yang baik. Hingga pengang telinga dan curhatan kehidupan itu belum juga selesai sampai di sana. "Bu Nandeeeee ..." *** Rumah dengan plang merk RT 05 itu benar benar asri. Mirip semacam vila konglomerat. Perpaduan harmoni dari kayu gaharu dan warna coklat yang elegan. Mencolok jika dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk sekitar yang tak lebih dari sekadar kontrakan yang untuk bayar per bulannya saja masih ngos ngosan. "Assalamualaikum, Pak, Bu." Sapa seseorang dibalik pintu. "Waalaikumussalam." Pintu membuka. Seorang wanita paruh baya vs gadis belia. Empat mata. Wanita paruh baya itu mengernyit. Bagaimana tidak, rasanya ia tak pernah memiliki kenalan atau rekanan dengan busana serba hitam dan tertutup seperti pemandangan yang tengah terhampar di depan matanya ini. Wajarlah kalau tiba tiba dadanya bergemuruh, telapak tangan mengeras, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang buruk. Menyerang lebih dahulu. Maria mendengus sebal. Paham betul syak wasangka yang tergambar di tiap lipatan dagu dan dahi itu. "Afwan, Bu ..." Gerah karena hanya sejak tadi hanya berperang dingin dengan balon balon kata di udara, Maria akhirnya buka suara. "Perkenalkan saya dari Darul Ummah ..." Pupil mata si ibu membesar. "Berita terkini. Seorang wanita berinisial M ... dilucuti keperawanannya hingga ..." UHUK! Ckckckck! "Perempuan zaman sekarang mah nggak heran, ya kan, Pak?" celetuk si ibu sengaja, menganggu me time si bapak dengan seekor murai batu di teras belakang. Mengerti bahaya apa yang akan melanda, setelah mengelus kandang murai kesayangannya beberapa kali, si bapak akhirnya menampakkan muka. Kain lap yang tadi bertengger di tangannya sudah berpindah ke bahu. Sluuurrrp! Aaaah! "Ibu bener, cuman mereka juga ndak salah ..." Tatapan tajam itu menyorong begitu saja. Ingatan si ibu berputar pada trend belakangan yang menyoroti rumah tangga para publik figur tanah air. Sensor di kepalanya menandak nandak, curiga. "Hehehe ..." cengir si bapak yang langsung berinisiatif meregangkan urat urat leher sang istri setelah sebelumnya meletakkan cangkir hijau bercorak putih yang sejak tadi setia di genggaman. "Ndak bisa menyalahkan laki lakinya saja, wong si perempuannya juga doyan. Kenapa ndak ditolak sebelum kejadian?" terang si ibu bersikukuh. Si bapak mendengus sebal. Buat apa bertanya kalau akhirnya jawaban itu ada pada si penanya sendiri. "Tapi ada lho, Buk, tiba tiba dung ndak ada angin ndak ada hujan." Timpal si bapak yang polos tak tertahan, membuat Maria mengusap rongga dadanya sebelah kiri. "Astaghfirullah, si ibuk ..." Si bapak yang menyadari sesuatu akhirnya beranjak ke belakang. Meninggalkan dua wanita itu saling berpandangan. "Ini, Nak, diminum dulu. Maaf yo, bukannya ndak menghargai tamu." Si bapak memersilakan diiringi tatapan sinis sepasang pandang. Maria yang tak enak hati lantas menyesap beberapa tegukan. "Bapak denger tadi ada yang menyebut Darul Ummah ..." "Sebentar ya ..." Setengah memaksa si ibu menarik suaminya untuk sejenak melaksanakan rapat tertutup. Rahang Maria saling menekan mendengar beberapa bunyi yang kurang mengenakkan. Dua pasang tangan yang sudah dimakan usia itu mengembang di udara, sama sama mempertahankan kebenaran yang diyakini. "Penipu ..." "Teroris ..." "Minta sumbangan ..." "Ngutang ..." Dan banyak lagi pujian-pujian lain tertangkap telinga, yang memaksa Maria mengurut urut pelipisnya yang tiba-tiba meminta perhatian lebih. Daripada berlarut-larut, akhirnya ... "Tuh kan, Pak, apa ibu bilang ..." "Ibu yang nggak denger tadi ada 'assamualaikum', makanya ..." "Oh, bapak belain dia?!" "Ya Allah ..." si bapak yang jengah tiba-tiba mematung ... "BAPAK!" gerutu sang istri yang merasa diabaikan. "Hush ... ssssstttt ... ssssttttt!" Bukannya kalem, komposisi cairan merah di wajah bu RT nyaris saja ... "Sini!" sigap si bapak merengkuh sang istri dalam dekapannya, tak lupa membungkam mulutnya yang mungkin saja setelah ini bisa menjadi sumber dari lebih banyak masalah. Dua pasang mata itu bercengkerama. Bersama embusan sepoi yang memang dihadirkan penciptanya demi menunjukkan welas asih pada hamba. "Mereka ..." Bisik si ibu ketika tangan si bapak melemah. "Sssssst!" telunjuk si bapak kembali beraksi. "Apa sih, Pak ...!" si ibu tak terima. Pemandangan di depan sana masih belum beranjak dari bingkainya. Tak ada pergerakan sama sekali. Hanya sepasang figuran di belakang panggung yang meriuhkan setiap sudut bahkan sebelum pementasan. "Assalamualaikum, Pak ..." tokoh utama pria memilih abai. Meninggalkan dentum alat pacu jantung di rongga d**a si tokoh utama wanita yang pada akhirnya juga memilih melajukan langkah. *** *Pria yang 'katanya' diusir dari Arab Saudi karena dinilai terlalu tampan dan dikhawatirkan menggoyahkan iman wisatawan wanita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN