"Jadi apa yang mau kamu bicarain, Dan? Aku ngga bisa lama, kasihan anak-anak di rumah. To the point aja, kalau mau bahas soal kita aku ngga ada waktu."
"Bukan, Na, bukan lagi soal kita. Aku cuma mau tau, tadi kamu sempat ketemu Allysa di sekolahan, 'kan? Kalau aku boleh tau, Allysa bicara apa?"
Sesaat Ayna terdiam. Apa yang baru saja Wildan katakan memang benar adanya. Tapi Ayna tidak menyangka kalau pria di depannya tahu. Apa dia mengikuti?
"Na?" tegur Wildan.
Ayna menghela napas seraya menjawab, "memang menurut kamu masalah apalagi, Dan? Kak Allysa itu ngga suka liat kamu masih ngurusin aku apapun bentuknya. Dan, kak Allysa ngga salah, sebagai istri wajar aja dia ngga suka. Kamu kapan sih mau hidup maju ke depan? Kamu udah punya Rena kalau lupa."
Kata demi kata yang Ayna utarakan mampu membungkam mulut Wildan. Mulut pria itu menang diam, tetapi tatapannya terus tertuju pada sosok Ayna. Wildan sadar, bahkan semakin sadar saat Rena hadir ke dunia. Melupakan kisah tujuh tahun bersama Ayna memang sangat sulit, tapi untuk mengulangnya pun tidak akan bisa. Selain sudah punya Rena, Ayna pun sudah mempunyai keluarga kecil bersama Varrel.
"Apalagi yang mau kamu harapin dari aku? Aku udah punya Varrel, sampai detik ini aku bahagia hidup sama dia. Selain itu aku udah punya Alaska sama Rania, anak-anakku. Sadar, Dan, kita itu saudara. Kamu mau tau, Dan? Kak Allysa udah capek sama kamu, bahkan dia bilang mau nyerah."
Kening Wildan menyerit mendengarnya. "Nyerah gimana maksudnya, Na?"
"Mau cerai sama kamu. Aku ngga asal ngomong, emang kak Allysa sendiri yang bilang. Lagi-lagi bukan salah kak Allysa, dia cuma udah kelewat capek. Kamu ngga mikirin apa gimana nasibnya Rena? Sekalipun kalian cerai, kalian bisa lanjutin hidup sendiri. Tapi Rena? Dia masih butuh kasih sayang utuh kalian berdua."
Sejenak keduanya terdiam. Kata-kata yang baru saja Ayna utarakan tidak langsung mendapat jawaban dari Wildan. Hati Wildan sangat tersentil mendengar penuturan Ayna. Tidak salah memang, bahkan benar semua. Saat ini Wildan juga sudah memutuskan sesuatu makanya berani mengajak Ayna bertemu.
Wildan meraih kedua tangan Ayna, menggenggamnya dengan erat. "Na, aku juga capek. Bukan cuma Allysa, sekarang aku juga capek. Aku mau hidup normal sebagaimana mestinya. Kamu mau bantu aku? Aku mau memperbaiki semuanya, aku mau mempertahankan Allysa dan Rena. Dan mulai hari ini ... aku anggap kamu ngga lebih dari sekedar adik ipar."
Lega?
Senang?
Tentu! Dua perasaan itu kini hadir di hati Ayna. Karena jujur saja, sejak dulu memang itu yang dia tunggu-tunggu ke luar dari mulut Wildan. Setelah beberapa tahun, pada akhirnya Wildan sadar juga. Saking senangnya, Ayna lupa menarik tangan yang kini masih digenggam erat oleh Wildan.
"Kamu serius sama omongan yang tadi? Kalau iya aku senang dengarnya. Tanpa kamu suruh, aku akan bantu kamu, Dan. Tapi kamu bisa janji?"
"Janji, Na, janji. Sekarang aku harus mulai dari mana buat memperbaiki semuanya? Apa Allysa akan percaya?"
"Ngga ada tips khusus, Dan. Langkah awal kamu harus minta maaf sama kak Allysa. Maaf yang benar-benar tulus. Setelah itu kamu utarain apa yang kamu bilang ke aku tadi. Kalau memang perlu, aku akan bantu ngomong ke kak Allysa," jawab Ayna dengan penuh keyakinan.
Satu masalah akan segera selesai. Walaupun membutuhkan waktu beberapa tahun, setidaknya ada titik terang untuk semuanya. Dan semoga ini yang terbaik untuk keluarganya dan juga keluarga sang kakak.
Ayna menarik kedua tangannya dari genggaman Wildan. "Kita coba pelan-pelan. Apa ada lagi yang mau kamu bicarain? Kalau ngga ada aku mau pulang, kasihan anakku pasti nyariin. Tadi aku cuma izin antar makan ke kantor Varrel."
Merasa semuanya sudah tersampaikan, Wildan menggelengkan kepalanya. "Itu aja yang mau aku bahas, Na. Makasih tetap mau bantu aku, kali ini aku benar-benar ingin menyudahi semuanya."
***
Sekitar pukul tiga sore Ayna baru sampai di rumah. Baru tubuhnya melewati pintu, suara bising dari kedua anaknya sudah terdengar. Ayna menghela napas, tetapi senyumnya tetap terbit di bibir manisnya. Kalau mereka masih berisik itu tandanya sang anak baik-baik saja.
"Buna pulang!"
"Bunaa!"
Ayna berjongkok, kedua tangannya terbuka menerima kedua tubuh anaknya yang langsung memeluk. Beruntung keseimbangannya baik, coba kalau tidak? Sudah pasti akan jatuh karena ditubruk oleh Alaska dan juga Rania.
"Sayang-sayangnya Buna. Kalian lagi ngapain? Jangan bilang berantem?"
Rania yang baru berumur tiga tahun hanya menatap wajah sang kakak sambil merangkul leher Ayna. Sepertinya banyak yang ingin dia utarakan, namun bingung. Sama halnya dengan Rania, Alaska juga tidak mau kalah ikut memeluk leher Ayna. Jadilah keduanya bersikutan. Alaska juga dengan wajah riangnya menciumi pipi sang ibu.
"Kalian habis bangun tidur apa gimana?"
"Aku ngga bisa tidur, Buna. Daritadi aku nunggu Buna pulang. Buna kenapa perginya lama? Ayah mana?"
Satu tangan Ayna mengusap pucuk kepala Alaska seraya menjawab, "Ayah masih kerja, masih di kantor. Nanti sore juga pulang kok. Yang penting sekarang ada Buna, jadi main sama Buna aja. Buna mau ganti baju dulu, kalian main lagi ya? Nanti Buna nyusul buat ikut main."
Alaska dan juga Rania kompak mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah mendapat izin dari kedua anaknya Ayna menutup pintu, setelah itu naik ke lantai atas menuju kamar. Sesekali Ayna menoleh ke belakang, beruntung anaknya tidak mengikuti. Sesampainya di kamar Ayna menaruh tasnya di atas meja rias. Karena tubuhnya terasa gerah, Ayna pun memutuskan untuk mandi.
Sekitar setengah jam di kamar mandi kini Ayna sudah berganti pakaian khas rumahan. Dirasa cukup, wanita itu ke luar dari dalam kamar. Sebelum menuruni anak tangga Ayna sempat mengirimkan beberapa pesan kepada Allysa. Pesan itu langsung dibaca, tapi beberapa menit menunggu tidak kunjung mendapat balasan. Apa wanita itu marah?
Tidak mau memusingkan Ayna memilih mematikan layar ponselnya lalu turun ke bawah. Melipir sebentar ke dapur, Ayna mengambil satu kaleng minuman. Perlahan namun pasti, wanita itu berjalan menuju ruang televisi. Bak terkena guncangan besar, ruang televisi benar-benar berantaka. Semua mainan turun tanpa sisa. Sedangkan pelakunya? Sedang asik berlarian mengejar satu sama lain. Ayna tidak menegur, dia membiarkan sambil memantau.
"Buna?"
"Kenapa, Bang? Capek?"
Alaska menggeleng cepat. "Tadi di kelas Rena nangis. Ngga ada yang jahatin, tapi nangis sendiri. Alaska tadi tanya, dia cuma jawab ayah. Rena kenapa, Buna?"
Tanpa perlu penjelasan Ayna sudah tahu ke mana arah pembicaraan Alaska. Inilah maksud Ayna kenapa kasihan kepada Rena. Belum apa-apa saja sudah terkena imbasnya. Semoga saja niat Wildan tadi benar-benar serius. Ayna tidak bisa membayangkan kalau mereka tetap memilih bercerai.
"Buna kok diam, sih?"
Lamunan Ayna buyar. Tangannya terulur mengusap pipi Alaska. "Ditemani terus ya Rena nya?"
***