Eps 16

2663 Kata
Kedua mata Levine menatap lekat tepat di mata Sabina yang terlihat ada kristal di sana. Tangannya mengelus wajah putih itu dengan sangat lembut, lalu bibirnya kembali mendarat di bibir ranum yang memang sudah lama tak pernah ia sentuh. “Vin,” seru Sabina tertahan. Lalu deru napas keduanya saling menyapa dengan jarak yang benar-benar telah terkikis. Levine kembali memiringkan kepala, mengecup bibir yang sama. Tangannya menekan tengkuk Sabina, menyesap bibir bawah gadis itu. Satu tangan yang lain mengusap punggung, menekannya, membuat tubuh keduanya mepet tanpa jarak. Ada yang bereaksi pada dirinya saat dua benda kenyal yang ukurannya tidak kecil itu menyentuh tubuh. Levine semakin bersemangat, menerobos masuk ke mulut Sabi, menyapa lidah Sabi di dalam sana. Mereka adalah dua orang normal, dua orang yang sah melakukan apa pun. Nafsu Levine muncul saat tangan Sabina yang mengalung di lehernya itu memainkan rambut bagian belakang. Keduanya melangkah mundur tanpa melepaskan ciuman. Pelan Sabina terduduk di tepi tempat tidur. Mendorong d**a Levine, membuat ciuman mereka terlepas. Dengan rakus Sabina meraub oksigen yang beberapa detik tadi terasa susah ia dapatkan. Sedikit terkejut saat tangan Levine menarik kain hitam tipis yang malam ini menempel di tubuhnya. Mendongak, menatap wajah Levine yang sudah ada nafsu di sana. Kedua mata lelakinya fokus menatap bagian dadanya yang sekarang tak terbungkus apa pun. “Vin,” seru Sabi dengan suara serak, menahan nafsu yang sama. Levine membungkuk, lalu mengikuti gerakan tubuh Sabina yang rebah di kasur. Lembut tangan Levine menyentuh salah satu barang kenyal itu. Bibirnya menyusuri lekuk leher Sabi, mengecup, menjilat dan semakin kebawah. Satu tangan Sabina mencengkeram erat seprai, sedangkan tangan yang lain menjambak rambut Levine. Dia memejam, menggigit bibir untuk menahan desahan yang sebenarnya ingin ia teriakkan. Dengan cepat Sabina membungkam bibir saat sebuah sesapan serta cubitan di bagian d**a sana telah menggelitik perut. Sabina membuka kedua mata, sedikit menunduk, menatap Levine yang terus memainkan bagian dadanya dengan kedua mata yang memejam. Jika suara desahannya membuat Levine jadi tak berkonsentrasi dan tak melanjutkan kegiatan, dia rela menahan semua desahan itu. Sampai Sabina meliukkan tubuh dengan tangan yang semakin kencang membekap mulut saat lidah Levine menyentuh bagian paling sensitif di bawah sana. Setelah dia lemas, Levine membuka kaos dan celananya, lalu kembali naik ke atas kasur. Membuka kedua kaki Sabina lebar. “Aagh, Vin!” sungguh untuk yang ini dia tak lagi bisa menahan. Untuk pertama kali sesuatu yang terasa keras dan besar itu terdorong menekan inti tubuh Sabina. “Tahan, La, aku akan main lembut lagi.” Ucap Levine, menyahut jeritan Sabina. Mendengar kata yang keluar dari bibir Levine, kedua mata Sabina yang tadi memejam dalam itu, langsung terbuka sempurna. Melotot, menatap wajah suaminya yang fokus memasukkan capung ke dalam toples. ‘Tadi Levine panggil apa? Lalu ‘lagi’ katanya? Apa maksudnya?’ batin Sabina, kembali memejam, mencengkeram bantal yang ia pakai. “Aaggh! Aaghh,Vin! Aaggh!” teriak Sabina saat merasa capung itu benar-benar telah masuk dalam toples miliknya. “La … aaghh!” desah Levine, menghentakkan capung itu. Membuat capunya kecumplung toples sepenuhnya. Lalu terpenjara di dalam sana, susah gerak. Bulir menetes melewati ujung mata. Sakit dan perih di bagian bawah sana tak sebanding dengan keadaan barang yang tersimpan di dalam d**a; hati. Seperti ada tangan besar yang meremas hatinya, Sabina mendesah dengan tangis yang tak bisa lagi ia bendung. Ingin menyudahi semuanya, tapi … sudah terlambat. Toplesnya sudah tak lagi bersegel. Permainan yang berlangsung selama tiga puluh menit lebih itu, sama sekali tak bisa Sabi nikmati. Hanya ada rasa sakit yang membuat tangisnya terus menetes sampai Levine menyudahi semuanya. Semakin terasa sakit saat melihat Levine yang langsung mengambil celana kolor dan melangkah keluar dari kamar tanpa menyapa atau menatapnya lebih dulu. ‘Jadi … Levine memang tak mencintaiku?’ batinnya, menahan rasa perih yang sekarang sudah mendera di d**a. Levine keluar dari kamar mandi setelah barang miliknya bersih. Meraih kunci mobil, lalu keluar dari rumah. Hanya mengambil sebungkus rokok, lalu membawanya duduk di teras rumah Sabina. Menyesap rokok yang terselip di jari. Setelah rokok menyala, Levine melemparkan korek di atas meja begitu saja. Dia menghela panjang, membuat asap keluar dari mulutnya dengan begitu pelan. Sadar, sangat sadar dengan apa yang tadi baru saja terjadi. Kalau saja dia tak memejamkan mata, mungkin dia tak akan bisa memberikan hak Sabina. Jujur saja, selama permainan tadi hanya ada wajah Lala di dalam benaknya. Cukup terkejut ketika permainan telah selesai, dan ternyata yang ia tindih adalah Sabina, istri sahnya. Bukan Lala, adik tirinya. Levine menjambak rambut kencang, rasanya ingin berteriak. Meneriaki Lala yang belakangan ini begitu mengganggu pikiran. Seharusnya … dia bahagia, dia menang, dia bisa memulai hidup dengan Sabina. Tapi kenapa justru semakin hari hatinya merasa sangat resah dan tak tenang? Levine masuk ke dalam rumah, mengambil ponsel yang tertinggal di meja depan teve. Kembali keluar dan duduk di tempat yang sama. Tangannya mulai mengusap layar tipis itu, masuk di sebuah aplikasi sosial media. Mengetik sebuah nama di pencarian, lalu masuk ke akun dengan foto profil gadis cantik yang memejmkan mata. berpose seakan sedang menghirup bunga mawar kuning yang ada di genggaman. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Levine tertarik ke atas, memperlihatkan senyum tipis dengan kedua mata yang berbinar. Ada kerinduan di sana. Jarinya mengelus wajah cantik di layar ponsel itu. ‘Kamu cantik.’ Batinnya berucap dengan tanpa sadar. ** Motor matik berwarna hitam itu berhenti di pinggir jalan, tepatnya di depan halaman rumah sederhana bercat hijau. Si penumpang yang membonceng menatap layar ponsel, mencocokkan nomor rumah yang menempel di tiang teras sana dengan yang ada di layar hapenya. “Makasih, pak,” ucap si cowok yang tak lain adalah Algi. Si bapak ojol mengangguk sembari menyimpan uang ke saku jaket. Lalu menjalankan motor pergi, meninggalkan Algi yang sekarang berdiri mematung menatap rumah depan sana. Beberapa menit berlalu, setelah yakin jika memang itu adalah rumah yang dituju, Algi melangkah memasuki pagar. “Permisi,” serunya berucap. “Iya,” sahutan dari dalam rumah sana yang terdengar sama dan suara yang baru bagi Algi. Selang sepuluh menit, pintu di depannya terbuka. Seorang wanita tua yang seluruh rambutnya sudah memutih, terlihat di balik pintu. Wanita yang memegang tongkat dan berdiri dengan sedikit membungkuk. “Nek,” sapa Algi sopan, mengulurkan tangan. Si nenek mendongak, karna tinggi Algi yang berbeda jauh dengannya. “Siapa ya?” tanya nenek yang tentu tak kenal dan baru pertama kali jumpa. Ragu dia menerima uluran tangan Algi. “Uumm … saya temannya … Lala.” Terlihat jika nenek sedikit terkejut. ‘Belum lama di sini, Lala sudah punya teman cowok? Nyari ke rumah pula.’ Begitulah pikir nenek. “Nama saya Algi, nek. Saya baru tiba dari Jakarta.” Lanjut Algi, memeprkenalkan diri. Mendengar itu, nenek mengangguk paham. “Nenek kira kenalannya Lala orang dekat sini.” “Hehehe ….” Cowok ganteng itu nyengir dengan gelengan kecil. “Bukan, nek.” “Sini masuk, duduk dulu.” ajak nenek, melangkah masuk lebih dulu. Algi mengikuti, melepaskan tas ranselnya lebih dulu lalu mengambil duduk di kursi tamu. Tatapannya meneliti, menatap semua yang ada di ruang tamu. “Uumm, Lala di mana, nek?” tanyanya. “Lala ikut tantenya pergi ke kebun belakang sana. Sepertinya dia sedang suka berkebun,” nenek tertawa kecil. “Beberapa hari ini Lala sibuk mengikuti tantenya.” “Jauh nggak, nek?” “Mau menyusul?” Algi menjawabnya dengan anggukan saja. “Kamu baru sampai, istirahat saja dulu. Nenek buatkan minuman hangat ya,” Cepat Algi menggelengkan kepala. “enggak usah, nek. Uumm … saya di sini nggak bisa lama-lama. Saya nyusulin Lala saja.” Nenek menatap Algi cukup serius. Jakarta Lombok itu bukan jarak yang dekat. “Memang mau kemana setelah dari sini?” “Sebentar lagi malam, saya harus cari penginapan di kota. Dan malamnya … saya sudah harus kembali terbang ke Jakarta.” Tutur Algi “Kok cepat sekali?” “Soalnya senin sudah harus masuk kuliah, nek.” Nenek mengangguk, mengerti. “Yasudah, biar diantar sama Mulyadi. Tak panggilkan orangnya dulu ya.” ** Algi menghentikan langkah kaki. Meminta pada pak Mulyadi untuk pergi, karena di depan sana dengan jarak kurang lebih sepuluh meter, sudah bisa dia lihat dengan jelas wajah Lala. Gadisnya itu membawa sebuah keranjang, lalu memetik beberapa sayuran. Lalu akan berjingkat mundur saat ternyata melihat ada ulat di sayuran yang ia pegang. Algi tertawa sendiri, lalu melipat kedua tangan di depan, menikmati pemandangan yang baru pertama kali. Rasa rindu, rasa khawatirnya selama beberapa hari ini … melenyap setelah melihat Lala baik-baik saja. Tanpa sengaja, Lala menoleh karena ingin menaruh sayuran ke dalam keranjang yang ia taruh agak jauh. Kedua mata melotot melihat lelaki jangkung yang berdiri memerhatikannya. “Algi,” seru Lala, lirih. Di sana, Algi mengulas senyum lebar, senyum yang ramah dan selalu membuat Lala merasa damai. Mulai melangkahkan kaki untuk mendekat setelah hanya saling pandang selama beberapa menit. Berhenti saat jarak mereka bersisa satu meter saja. Kembali Algi tersenyum dengan terus menatap wajah Lala yang terlihat masih terkejut. “Yaang, aku kangen,” ungkapnya dengan begitu lembut. Lala berlari, langsung memeluk cowok ganteng yang berhasil membuatnya tenang dan merasa sangat aman. “Aku juga kangen, Al,” ungkapnya. Dengan meminta ijin ke pak eRTe dan pak kades, Algi diperbolehkan menginap di rumah nenek Kartini; nenek Lala. Nggak tega juga kalau mau suruh Algi pergi ke kota mencari penginapan. Jika itu untuk seminggu, mungkin tak masalah. Tapi Algi hanya menginap semalam saja dan memang ke Lombok untuk menemui Lala. “Ini, diicipi ya.” Vani meletakkan sepiring bakwan yang masih panas. Algi tersenyum canggung. “Waah saya jadi ngerepotin tante,” ucapnya. “Eh, ini yang goreng Lala.” Ucap Vani. Algi langsung memerhatikan piring yang penuh dengan bakwan. “Lala bisa bikin bakwan, tan?” Vani terkekeh. “Cuma goreng saja. kalau yang bikin adonannya nenek.” Lalu keduanya sama-sama tertawa, entah menertawakan apa. Tak begitu lama Lala muncul membawa nampan berisi dua gelas minuman hangat, membuat tawa Vani dan Algi terhenti. “Diih, pasti ngomongin aku,” gadis itu sedikit mengerucut, menatap tante dan kekasihnya dengan bergantian. Lalu meletakkan nampan di meja samping piring. Tak menyahut, Algi mengambil sepotong bakwan. Meniupnya lebih dulu, lalu menggigit sedikit. “uumm, bakwannya enak, La,” komentarnya kemudian. Lala tertawa kecil, mengambil duduk di kursi yang kosong. “Iya. Kan aku yang goreng.” Vani ikut tertawa, lalu menepuk lengan Lala. “Belajar masak, La. Kamu cewek, besok harus bisa masakin suami lho.” Mendengar itu, Lala melirik ke arah Algi. Sedangkan Algi langsung mengangkat tangan. “Jadi istriku itu nggak harus pinter masak, tan. Cukup mencintaiku sepenuh hati.” Vani tertawa mendengar ucapan Algi, lalu beranjak dari duduk. “Yaudah, kalian ngobrol aja dulu. Tante mau pergi ke rumah teman.” Pamitnya, menepuk lengan Algi dan Lala bergantian. “Hati-hati, tan,” ucap Lala, mengantar kepergian Vani. Seperginya Vani, Lala anteng melihat Algi yang masih makan bakwan buatan neneknya. Sepertinya cowoknya ini menyukai makanan ringan seperti ini. Sekali-kali Lala tersenyum saat tak sengaja tatapannya beradu dengan Algi. “Al, ke sini kok nggak kasih tau dulu?” tanya Lala setelah Algi meneguk minuman. “Sebenernya nggak niat mau ke sini. Tadi Cuma iseng cek harga tiket aja. Tapi kebetulan ada keberangkatan pagi, jadi kupikir aku akan punya banyak waktu sama kamu di sini. Makanya aku ambil.” jawab Algi, menatap intens wajah Lala yang tentu berjarak dengannya. “Sebulan di sini, kamu agak gendut, La.” Kedua mata Lala melotot mendengar ucapan gendut yang keluar dari bibir Algi. Dia menunduk, menatap tubuhnya yang menurutnya biasa saja. “Masa’ sih?” Algi mengangguk, mengambil bakwan lagi. “Betah tinggal di sini keknya.” “Aku … jadi jelek ya?” tanya Lala, tak pede. Algi langsung terkekeh. “Mau gendut, mau kurus. Asal itu kamu, aku tetep cinta.” Kedua pipi Lala merona mendengar kalimat itu, lalu menabok kaki Algi pelan. “Bisaan jawabnya!” Lalu obrolan mereka berlanjut hingga hampir larut, sampai Vani pulang dan nenek menyuruh Lala dan Algi untuk masuk beristirahat. Malam ini Algi tidur di kamar yang menjadi kamar Lala. Sementara Lala tidur sekamar dengan Vani. [I love you, sayang] Lala tersenyum membaca chat yang baru saja masuk, dan itu dari nomor Algi. Orangnya berada tepat di sampingnya, berhalang tembok saja. “La,” Panggilan dari Vani membuat Lala menoleh, karena Lala tidur dengan posisi miring, menghadap ke tembok. “Kenapa, tan?” “Kamu pacaran sama Algi udah lama?” tanya Vani yang penasaran. Lala mengangguk dengan bibir yang mengulas senyum. “Udah sejak kelas dua SMA dulu.” “Kelihatannya dia sayang banget sama kamu.” Lala tersenyum lagi, kedua pipi memerah mendengar apa fakta yang Vani katakan. Dia pun tau akan hal itu. “Algi … tau?” tanya Vani dengan sangat hati-hati. Ekspresi wajah Lala sedikit berubah membahas tentang masalah yang sekarang dia hadapi. Kepalanya mengangguk pelan. “Tau.” Kedua mata Vani melebar mendengar jawaban Lala. Algi tau kalau gadis yang ia cintai ini sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan mereka ini masih pacaran, bukan status resmi pernikahan. Tapi Algi nggak ninggalin Lala sama sekali. Ajaib, kan? “Aku … aku udah pernah putusin dia. Aku udah pernah jauhi dan minta dia untuk cari cewek lain. Tapi dia nggak mau. Dia … dia malah mau nikahin aku.” Curhat Lala, jujur. Vani menatap tak percaya, ada haru di kedua matanya. Tangannya bergerak, mengelus lengan keponakannya ini. “Jaga hatinya, La. Jangan kecewain dia.” Lala mengangkat wajah, menatap kedua mata Vani yang mengembun. “Disela kesibukannya kuliah, libur dua hari saja dia gunakan untuk ketemu sama kamu, La. Tante … tante suka liat kamu sama Algi. Kalian serasi.” Lala mendesah, menunduk dengan wajah sedih. “Tapi aku udah—” “La, yang penting dia sudah tau semuanya. Untuk masalah dia mau nerima atau enggak, itu urusan dia. Nyatanya … dia masih sama seperti saat kamu sempurna, kan? Itu berarti, dia sungguh-sungguh mencintai kamu.” Lala menggigit bibir, ada kebimbangan di dalam hati dan pikirannya. Vani beranjak dari ranjang, meraih tas miliknya yang ada di atas meja. Membukanya lalu mengeluarkan barang kecil dari sana. “Pakai ini.” mengulurkan benda bernama test pack itu ke Lala. Lala menatap Vani dengan wajah terkejut. “Tan,” “Tante sudah pernah hamil beberapa kali, La.” Pengakuan Vani membuat kedua mata Lala melotot. Dia juga tau alasan tantenya di ceraikan karena katanya Vani ini mandul. “Hanya saja … Tuhan nggak ijinin tante untuk memiliki anak dulu. makanya … tante selalu keguguran sebelum suami tante tau.” Lala mencekal lengan Vani. “Kenapa tante nggak ceritain ke mereka soal ini? Kalau mereka tau, mereka nggak akan sakiti hati tante.” Vani menggeleng. “Bisa bebas dari tekanan di rumah itu, tante sudah bersyukur. Ini.” meraih tangan Lala, memaksa Lala menerima barang yang tadi ia beli. “kamu udah sebulan lebih di sini, dan selama itu, kamu belum mendapat haid, kan? Semoga apa yang tante khawatirkan ini salah. Makanya kamu harus coba.” Wajah Lala berubah murung. Sebenarnya dia juga kepikiran itu, tapi dia memilih diam karna tak mau. Lala meletakkan benda tipis itu di atas kasur. “Nggak usah lah, tan. Aku kan nggak muntah-muntah.” Kedua mata Vani melotot. “Ibu hamil nggak selalu muntah, La. Pokoknya besok pagi kamu harus coba. Mumpung Algi juga di sini. Jadi … apa pun hasilnya, Algi juga berhak tau.” Vani mengelus lengan Lala, meyakinkannya jika pasti semua akan baik-baik saja. Lalu mengambil test pack itu dan kembali memaksa tangan Lala menerimanya. “Percaya sama tante. Pasti semuanya akan baik-baik saja.” ** “Gimana, La?” tanya Vani begitu pintu kamar mandi terbuka. Malah terkesan dia yang nggak sabaran. Kedua mata Lala mengembun, dengan tangan yang bergetar Lala menyerahkan benda tipis itu ke Vani. Menunduk, tak mau menatap tantenya. Tetapi kedua mata langsung melotot saat test pack yang menggantung di udara itu disahut Algi dengan cepat. “Al,” pekik Lala, terkejut. Algi menatap benda kecil panjang yang berada di genggamannya. Tak ada kekhawatiran di wajah gantengnya. Dengan santai Algi menyerahkan benda itu ke Vani. “Aku pasti akan nikahin kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN