[pulang, La, Mama beneran nggak enak sama papamu.]
[Kalau ada masalah, dibicarakan. Bukan menjauh seperti ini.]
[send vidio]
[acaranya lancar dan sudah selesai.]
Desahan panjang penuh kepasrahan keluar dari bibir Lala. Gadis cantik yang memakai daster kain itu menyandarkan kepala di papan ranjang dengan kedua mata yang memejam. Lalu ponsel yang berada di tangan telah jatuh ke pangkuan. Detik kemudian, dua bulir menetes begitu saja membasahi pipi.
Vidio yang dikirimkan oleh Vera sangat membuat hatinya terluka. Wajah tampan kakak tirinya yang ditampilkan di dalam vidio itu sungguh sangat membuatnya sakit. Sempurna, gagah, mempesona dan … sudut hati merasa tak rela jika Levine berbahagia.
Ini bukan tentang dia yang cemburu. Sungguh bukan itu. Tetapi ini tentang hidupnya yang hancur tak lagi terlihat seperti apa masa depannya. Sementara Levine sekarang sedang berbahagia tanpa terlihat ada beban di wajah tampan itu.
Lalu malam ini, sudah pasti kedua pasang manusia itu sedang meneguk madu asli, kan? Sedangkan dirinya? Duduk menyendiri, sendirian, bersembunyi dalam ketakutan yang luar biasa. Adil kah?
Lala menjambak rambut, lalu terisak lirih karena takut kalau sampai tantenya mendengar. Dia menutup wajah dengan kedua tangan, menyembunyikan tangisnya di sana.
Ddrtt … ddrtt ….
Lala menatap layar ponsel yang berkedip. Di sana ada panggilan masuk, menampilkan nama Algi di layar itu. Tak ingin membuat kekasihnya itu khawatir, Lala memilih mendiamkan saja. Memelorotkan tubuh sampai akhirnya dia terbaring, meringkuk memeluk guling dan kembali menangis di dalam persembunyian.
**
“Vin, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Sabina dengan khawatir.
Levine mengatur nafasnya, memejam sebentar lalu menggeleng. Dia tersenyum, senyum yang sangat dipaksakan. “Aku nggak apa-apa,” ucapnya, mengelus lengan Sabina. “Kita … langsung tidur ya. Keknya aku kelelahan.” Alasannya.
Ada kekecewaan di wajah Sabina, tetapi melihat wajah Levine yang tak baik-baik saja, gadis itu mengangguk setuju. Masuk ke dalam selimut yang sama, lalu tidur miring menatap Levine yang sudah lebih dulu merebahkan tubuh di bantal sampingnya. Satu tangan Levine terangkat, digunakan untuk menutup kedua mata.
Sabina memerhatikan kulit lengan Levine, karena saat ini Levine hanya memakai kaos singlet saja. Memang tak sekekar lelaki pecinta gym, tetapi … otot-otot lengan itu terlihat sangat menarik. Dengan kesusahan Sabina meneguk ludah, lalu tangannya mencengkeram erat pinggiran selimut.
Wajar kan kalau saat ini dia ingin di sentuh? Lalu bayangan tubuh putih yang sedikit berotot itu menindihnya, menjamahnya, menyatu dengan kulit tubuhnya. Sabina menggigit bibir, langsung barpindah posisi, miring membelakangi Levine.
Sabina menunduk, menatap penampilannya sekarang ini. Hanya dress tanpa lengan dan memang bagian d**a sangat longgar. Ya, dia memang sengaja memakainya atas rekomendasi teman-temannya. Dia pun wanita normal yang juga menginginkan sentuhan seorang lelaki. apa lagi, sekarang lelaki ini telah sah menyentuhnya, sah dan resmi memiliki semua yang ada padanya.
Tapi kenapa malah Levine seperti ini? Apa dia tak menarik? Apa iya, alasan Levine tak pernah menyentuh selama pacaran karna tak tertarik padanya? Tapi … bagian mana yang tak menarik? Dadanya lumayan berisi, bentuk tubuhnya pun bagus. Dia bukan gadis kurus yang kekurangan makan, semua yang terlihat menonjol sangat menarik.
Kedua tangan Sabina mencengkeram erat selimut. Kedua mata memejam dengan bibir yang terkatup rapat. Lalu bulir menetes melalui ujung mata, mengalir menetes di bantal yang dia pakai. Malam ini, tak ada apa pun yang terjadi.
