Flashback 2

1048 Kata
David membeku. Tak percaya dengan bunyi sumbang yang barusan tertangkap gendang telinga. Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya ... Hening. "Assalamualaikum, David ..." Sapa Ustad Arkan sealami mungkin lantas menyongsong kedatangan sepasang ibu dan anak itu. Ustadzah Laila menggigit bibir. Tak punya ide lain, akhirnya ia ekori sang abang yang memiringkan bibir pada sosok paruh baya di samping David. "Mari, Bu ..." Tuntun Ustadzah Laila, sopan. "Maaf, akhi. Mungkin kurang enak didengar. Tapi seperti itulah adanya." Jelas Maria setelah berbalik. Susah-payah Ustad Arkan dan Ustadzah Laila mengeluarkan gerakan senam wajah, berharap Maria sedikit saja tanggap suasana, namun sayang, juara debat satu itu memang tak melihat-lihat lawan kalau sudah menyatakan ketidaksukaan. Frontal sefrontal-frontalnya. "Maafkan ana, Bu." Terang Maria yang lantas mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. "Sebenarnya ada apa ini, Nak?" tanya beliau heran. Ia hanya tahu hari ini sang anak akan memberikan kabar bahagia, tapi sepertinya yang tampak di depan mata ... "Ana permisi, Bu, Akhi ..." "Ukh ... Ustad, Ustadzah, ana titip ibu sebentar." David mengatur napas sejenak lalu kembali berujar, "Ibu sama Ustad Ustadzah ya, Bu. David segera kembali." Terangnya lantas bergegas. Wanita tua itu mengangguk setelah sebelumnya mengusap usap punggung tangan yang singgah di pundaknya itu penuh kehangatan. "Dav ..." Tahu si abang akan meracau tak jelas, Ustadzah Laila cepat-cepat menghadiahi sikutan yang dibalas sinis. "Sssttt ... bukan saatnya bahas soal mahram mahraman, Bang, biarkan mereka menyelesaikan semua benang kusut ini sendiri." Bisik Ustadzah Laila yang kemudian membawa sang ibu duduk bercengkerama. *** "Tunggu!" seru David dengan tangan terulur di udara. Langkah kaki Maria akhirnya mengalah. Mungkin ingin memperjelas lagi segala sesuatu yang tidak perlu dimulai. "Kenapa, akhi? Bukankah antum sudah dengar?" "Bukankah tak sopan berbicara tanpa melihat lawan bicaranya, Ukhti?" tohok David. "Lebih tidak sopan lagi apabila dua pasang mata yang bukan mahram dan tanpa ikatan bertemu pandang. Bukan begitu, akhi?" balas Maria tak kalah sengit. David berkacak pinggang. Tidak menyangka mendapat perlawanan tak terduga. Selama ini, ia pikir semua berita yang berseliweran tentang akhwat yang kini mencuri singgasana di hatinya ini hanya isapan jempol belaka. "Baik. Tapi ijinkan ana bertanya sekali lagi ..." Maria bergeming. "Mengapa tiba-tiba berubah? Bukankah semuanya baik baik saja?" tanya David lembut, lebih kepada memohon. Tak terima dicap yang tidak tidak, tubuh Maria refleks berbalik. "Apa yang antum bicarakan, akhi? Ini pertama kalinya kita bertemu. Bisa bisanya antum mengarang cerita. Antum ingin menjatuhkan marwah ana?" Astaghfirullahal azhim. Bukan begitu, ini ..." David sudah akan mengeluarkan bukti bukti kalau saja Maria tidak kembali menyela, "Sudahlah, akhi. Tidak usah berbelit belit lagi. Dari awal, ana memang tidak pernah menaruh hati pada antum. Ana mohon maaf ..." "Tapi ibu ana, bisakah ukhti ..." ucap David mengiba. Tak ada lagi balasan. Maria membungkuk lantas berlalu. Meninggalkan David yang memandangi beberapa lembar kertas berwarna merah muda dengan hati yang entah bagaimana bentuk kepingannya. *** "Tabārakal-lażī biyadihil-mulk(u), wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr(un). Allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā(n), wa huwal-‘azīzul-gafūr(u). Allażī khalaqa sab‘a samāwātin ..." "Mar, Mar ..." sela Ameena yang tiba tiba muncul. "Allażī khalaqa sab‘a samāwātin ... Allażī khalaqa sab‘a samāwātin ..." Tangan Maria lincah mengibas ngibas udara supaya serangga pengganggu tidak mengambil peran syetan untuk membuat manusia dalam