"Kamu kenapa sih? Udah dua hari aku ngerasa ada yang beda dari kamu. Aku ada salah atau gimana?"
"Biasa aja."
"Tuh, ini namanya ngga biasa aja! Coba bicara yang benar, kasih tau aku kalau emang ada salah, Varrel. Kamu tau sendiri aku paling ngga suka didiamin, tapi dari kemarin kamu diamin aku. Kalau aku ada salah ya kasih tau supaya aku bisa perbaiki."
Hari weekend yang seharusnya digunakan untuk bersantai seketika berubah. Selain untuk bersantai dari rutinitas kerja, seharusnya waktu ini juga selalu mereka habiskan berdua mengingat anaknya sudah di jemput oleh sang nenek. Walaupun tidak mengatakan secara langsung Ayna bisa merasakan perubahan Varrel sejak kemarin. Entah kali ini masalah apa lagi, Ayna tidak bisa menebak.
"Varrel!" Ayna meraih lengan Varrel, menggoyang-goyangkan lengannya sampai pria itu menoleh menatap lekat Ayna.
Mulut pria itu masih terkunci, tatapannya turut mengunci kedua mata istrinya. Ditatap lekat oleh Varrel tentu nyali Ayna sedikit menciut. Pasalnya tidak ada senyum sedikitpun di bibir suaminya. Sungguh, Ayna tidak tahu apa kesalahannya kali ini.
"Masa sih kamu ngga sadar? Benar ngga sadar atau pura-pura ngga sadar? Kenapa sih, Ay?" Setelah sekian lama terdiam, pada akhirnya Varrel buka suara. Tatapannya masih terus tertuju pada Ayna.
Tunggu.
Pura-pura tidak sadar?
Kening mulus Ayna menyerit. "Pura-pura gimana maksudnya? Aku pura-pura apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan kayak gini. Sumpah aku ngga ngerti. Salahku di mana?"
Varrel menarik lengannya dari pelukan Ayna. Biarkan saja istrinya itu berfikir. Selagi membiarkan Ayna berfikir Varrel beranjak dari duduknya menuju dapur. Tenggorokannya kering, butuh siraman air yang sejuk. Melihat suaminya pergi tentu Ayna semakin bingung. Dari raut wajah, nada bicara, semua terkesan tidak ada main-main. Tapi tetap saja Ayna masih tidak mengerti di mana letak kesalahannya.
Setelah mengambil minum Varrel kembali duduk di samping Ayna. Pria itu memilih menikmati minuman kaleng yang dia bawa. Tubuh Ayna sedikit bergeser, pandangannya tak lepas dari wajah Varrel.
"Aku ada salah apa, sayang? Coba kasih tau aku, sup–"
Tiba-tiba Varrel menyerahkan ponselnya ke atas pangkuan Ayna. Lagi-lagi kening mulus Ayna mengerut. Diambilnya ponsel itu, dinyalahkan, seketika Ayna dibuat tercengang melihat gambar yang kini tertera di depan matanya.
"Jadi ceritanya sama-sama belum move on? Terus rumah tangga kita kamu anggap apa, Ay?"
"Engga! Engga, ngga gitu, Varrel! Soal ini aku bisa jelasin, kamu salah paham. Kamu dapat foto ini dari mana?"
"Allysa. Dia datang ke kantor, kasih foto itu."
Mampus sudah.
Kesalah pahaman ini pasti akan berlanjut.
Ayna menggelengkan kepalanya, meletakkan ponsel hitam itu ke atas meja. Sial, padahal dibalik foto itu ada pembicaraan yang akan menyelesaikan masalah. Tapi siapa sangka akan menjadi masalah baru?
"Kalian berdua sama aja ternyata. Lalu hadirnya Alaska dan Rania ngga kamu anggap, Ay?"
"JANGAN BICARA BEGITU!" sahut Ayna tidak terima. Nada bicaranya seketika meninggi, dia benar-benar tak suka sama perkataan Varrel tadi. "Aku bisa jelasin, kamu ngga perlu pakai emosi. Aku emang salah karna ngga bilang sama kamu, tapi aku berani sumpah aku sama Wildan ngga ngapa-ngapain. Yang ada dia justru minta bantuan ke aku gimana caranya buat memperbaiki hubungannya sama kak Allysa," sambungnya dengan nada menggebu.
Sebelah alis Varrel terangkat. "Harus pegangan tangan?"
"Aku ngga pegangan tangan!" Ayna lagi-lagi membela diri. "Itu cuma ngga sengaja, ngga ada maksud lebih!"
Kepala Ayna seketika pening. Ternyata menghadapi Varrel yang cemburu lebih melelahkan daripada memisahkan keributan kedua anaknya.
"Kenapa kamu ngga bilang sama aku mau ketemu dia? Padahal sebelum ketemu dia posisinya kamu dari kantor aku."
"Maaf. Aku cuma ngga mau kamu mikir aneh-aneh. Tapi percaya deh, Wildan itu cuma minta bantuan aku. Dia mau memperbaiki semuanya, dan aku juga mau bantu. Aku ngga mau kak Allysa gugat cerai Wildan, aku kasihan sama Rena yang masih butuh kasih sayang kedua orangtuanya. Wildan juga udah akuin kesalahannya, dia udah anggap aku adik iparnya, ngga lebih. Aku udah panjang kali lebar bicara begini, kelewatan kalau kamu masih ngga terima."
Penjelasan panjang yang Ayna utarakan tidak langsung mendapat jawaban dari Varrel. Pria itu masih berusaha menelaah semuanya dengan kepala dingin.
"Kamu masih ngga percaya sama aku?" Ayna memajukan tubuhnya, menatap lekat wajah Varrel yang masih bungkam. Aslinya Ayna juga tidak tahu mau memberi bukti apa supaya suaminya percaya. Masa iya harus menyeret Wildan ke sini untuk menjelaskan? Rasanya itu tidak mungkin. Bukannya membaik, yang ada semakin keruh.
Astaga, Ayna mulai frustasi.
"Yakin dia mau tobat?"
Kedua mata Ayna menerjap, kepalanya mengangguk dengan mimik wajah polos.
Kini gantian Varrel yang menghela napas. Permasalahan Wildan memang sejak dulu sangat sensitif mengingat pria itu masih menaruh rasa pada istrinya. Berkali-kali Varrel menegur, sepertinya tidak mempan.
***
Berhubung kedua anaknya sedang tidak ada, hal itu tidak Varrel sia-siakan. Memang kapan lagi dia bisa bermesraan dengan Ayna tanpa gangguan Alaska dan Rania? Ya walaupun sebelumnya sempat ada selisih paham, pada akhirnya Varrel memilih percaya pada istrinya.
Saat sedang asik melamun Varrel mendengar pintu kamar mandi terbuka. Dia pun menoleh memperhatikan Ayna yang baru ke luar dari kamar mandi. Yang membuat pria itu terpanah adalah melihat penampilan Ayna. Pria mana yang tidak tergoda melihat istrinya hanya menggunakan kimono super seksi?
Ayna melangkahkan kakinya lalu berhenti tepat di depan Varrel. Tanpa rasa malu dia membuka kimono berwarna hitam yang sejak tadi melindungi tubuh polosnya. Varrel tersenyum, pria itu bangkit berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Ayna. Persetan ini masih siang, yang jelas istrinya sangat menantang.
"Mumpung Alaska dan Rania ngga ada." Ayna mengedipkan sebelah matanya. Bukan hanya itu, kedua tangan Ayna pun langsung merangkul leher Varrel membuat jarak keduanya terkikis.
"Udah pintar sekarang ya?" goda Varrel. Melihat Ayna yang agresif tentu dia senang.
Perlahan Varrel memiringkan kepalanya, melumat bibir manis milik Ayna. Tidak ada penolakan dari Ayna, wanita itu dengan senang hati membalasnya. Cukup lama keduanya saling bertukar saliva, menyesap bibir satu sama lain secara bergantian. Moment seperti ini memang sangat jarang terjadi kalau mereka tidak pandai-pandai mencari waktu.
Merasa pasokan oksigen mulai menipis, Ayna menarik dirinya. Napas wanita itu masih terengah, namun Varrel tidak memperdulikan. Kecupan pria itu turun menjelajahi leher jenjang milik Ayna membuat lengkuhan wanita itu terdengar.
Membiarkan suaminya bermain di leher, kedua tangan Ayna meremas rambut halus Varrel. Remasan itu seolah membangkitkan gairah Varrel. Perlahan namun pasti, Varrel membawa tubuh Ayna ke atas kasur. Sambil membuka pakaian yang melekat di tubuhnya tatapan Varrel terus tertuju pada Ayna. Wanita itu sudah full polos tanpa ada penghalang apapun.
"Tolong jangan berhentiin aku," bisik Varrel tepat di telinga Ayna.
***