"Hwek! Hwek!" Maria mengelus perutnya perlahan. Berharap sesosok mungil di dalam sana mau patuh dan taat padanya, setidaknya saat ini saja.
"Naik, naik." Sudah berulang kali nada yang sama itu terputar di area pandang, namun kakinya masih bingung menentukan arah. Mau dan hendak ke mana, sementara matahari tak pernah ragu berganti rona dari pagi sehingga senja. Putih menjelma jingga.
"Dasar b***t!"
"Usir saja, Pak, keduanya kalau perlu. Toh, Bu Zu juga nggak ada kontribusi apa apa buat desa. Bapak mau semua kena bala hanya karena satu-dua orang saja?"
Pak RT yang terkenal bijaksana dan dekat dengan agama itu menggaruk kepalanya beberapa kali. Bukan, bukan karena kehilangan akal menghadapi berondongan tanya dan jawab, hanya saja ia menyerah kalau sudah membawa bawa azab segala. Mana bisa nanti ia mempertanggung jawabkan beban itu di akhirat.
Maria menyeka lembab di genangan kelopaknya kasar. Bagaimana mungkin! Dia tidak ... Ah, sudahlah, takkan ada yang paham. Takkan ada yang mengerti. Bahkan membawa bawa nama Tuhan pun sekarang juga takkan berarti.
Ya Al ...
Maria bahkan ragu siapa lagi yang bisa ia sebut namanya jika meminta. Akankah ia didengar?
Malang tak dapat dicegah, untung tak dapat diraih. Dua orang berpakaian lecet di mana mana dan perawakan muka tak terurus mendekat dari arah pukul tiga. Tentu saja dengan tatapan yang lebih cocok dibilang senonoh, apalagi kalau bukan menggoyangkan lidah bagai menemukan santapan lezat. Tak lupa juga melonggarkan ikat pinggang sekaligus mengencangkan sesuatu.
"Bro, sikat!" komando si codet pipi pada rekan setimnya. Keduanya mempercepat langkah. Tak ingin ketinggalan kado malam yang dipersembahkan alam. Ya, katanya yang terselubung itu bahkan lebih menggoda daripada mereka yang dengan sengaja menyodorkannya secara terbuka.
Maria tak mau kalah. Ia berpacu dengan waktu. Menyongsong bus yang bahkan belum sampai di pemberhentian. Membuat sopir bus yang peka terpaksa mengimbangi keadaan demi menegakkan keadilan.
"Kita berhasil, Mbak." Seru sopir bus yang dibalas bungkukan badan oleh Maria. Semua penumpang bertepuk tangan.
Maria mengembuskan napas lega. Setelahnya ia biarkan lelah yang berbicara, hingga juga tak sadar duduk di sebelah seseorang yang bukan mahramnya.
"Mama ..." Hati-hati, kelopak Maria membuka.
"Ini, Mama duduk aja di sini, ya. Kakak main ke sana ya."
Sosok kecil bergaun putih itu mulai mengeja langkah. Satu dua tiga, BRUKK! Satu dua tiga, BRUKK!
Maria menggapai gapai. Kakinya sudah akan menyusul langkah kecil itu kalau saja ... Sosok kecil itu menggeleng, memberi peringatan. Seraya mengusap usap lututnya yang memerah, ia lemparkan senyum, melaporkan bahwa semua baik baik saja lantas menyembunyikan diri di ujung kabut.
"Hosh hosh! Astaghfirullahal azhim." Lirih Maria begitu membelalak. Untunglah penumpang ... tunggu ke mana semuanya?
"Maaf, Mbak, saya ndak tau tujuan sampean ke mana. Mau bangunin mbok ya ndak tega. Maaf Yo, Mbak." Jelas pak sopir lembut.
"Ndak papa, Pak, saya yang ketiduran." Maria membungkuk lagi untuk kali terakhir. "Sungguh Allah Maha Besar mengirimkan bapak sebagai penolong saya. Terima kasih atas bantuannya, Pak."
Tiiin tiiiin. "Hati hati ya, Mbak. Jaga diri." Sorak pak sopir dari dalam bus.
***
"Hayya 'alash sholaaaah."
Maria mendongak. Menatap langit yang tampaknya memang sengaja tak memperlihatkan bintang.
“Saf lurus dan rapat!”
Suara itu …
“Allahu akbar!”
“Kamar mandi wanitanya sebelah sini, Mbak, hayuk atuh, nanti keburu ruku', jatuhnya masbuk.” Salah seorang jamaah paruh baya mengingatkan.
Merasa seperti sedang disuruh sang ibu, Maria serta merta bergegas.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” “Astaghfirullahal azhim, astaghfirullahal azhim.”
DASS! Tabir saf membuka, wajah sang imam menoleh. Tepat ketika tabir yang setia menutupi keelokan paras Maria kembali memainkan peran. Yah, dua pasang mata itu memang sempat bertumbukan, cukuplah untuk membuat rongga d**a kontraksi sekaligus berelaksasi.
Astaghfirullahal azhim. Ampuni hamba wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan Hati. Benarkah … bagaimana bisa seseorang berubah sebanyak itu? Walau bertanya-tanya, Maria tetap menikmati pemandangan yang dihamparkan Tuhan untuknya. Setidaknya begitulah pikirnya saat ini. Sepanjang tausiyah, ia tak bisa berpaling, bukan daripada ayat-ayat-Nya yang dilantunkan, tapi …
***
“Terima kasih Nak David, semoga betah ya Nak. Nanti Bapak akan sampaikan ke Darul Ummah bahwa kamu baik-baik saja di sini.” Sapa seorang jamaah yang lantas menyalami sang imam.
“Sama-sama, Pak. Mari." David mengantar si bapak sampai di depan pintu kemudian kembali menenggelamkan diri dalam ayat ayat sajdah yang kali ini menjadi target hafalannya.
***
“Auudzubillahi minasy syaithaa nirrajiim. Bismillahirrahmaanirrahiim.”
Ada yang berpacu, tapi bukan waktu. Jika saja ini aliran sungai, maka Maria benar akan menghanyutkan diri saja secara sukarela saking tenang alirannya.
“Innallażīna 'inda rabbika lā yastakbirụna 'an 'ibādatihī wa yusabbiḥụnahụ wa lahụ yasjudụn.”
“Wa lillāhi yasjudu man fis-samāwāti wal-arḍi ṭau'aw wa kar-haw wa ẓilāluhum bil-guduwwi wal-āṣāl.”
Jadilah sepasang gelombang suara berbeda warna itu sahut bersahutan sehingga menyelesaikan malam yang tadinya terasa begitu panjang.
“Shadaqallahul 'azhiim.”
Dua utas senyum melengkung syahdu di udara. Mengenali keindahan yang sayang sekali jika dilewatkan. Biar pandang tak tahu rupa, namun hati sepertinya mafhum mengapa debar di dalamnya begitu kentara.
Sekejap saja tak apa, naluriah memimpin perang. Setelahnya, bolehlah Raqib Atib kembali ke area pertahanan. Tenang, takkan ada tungkai yang bergerak dari tempatnya, lalu menyibak hijab antar shaf, menuntaskan keingintahuan. Tidak! Cukup sampai di sana karena Allah belum memberikan petunjuk lain pada hati yang baru saja berombak. Tenang, semua akan indah pada waktunya, bukan?
Ya, namun bukan hari ini. Setidaknya daging yang berdetak lebih cepat daripada cahaya di dalam sana sudah menemukan muaranya, ke mana hendak melayarkan bahtera. Tinggal menunggu persetujuan dan pertemuan keluarga saja hingga sepasang tangan kokoh berjabat mantap disaksikan sepasang mata kepala yang dipercaya semesta.
Sudah terbayang saja sebuah selendang tembus pandang melingkupi sepasang kepala hitam berbeda langgam. Menutupi gelegak dua raga yang ingin sekali menyatu sua.
Bagai dua sisi mata uang. Sepasang insan itu, demi Allah, hanya tinggal menyibak gorden memastikan. Rupanya kedua tungkai tiada lagi sanggup menuntaskan malam tanpa rasa penasaran. Takut terbawa hingga mimpi melegam.
"Assalamualaikum warahmatullah ..."
Keduanya terkesiap. Menoleh bersamaan, namun ... tak ada siapa-siapa.
Lengkung bibir itu merekah. Menengadah ke langit langit lantas kembali menertawakan diri yang benar benar lemah jika berurusan dengan hati. Kurang hati hati Dengan hati.
Ya Allah, ampuni kami, hambamu dengan iman yang bertepi ...