**
Pukul 3.00am
“Jangan … hiks … aku mohon jangan ….” Masih dalam balutan selimut dengan kedua mata yang terpejam, Lala memohon. Ada bulir yang keluar dari kedua mata itu.
“La, Lala,” panggil Vani dari luar kamar.
“Aku nggak mau … aku nggak mau ….” Lalu isakan Lala yang terdenagr begitu ketakutan membuat Vani mendorong pintu, masuk tanpa dipersilakan oleh penghuni kamar.
“Yaampun,” lirih Vani melihat keponakannya yang benar-benar menangis sambil memeluk guling erat. Vani mendekat, duduk di tepi tempat tidur dan menepuk pelan lengan Lala. “Lala, La,”
“Hiks, aku nggak mau … aku nggak mau ….” Igau Lala, masih belum bangun.
“Ya Allah … Lala!” kali ini Vani nabok pipi Lala sedikit kencang dengan panggilan yang lebih keras juga.
Vani menghela napas penuh kelegaan saat keponakannya yang cantik ini akhirnya membuka mata. lalu membantu Lala untuk bangun, menyandar di papan ranjang.
“Tante ambilin minum ya,” ucapnya, mengusap lembut bahu Lala.
Tak menjawab, Lala mengatur napas yang ngos-ngosan. Lalu mengusap keringat yang sampai membasahi bagian leher dan keningnya. Dia memejam sembari menyugar rambut dengan kedua tangan.
Dia sudah pergi, dia sudah menjauh, tapi kenapa Levine datang menghantuinya melalui mimpi? Kedua mata kembali berair, dia terisak lagi. Sungguh, perbuatan b***t itu tak bisa hilang dari ingatannya.
“La,” panggil Vani, menepuk bahu Lala. “Minum dulu,” lalu menyodorkan segelas air putih.
Lala menerimanya, meneguk air itu dengan pelan. “Makasih, tan,” ucapnya, membiarkan Vani mengambil alih gelas.
“Mimpi buruk?” tanya Vani, menatap iba.
Lala menghapus embun di kedua mata, lalu mengangguk tanpa bersuara.
“Mimpi apa?” tanya Vani yang tentu ingin tau.
Lala menggeleng, menekuk kedua kaki lalu memeluknya erat. Menyembunyikan wajah di sana, lalu menangis lagi.
“La,” Vani terkejut melihat apa yang Lala lakukan sekarang. Dari sini, Vani tau jika Lala depresi. Pelan tangannya mengelus punggung Lala, mendengarkan suara guguan tangis yang tak terlalu keras. “La,” panggilnya lagi.
“Aku nggak mau pulang, tan. Aku mau tinggal di sini ….” rengek Lala di sela tangisnya.
Vani memeluk Lala yang masih menyembunyikan wajah. “Iya, kamu akan di sini. Tante juga nggak nyuruh kamu pulang kok.”
“Aku takut, tan … aku takut ….”
‘Ya Allah, apa yang sudah terjadi sebenarnya?’ batin Vani bertanya.
Memilih diam, memeluk tubuh Lala yang benar-benar kaku dan bergetar. Sangat jelas jika Lala ketakutan. Hampir satu jam, sampai Vani menahan pegal di pinggangnya, Lala baru bisa tenang.
“Tan,” panggil Lala setelah tak lagi menangis.
Vani tak menjawab, hanya menatap wajah keponakannya yang basah dan sangat acak-acakan.
“Tolong jangan cerita apa pun ke mama ya,” pinta Lala dengan kedua mata yang terlihat menahan luka.
Vani tak langsung menjawab, hanya menatap Lala serius. Meneliti setiap inci wajah cantik yang entah menyembunyikan apa.
Lala menunduk, mengusap kedua mata yang kembali berair lagi. “Aku nggak mau ada yang tau ….” Kembali isakan Lala terdengar.
“La, tante nggak akan paksa kamu untuk bercerita. Tetapi … ini sudah kali ke tiga kamu bangun dengan ketakutan yang sama. Igauan yang sama juga.” Vani memberi jeda, mengelus bahu Lala lembut. “Kalau kamu mau, kamu bisa bercerita pada orang yang tepat. Dulu setelah perceraian, tante sempat rutin mengunjungi dokter psikolog. Konsultasi padanya, sampai rasa trauma dan ketakutan itu … bisa benar-benar kita atasi.”
Lala menggeleng, membiarkan dua bulir menetes di seprai. “Aku malu … aku … aku nggak bisa ….”
Kedua mata Vani melotot dengan pikiran yang muncul di kepala. “La,” panggilnya sedikit memekik. “Papa tirimu … dia … dia … apa dia ….”
Lala menggeleng cepat, mengusap ingus di hidungnya. “Enggak, tan. Dia baik,” sahut Lala, meluruskan praduga Vani. “Bukan dia yang melakukannya,” lanjut Lala berucap.
Dan itu kembali membuat kedua mata Vani membulat. Pelan dan begitu hati-hati ani memegang lengan Lala, menatap wajah putih yang masih saja menangis. “Kamu benar-benar di perkosa, La?” tanyanya lirih, takut jika ada yang mendengarnya.
Tak menjawab, Lala kembali menyembunyikan wajah di sela-sela lutut, lalu menangis lagi. “Aku kotor, tante … hiks … aku jijik ….”
“Astagfirullah ….” Vani kembali mendekap Lala. Memeluk keponakannya dengan d**a yang berdebar lebih cepat.
Lala adalah anak dari kakak kandungnya yang sekarang sudah meninggal. Jadi, melihat derita Lala yang seperti ini, tentu saja dia sangat sakit. Dia ikut menangis, ikut merasakan seperti apa terlukanya di rebut paksa. Kehormatan seorang wanita yang seharusnya diserahkan pada lelaki yang sah, harus hilang seperti ini. Siapa pun pasti akan sangat terluka.
“Van, Vani!”
Panggilan dari luar kamar membuat kedua wanita yang berpelukan dan menangis bersama itu sedikit terusik. Vani melepaskan pelukan, mengusap wajahnya yang basah dengan tissu yang tersedia di kamar Lala.
“Iya, Buk, aku di kamar Lala,” jawabnya.
Lala langsung mencekal lengan Vani yang sudah beranjak dari ranjang. “Tan, pliis jangan ceritain ini ke nenek, atau ke siapa pun. Aku mohon ….”
Vani menepuk pelan tangan Lala. “Enggak, La. Tante nggak akan bilang ke siapa pun. Percaya ya,” ngomongnya lembut.
Mendengar kalimat itu, Lala mengendurkan cekalan. Lalu mengangguk pelan, mempercayai tantenya ini.
“Ayok keluar, ikut tante beli lauk di samping sekolahan sana,” ajak Vani kemudian.
Lala menunduk, terlihat jika dia tak mau pergi. Seminggu tinggal di Lombok, belum pernah sekali pun dia keluar dari rumah.
“La, kalau kamu Cuma mengurung diri, yang ada kamu ingat terus. Berbaur sama tetangga, temen-temen yang seumuran kamu. Ngobrol sama mereka, pasti bisa lupa,” nasehat Vani yang dulu juga sempat mengalami trauma oleh pengkhianatan suaminya.
Lala diam untuk sesaat, lalu detik kemudian dia mengangguk. “Aku ganti baju dulu, tan.”
**
Beberapa hari setelah resmi menjadi sepasang suami istri, Levine menginap di rumah Sabina, karena Sabina tak bisa meninggalkan bapaknya yang sudah tua dan memang sakit-sakitan.
“Pak,” sapa Levine malam ini, lalu duduk di kursi samping pak Basir yang kosong.
Tak begitu lama, Sabina datang membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Air putih hangat dan dua kopi s**u. Dia ikut bergabung, duduk di karpet bawah, menyandarkan punggung pada dinding.
“Bagaimana skripsinya?” tanya pak Basir, meraih gelas miliknya.
Levine mengulas senyum canggung, lalu melirik istrinya yang menonton acara teve. “Baru kemarin mengajukan judul yang baru. Belum ada pemberitahuan lagi.”
“Semoga diterima, skripsi cepat kelar. Biar kamu juga bisa fokus belajar di perusahaan papamu.” Lanjut pak Basir, menyemangati.
Levine hanya mengangguk, lalu mengambil gelas kopi miliknya yang sama dengan milik Sabina. ya, karena selera mereka berdua itu sama.
Untuk beberapa menit, sampai hitungan jam, mereka bertiga saling ngobrol di ruang teve. Obrolan yang tak terlalu serius, kadang pak Basir tertawa dengan cerita Levine tentang dunia bisnis yang sekarang ini.
Pukul sembilan malam, Sabina menuntun bapaknya menuju ke kamar. Meminum obat dan bersiap untuk istirahat.
“Bi,” panggil pak Basir, menatap wajah anak gadisnya yang merapikan selimut di tubuhnya. “Tidak perlu kalian menunda kehamilan. Bapak masih punya tabungan jika sewaktu-waktu kalian membutuhkannya.”
Kalimat yang berupa permintaan ini membuat Sabina mematung. Gadis cantik ini mengangguk dengan senyum palsu. “Bapak jangan mikirin itu. Kalau pengen cepet lihat cucu, harus sehat dulu. biar besok bisa gendong cucunya.” Hiburnya, yang langsung membuat pak Basir tersenyum. “Bapak tidur ya,”
Sabina melangkah keluar dari kamar bapaknya. Menatap ke ruang teve sana, suaminya masih duduk di sana, menatap ke arah layar lebar yang menempel di dinding.
“Vin,” panggilnya.
“Ya,” jawab Levine, menoleh dengan wajah ceria. Ya, sama sekali tak ada masalah apa pun.
“Kamu … belum mau tidur?” tanya Sabina, yang lebih tepatnya memberi kode.
Levine tersenyum, lalu mengangguk samar. “Kamu duluan, aku nyusul. Mau habisin kopi bentar.” Menunjukkan gelas yang masih ada kopinya.
Sabina membalas senyuman itu. “Aku tunggu di kamar.”
Melihat istrinya melangkah memasuki kamar mereka, Levine mendesah panjang. Menunduk, memejamkan mata dalam merasakn perasaannya yang sebenarnya terasa … hambar. Selama beberapa hari ini, dia hanya berusaha tetap seperti dulu, bersikap lembut dengan segala kasih sayang yang tersisa. Walau sebenarnya ada rasa tak ingin, ada rasa … yang mulai gersang.
Levine meneguk kopi yang terakhir, meletakkan gelas kosong itu di atas meja. Melangkah menuju ke kamar mandi lebih dulu, baru setelahnya dia menuju ke kamarnya dan Sabina.
Santai tangan Levine memutar handle pintu, lalu mendorong pintu itu sampai terbuka. Melangkah masuk dengan tangan yang kembali menutup pintu. Kedua mata melotot melihat Sabina yang duduk menyandar di atas ranjang sana.
Lingerie warna hitam yang mempertontonkan keindahan tubuh. Paha putih mulus yang untuk pertama kali Levine lihat, lalu kain tipis berbentuk segitiga yang menutupi barang penting di bawah itu. Astaga … Levine normal!
“Bi,” serunya tertahan.
Di sana, kedua pipi Sabina memerah. Sekarang dia seperti w*************a. Benar-benar menyingkirkan ego dan rasa malu. Sabina melangkah turun dari atas ranjang, mendekati Levine yang mematung di depan pintu kamar.
Dia berhenti tepat di depan Levine, membiarkan Levine memandang keindahan tubuhnya yang tentu sangat menggoda. “Vin,” panggilnya, membuat Levine menatap kedua matanya. “Apa aku tak menarik?” tanyanya. Perlahan embun terpupuk di kedua mata.
Kedua mata Levine menatap iba melihat bulir yang mulai menetes di pipi Sabina. “Bi,” tangannya di tepis saat akan menggapai lengan Sabina.
“Apa kamu haram menyentuhku?”
Levine menggeleng mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Sabina.
“Apa seorang istri salah jika meminta haknya? Apa benar kalau sebenarnya kamu sudah tak mencintai aku?”
“Sabina,” seru Levine sedikit lebih keras. Dia mencekal kedua lengan Sabina, menatap tepat pada kedua mata Sabina yang sudah basah. “Kamu nggak salah. Kamu nggak salah. Maafkan aku,”
Levine meraih dagu Sabina, memaksa wajah itu untuk sedikit terangkat dan menatapnya. Lalu bibirnya menyentuh bibir manis Sabina, mengecupnya lembut.