Akhirnya, setelah beberapa malam Lala tak pernah bisa tidur dengan tenang, malam tadi dia bisa menikmati nyamannya memejamkan mata di atas bantal. Pagi ini, tepat saat para ayam jago ramai berkokok, Lala mengeliatkan kedua tangan dengan senyum yang terbit di bibir manisnya. Gadis cantik ini mendesah kasar, mengeliatkan tubuh yang sekarang terasa lebih baik.
Ddrtt … ddrtt ….
Dering di sertai getar ponsel yang Lala taruh di atas meja sedikit membuat si pemilik terkejut. Lala sedikit menggeser tubuh, lalu meraih ponsel yang berkedip di sana. Mengulas senyum saat ada nama ‘Mama’ di layar itu.
“Hallo, Ma,” sapanya setelah menggeser tombol berwarna hijau.
“Hallo, La. Betah di rumah nenek? Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanya Vera di seberang sana.
Lala tersenyum kecil. “Baru semalam, tapi … di sini nyaman banget.” Lalu kedua bahu melemah mengingat wajah Levine.
“Syukur kalau betah. Oh iya, mama mau nanya. Sebenarnya mau tanya semalam sih, tapi pasti semalam kamu diajakin ngobrol sama nenek dan Vani. Makanya mama tunda.”
Kening Lala berlipat. “Nanyain apa, Ma?”
“Kemaren Algi gebukin Levine, La.”
Kedua mata Lala langsung membulat mendengar sederet kabar yang Vera katakan.
“Mama nggak tau apa masalahnya. Tapi kakakmu hampir pingsan. Wajahnya udah nggak kelihatan, ketutup sama darah,” lanjut Vera bercerita. “Apa ada hubungannya sama kamu, La?”
Lala meneguk ludah, satu tangannya mencengkeram erat pinggiran selimut yang masih membungkus tubuhnya. “Ak—aku nggak tau, Ma.” Akunya dengan sedikit gugup.
Terdengar sentaan nafas dari seberang sana. “Papamu semalam marah. Hampir aja papamu bawa ini ke kantor polisi, tapi Levine nggak mau.”
Mendengar kantor polisi, d**a Lala semakin berdebar. “Terus gimana, Ma?”
“Ya … nggak gimana-gimana. Emang Algi nggak cerita ke kamu soal Levine? Mereka ada kesalah pahaman atau … ada masalah serius apa gitu,” ucap Vera, yang masih sangat yakin kalau masalah dua bocah itu pasti ada hubungannya sama Lala.
“Aku nggak tau, Ma. Uumm, semalam Algi telfon vidio call, tapi Algi nggak ngomong soal kak Levine. Wajah Algi juga baik-baik aja, nggak ada bekas berantem,” tutur Lala, menjelaskan dengan polos.
“Kemarin memang Levine nggak bales, La. Untung mama pisahin, kalau enggak … mama juga nggak tau wajah kakakmu akan jadi prekedel atau nugget.” Sambung Vera.
Lala memejamkan kedua mata, mencoba mengatur dadanya yang menjadi berdebar. Ada rasa khawatir di dalam sana. “Uumm … terus … sekarang kak Levine keadaannya gimana?”
“Semalam mama mau bantu obati, tapi dia nggak mau. Ya … emang kakakmu udah biasanya begitu, kan? Dia pergi sendiri ke klinik, minta diobati di sana.”
Lala mengangguk samar, ada kelegaan di wajahnya. Menggigit kuku jari dengan perasaan yang terasa sedikit aneh. Nggak tau kenapa, bukan rasa puas karena orang yang udah nyakitin itu dapat karmanya. Memang seharusnya dia ucapin makasih ke Algi, tapi … entah kenapa ada sudut hati yang tak mau jika Levine terluka.
“Nikahan kakakmu sisa beberapa hari lagi. Kamu … kamu benar-benar nggak mau pulang?” tanya Vera, mengalihkan pembicaraan.
Lala menyugar rambut, menatap ke arah depan sana dengan perasaan yang begitu tak biasa. “Enggak, Ma. Maaf ….”
“La ….” Rintih Vera, terdengar memelas. “Dia adalah kakakmu, anaknya suami mama. Lelaki yang menggantikan sosok papa buatmu. Mau ditaruh mana muka mama? Mama nggak enak sama papamu, La.”
Lala berkedip lebih cepat, menahan rasa panas yang sekarang menyerbu kedua mata. “Ma,” serunya lirih. “Ada sesuatu yang nggak bisa aku jelasin ke mama.” Lalu dua bulir yang berusaha ia tahan itu, meluncur membasahi kedua pipi.
“Kamu … ada masalah sama … Levine?” tanya Vera, lebih tepatnya menebak.
Lala menipiskan bibir, menahan isakan yang ingin dia raungkan. “Enggak ada, Ma. Ini … ini masalahku sendiri. Nggak ada hubungannya sama kak Levine, papa atau pun … Algi.”
Mengaku dengan jujur, sungguh itu tak semudah ngeluarin odol yang tinggal seupil. Waktu itu, mengaku ke Algi saja, dia harus menahan rasa takut dan tubuhnya yang bergetar dengan hebat. Semalaman Algi menenangkannya, membuatnya kembali bisa seperti biasa dan sedikit melipakan kejadian b******k itu.
“La, kamu … suka sama Levine?” tebak Vera.
Lala langsung menggelengkan kepala dengan tangan yang menghapus kedua mata. “Enggak, Ma. Ini beneran nggak ada hubungannya sama kak Levine atau siapa pun. ini … ini ada di dalam diriku sendiri. Jadi … pliis, maafin aku. Aku nggak bisa pulang.”
Di sana, Vera mendesah lagi. Ya mau gimana lagi. Dia hanya bisa meminta maaf pada Bayu. Semalam dia dan Bayu sudah saling berbicara mengenai Algi yang gebukin Levine. Mereka berdua yakin kalau ini ada hubungannya dengan kepergian Lala. Bisa jadi Lala dan Algi hubungannya bermasalah dan mungkin itu di sebabkan oleh Levine. Ya, Lala menyukai Levine, atau … sebaliknya.
**
Hari berlalu begitu cepat untuk Sabina yang masih di landa kebimbangan. Sungguh demi apa pun dia sangat mencintai Levine. Dari dulu dia tak pernah ragu jika lelaki itu adalah Levine. Namun, pernikahan yang memang tinggal di depan mata ini, membuatnya begitu bimbang, begitu kepikiran dan takut. Tak seyakin dahulu.
Ada keinginan untuk membatalkan pernikahan ini, tetapi bagaimana dengan kondisi bapaknya yang semakin hari semakin memburuk? Sementara pak Basir memang menyukai Levine, begitu mengharapkan lelaki itu menjadi menantunya.
“Mbak Sabi, kenapa?” tanya wanita yang sekarang tengah merias wajah Sabina.
Sabina menarik tissu, lalu mengusap embun yang hampir menetes di kelopak mata. “Ingat sama ibuk,” jawabnya bohong.
Wanita kenalan Vera itu tersenyum tipis. “Memang sih. Hari bahagia begini, rasanya tuh pasti campur aduk. Bahagia sudah pasti, sedih ada juga, haru dan … takut pun ada. Semua berkumpul, jadi grogi dan gugup.”
Untuk yang terakhir, sebuah selendang berwarna putih menutup rambut Sabina yang sudah dihias dengan indah. Sabi sempat tertegun menatap bayangannya di cermin sana. Ya, dia pun begitu cantik dan sangat sempurna. Sudah sampai di titik ini, apa iya akan nekat batalin pernikahan?
“Sudah siap?” tanya seorang wanita, kerabat Sabina.
“Sudah, bu,” jawab si embak yang merias.
Sabina menarik nafas lebih dulu, lalu membuangnya dengan begitu pelan melalui mulut. Menggapai tangan Budenya, lalu melangkah keluar dari dalam kamar. Tepatnya di halaman depan rumah, di sana sudah didirikan tenda. Lalu ada beberapa tetangga dan kerabatnya yang sudah duduk di kursi. Tepat di bagian belakang penghulu, ada beberapa kerabat dari keluarga Levine.
Untuk sesaat kedua mata Sabina bertemu dengan kedua mata Levine yang sudah duduk lebih dulu di meja depan penghulu. Pelan dan begitu hati-hati Sabina mendudukkan diri di kusi samping Levine. Gadis itu menunduk, merasakan kebimbangan yang sekarang terasa memenuhi d**a.
Wajah Levine tadi itu, memang tampan. Tetapi tatapan di sana … kenapa membuatnya semakin merasakan ragu? Apa ini hanya sebuah pikiran sendiri saja?
“Mempelai atas nama … Sabina Klinarum dan … Blefine Arkala Nugraha. Benar?” tanya penghulu, ingin meyakinkan.
Di samping Sabina, Levine mengangguk, membenarkan. Lalu Bayu dan Pak Basir menjawabnya dengan begitu meyakinkan.
“Ini … dinikahkan sendiri ya, Pak,” tanya penghulu menatap pak Basir yang duduk di sebelah pak penghulu.
Pak Basir mengangguk. “Iya, saya yang akan menikahkannya sendiri,” jawabnya dengan suara yang terdengar berat.
Penghulu itu mengangguk, menyerahkan beberapa kertas yang sudah di cek pada rekannya. Lalu menatap Levine dan Sabina dengan bergantian. “Mempelai tidak dalam keadaan hamil, kan?” tanyanya, menatap Sabina yang sejak duduk di depannya tetap menunduk saja.
Sabina langsung mengangkat wajah, menatap semua orang yang fokus padanya. “Enggak, Pak.” Jawabnya setelah beberapa detik dalam ketegangan.
Sementara Levine justru melebarkan mata, menunduk dengan tangan yang terasa sangat dingin. Entah kenapa pertanyaan itu justru membuat hatinya merasakan ketakutan. Dengan tiba-tiba wajah Lala melintas di benak.
“Baik, kalau begitu … kita mulai ijab kobulnya. Silakan.” Menyerahkan microfon pada Levine.
Tangan Levine sangat jelas terlihat jika bergetar menerima microfon itu. Lalu dadanya berdebar hebat melihat tangan pak Basir yang terulur di atas meja, tepat di depannya. Mengepal kencang, dia memejamkan mata lebih dulu.
“Vin,” seru Bayu lirih, menyenggol lengan Levine.
Levine yang sedang sibuk memantapkan hati, sedikit terkejut. Dia segera tersadar, meraih tangan pak Basir, menjabat tangan yang sudah lama menggantung di udara itu. Untuk sesaat, kedua matanya bertemu dengan kedua mata tua pak Basir yang sudah cekung dan tak lagi sebening miliknya; menua.
“Blefine Arkala Nugraha,” panggil pak Basir dengan tatapan serius.
“Saya.” Bibir Levine terlihat bergetar, bahkan suaranya pun juga terdengar bergetar; grogi.
“Saya nikah dan kawinkan engkau dengan anak saya Sabina Klinarum dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai 300 juta dibayar tunai.”
Levine meneguk ludah lebih dulu. “Saya terima nikah dan kawinnya anak bapak dengan sa … aagh ….” Dia menunduk dengan kedua mata yang terpejam. Sederatan kata yang bahkan sudah ada di luar kepala pun, sangat sulit di ucapkan.
Genggaman tangan pak Basir mengendur, lelaki itu menghela nafas. Ada rasa kecewa karena jawaban Levine harus salah. Memang masih bisa diulangi, hanya saja … kata orang-orang, sekali tebas itu lebih baik.
“Kita ulangi lagi,” ucap pak penghulu.
Bayu menepuk pundak Levine beberapa kali. “Konsentrasi, Vin,” sarannya lirih.
Tak menjawab, Levine menunduk. Lalu tangannya mengusap bulir keringat yang bermunculan di dahi dan hidungnya. Beberapa kali dia meneguk ludah, bernafas melalui mulut karna di dalam dadanya terasa amat sesak.
Levine mengangkat wajah saat pak Basir kembali mengulurkan tangan di atas meja, di depannya. Sempat melirik ke sampingnya, di mana Sabina tetap menunduk dengan tangan yang mengusap tisu ke hidung. Tangannya menyambut jabatan pak Basir lagi, lalu kembali suara serak dan terdengar berat itu di mulai.
Untuk ikrar ke tiga, Levine dan Sabina dinyatakan sudah resmi dan sah menjadi pasangan suami istri.
**
Hari pertama sebagai pengantin baru, Sabina menginap di rumah Levine. Pagi dan siang, jatah acara ada di rumah Sabina, sedangkan sore sampai malam, acara party ada di rumah Levine. Ada banyak rekan kerja Bayu dan beberapa teman-teman kampus yang datang.
Sekitar pukul 11 malam Levine masuk ke dalam kamarnya berbarengan dengan Sabina. untuk pertama kalinya Sabina masuk ke dalam kamar Levine. Cukup kagum, karena kamar Levine sangat luas. Dua kali lipat dari kamarnya.
“Mau mandi?” tanya Levine, menatap wanita yang sekarang bergelar sebagai istri.
Sabina mengangguk, melepaskan sepatu hak tinggi yang menemaninya sejak sore tadi.
“Yaudah, kamu dulu. Kalau nggak bawa handuk, ada handukku di dalam.” Lalu Levine melepaskan jas, menyimpan di samping lemari.
Dia sendiri menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang yang memang tersedia di kamar. Mengambil ponsel yang sejak pagi tak di sentuh. Mengusap layarnya dan ya … ada banyak notifikasi chat dari teman-temannya.
Sabina yang melihat itu, sedikit tercubit. Hanya menggigit bibir, lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ini adalah kali pertama mereka berada dalam satu ruangan yang bernama kamar. Pengantin baru, apa sih yang biasanya terjadi? Tapi kenapa Levine sepertinya … uumm, tak menganggap ada?
Lima belas menit lebih, tetapi satu jam kurang, Sabina keluar dari kamar mandi sudah dengan dress tidur yang ia bawa dari rumah. Tatapannya langsung tertuju ke Levine yang duduk di balkon dengan kaos singlet saja. Ada sebatang rokok yang terselip di jari cowok itu.
“Vin,” panggilnya, membuat Levine menoleh.
Cowok itu terlihat gugup, lalu mematikan rokok yang masih sedikit panjang itu ke asbak. Ya, Sabina nggak suka sama cowok yang ngerokok.
Sekarang terlihat ada wajah kesal di sana. Gadis itu melangkah menuju ke tasnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Membiarkan saja Levine yang melangkah masuk, duduk di sampingnya.
“Ngusir lelah, Bi. Cuma sebatang, itu juga nggak habis.” Bujuknya, melingkarkan tangan ke pinggang Sabi.
Sabina mendesah pelan, mengambil sisir dari dalam tas. “Mandi sana.” Suruhnya, menyembunyikan kekesalan. Ya, Levine beneran berubah.
Levine mengulas senyum, mengecup sisi kepala Sabina. “Tungguin ya,” bisik Levine.
Ada yang meremang saat sapuan hangat nafas Levine menyentuh kulit bagian belakang telinga. Sabina makin menunduk menyembunyikan rasa panas yang tetiba menyergap wajah. Lalu mengangkat wajah saat Levine sudah beranjak, melangkah pergi menuju ke kamar mandi.
Di mana-mana sama sih, cowok kalau mandi paling cepet. Begitu juga dengan Levine yang keluar hanya bertelanjang d**a. Cowok ganteng itu melemparkan handuk ke sandaran kursi. Tersenyum manis saat tatapannya beradu dengan Sabina yang sudah ada di atas tempat tidur.
“Uumm, Vin,” seru Sabina saat Levine sudah duduk di sebelahnya. Dia salah tingkah.
Levine mengulas senyum, tangannya menyentuh wajah Sabina, menyuruh gadis itu untuk menatap ke arahnya. Dalam waktu singkat dua manusia itu saling tatap dengan jarak yang terkikis. Kedua mata Levine menatap tepat pada bibir Sabina yang sedikit terbuka. Semakin mendekat, lalu bibirnya menyentuh bibir itu, sangat lembut dan begitu hati-hati.
“Bi,” seru Levine, tepat di depan bibir Sabina. “Maaf sempat membuatmu ragu,” ungkapnya, merasa bersalah. Lalu bibirnya kembali meraub bibir yang sudah basah itu.
Sabina tak menjawab, dia memejamkan mata dengan kedua tangan yang mulai menyentuh lengan Levine. Lalu tangannya merambat semakin ke atas, mengalung di leher Levine saat sesapan demi sesapan di bagian bibir membuatnya sangat menikmati.
Tangan Levine tak diam saja, dengan gerakan lembut dia mengelus punggung Sabina. lalu semakin ke depan, meremas salah satu benda kenyal yang belum pernah sekali pun dia sentuh.
“Eggh ….” Lengkuh Sabina saat tangan Levine mulai menelusup masuk ke dalam kain dressnya.
Desahan yang lembut, sexi dan terdenga sangat menggairahkan. Namun, kedua mata Levine yang terpejam itu terbuka dengan begitu cepat. Lalu bibir yang sudah mengecupi lekuk leher itu mundur. Melotot, menatap wajah Sabina dengan keterkejutan.
“Vin,” seru Sabi, menatap bingung, heran dan … nggak ngerti.
Levine meneguk ludah. “Tad—tadi suara siapa?” tanyanya, sudah sama seperti orang bodoh.
“Hah?!” pekik Sabina, hampir tak percaya dengan apa yang Levine tanyakan.
Sungguh, desahan Sabina tadi membuat bayangan wajah Lala langsung terlintas di kepala. Lala yang merengek memintanya untuk dilepaskan. Lalu bibir manis yang mendesah dengan kedua mata memejam. Ada bulir yang menetes dari ujung mata itu, lengkap dengan bibir yang memanggilnya, meminta untuk menyudahi permainan.
‘Lala ….’ Seru Levine dalam hati.