kesesatan. "Apa sih, Mee?" sambar Raisya duluan, membuat bibir Maria yang menegang kembali rileks. "Tunggu ... mereka jadi pergi sekarang, ya?" tambahnya mendapati sebuah rombongan memasuki bus bertuliskan PERTUKARAN PELAJAR SAUDI INDO. "Bukannya jadwalnya baru seminggu lagi?" giliran Maria yang bertanya. Bukan ... bukan karena seseorang yang baru saja menaiki bus. "Itu dia, kan, Mar, Sya ..." Maria memutar bola mata, jengah. Tak peduli lengannya sudah semerah apa demi menyaksikan antusiasme Ameena mendapati pemanis matanya yang sebentar lagi akan menyeberangi negara. Raisya yang lebih memiliki insting detektif, menyelidik setiap item di tempat kejadian perkara yang menggelitik nuraninya. Arah pukul 12. Arah pukul 3, Ustad Arkan, Ustadzah Laila ... Kesimpulan sementara: seseorang yang memilih memamerkan punggung di sebelahnya ini menjadi titik fokus yang harus digali terlebih dahulu. *** Dahi Maria mengernyit. "Jangan terlalu serius deh, Mar, besok aja lagi usahanya. Ustad Arkan juga ga maksa harus ziyadah minggu ini kok ..." Nasihat Raisya sok tau. "Bukan, Sya. Teman kita ..." Ungkap Maria yang sibuk mengedarkan mata. Raisya memonyongkan bibir. Menunjuk sesosok gadis dengan pashmina merah muda yang tengah melambai ditemani badai pasir level rendah. Maklum, siang itu angin, terik, dan asap hitam sepakat berkolaborasi membentuk komposisi. "Daaav. ..." Maria dan Raisya langsung sigap ambil langkah blokade ganda, sembari celingak celinguk mengamati mata-mata yang berkeliaran di sekitar. Berjaga-jaga. Jangan sampai besok ada postingan viral terpajang di homepage kampus. NO WAY! *** "Apa?" Reaksi klasik,nyang seharusnya muncul ke permukaan, ini pupus. Raisya bergeming. Gayanya lebih seperti detektif yang tengah memecahkan sebuah kasus. Ya Allah. Batin Maria. "Jangan-jangan antum ..." Raisya mengangguk pasti, masih dengan telunjuk belum terlepas dari otoritas dahi untuk tetap menetap. Maria menabok jidat. Lupa kalau di antara mereka bertiga, memang Raisya-lah si pendiam yang paling peka dan sensitif. "Kasian ..." Akhirnya Raisya buka suara demi menyaksikan Ameena memandangi jendela dengan dukacita. Maria dan Raisya bertemu pandang di titik yang sama. Mengangguk syahdu mengamati seorang gadis di bingkai jendela lantas menyerahkan kepada kasur yang sudah mereka tiduri selama beberapa hari karena murajaah sembari i'tikaf di masjidul ulum. "Haaaaaa ..." Kepala Ameena menyaru ke tengah-tengah, mengomandoi dua pasang mata lainnya untuk sejenak memejam, melengoskan wajah dari dunia yang kejam. *** Ana juga sangat ingin membina mahligai seindah Siti Khadijah dan Rasulullah. Mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Salat berjamaah. Mengurus anak bersama. Bukankah ibadah terindah ini yang kita tunggu, Akhi? ----------------------------------- Ujung lengan kurta David mengusap usap jendela, lemah. Astaghfirullahal azhim. Pantas saja Kahlil Gibran ... Wahai langit tanyakan pada-Nya mengapa dia menciptakan sekeping hati ini begitu rapuh dan mudah terluka saat dihadapkan dengan duri duri cinta begitu kuat dan kokoh saat berselimut cinta dan asa mengapa dia menciptakan rasa sayang dan rindu di dalam hati ini mengisi kekosongan di dalamnya menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih menimbulkan segudang tanya menghimpun berjuta asa memberikan semangat juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira mengapa dia menciptakan kegelisahan dalam relung jiwa menghimpit bayangan menyesakkan dada tak berdaya melawan gejolak yang menerpa wahai ilalang pernahkah kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini mengapa kau hanya diam katakan padaku sebuah kata yang bisa meredam gejolak hati ini sesuatu yang dibutuhkan raga ini...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN