Mobil Levine berhenti tepat di depan rumah sederhana yang sudah tak asing. Levine segera turun begitu mesin mobil mati. Melangkah cepat menuju teras, lalu jongkok dan bersimpuh tepat di depan Sabina yang duduk di kursi teras sembari sibuk mengusap kedua mata. Gadisnya menangis.
“Bi,” panggilnya lemah dengan suara yang terdengar begitu bersalah.
Levine meraih tangan Sabina, menggenggam tangan itu, lalu mencium punggung tangannya. Dia menengadah, menatap wajah cantik Sabina yang kedua matanya basah.
“Maafin aku, Bi,” pintanya.
Sabina membuang muka, menarik tangan dari genggaman tangan Levine. Lalu mengusap bulir yang hampir menetes. “Buat apa kamu ke sini?!” pertanyaan yang terdengar ketus, bahkan Sabina tak mau menatap wajah Levine.
Tangan Levine menyentuh kedua kaki Sabina, kembali dia meraih tangan Sabi. “Iya, aku salah, sayang. Aku akan tebus kesalahan aku. Aku akan lakuin apa pun biar kamu maafin aku.”
Sabina menatap wajah Levine yang tepat ada di depannya. Levine ganteng, kedua matanya memelas meminta untuk dimaafkan. Lalu bibir Levine yang sedikit tebal itu kembali mengecup punggung tangannya.
“Maafin aku, sayang,” pinta Levine lagi.
Sabina menghela nafas, menunduk menatap pangkuannya. “Sebenernya kamu serius sama aku, nggak sih, Vin?” tanyanya, kedua mata kembali berair mengingat seperti apa Levine beberapa hari ini. Dia sudah merasa jika sikap Levine berubah.
“Aku serius, Bi. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Makanya kamu jangan asal batalin acara kita.”
“Tapi kamu berubah, Vin. Aku nggak ngerti apa salahku, tapi aku … aku tau kamu mulai berbeda.” Keluh Sabi, lalu menghapus embun yang hampir menetes di kedua pipi. Dia menggeleng, menahan isakan. “Aku … aku mulai ragu sama kamu.”
“Bi,”
“Kamu beda ….” Keluh Sabi lagi.
“Bi,”
“Pernikahan kita tinggal di depan, Vin. Makin ke sini, bukannya aku semakin yakin, tapi … tapi sikapmu malah bikin aku semakin berfikir keras.” Sabi menatap dalam kedua mata Levine yang menatapnya sejak tadi. “Apa yang sebenarnya kamu sembunyiin, Vin?”
Levine menggeleng dengan begitu yakin. “Enggak ada, Bi.”
“Sebelum kamu ucapkan ijab kobul di depan penghulu, lebih baik kamu merenung. Tanyain ke hati kamu itu. Apa ada aku di dalam sana?” suruh Sabina, lalu gadis itu kembali mengusap kedua mata.
“Bi, aku—”
Sabina menarik tangan yang ada di dalam genggaman tangan Levine. Dia beranjak, berdiri dari duduknya. “Mending kamu pulang. Aku mau istirahat.”
“Bi,”
“Aku lelah seharian duduk di teras.”
Penjelasan Sabina membuat bibir Levine mengudara. Tak bisa mencegah gadis itu melangkah masuk membuka pintu depan. Lalu pintu itu langsung tertutup rapat, tanpa mempersilakannya untuk masuk lebih dulu.
Sabina menyandarkan tubuh di pintu, membekap mulut agar isakannya tak terdengar sampai ke kamar bapaknya. Dia tak mau bapaknya jadi kepikiran soal Levine yang memang di rasa mulai tak lagi seperti dulu. Melangkah pelan menuju ke kamarnya.
“Sabi,” panggil pak Basir, suaranya terdengar berat.
Sabina menekan d**a, lalu memejamkan mata sembari menarik napas dalam. Mencoba untuk menyantaikan hati dan perasaannya. “Iya,” jawabnya.
“Baru pulang?” tanya pak Basir yang tadi memang dipamiti Sabina kalau ingin pergi mengambil cincin nikah.
Sabina menggigit bibir. “Iya, Pak. Baru pulang.” Bohongnya, lalu tangannya mengusap kedua mata.
“Gimana? Cocok sama cincinnya?”
“Cocok kok, pak. Cincinnya juga pas.” Demi menjaga kesehatan bapaknya, dia terpaksa berbohong. “Aku kebelet pipis, pak. Sebentar ya,” pamitnya, lalu melangkah dengan sedikit berlari menuju ke kamar mandi.
Dan di luar rumah, tepatnya di teras depan. Levine menjambak rambut, melampiaskan perasaannya yang terasa kacau. Mendengar pembicaraan Sabina dan pak Basir yang hanya singkat itu, membuat sudut hati menyalahkan diri sendiri.
Pelan dia melangkah menuju mobil, membuka pintu kemudi dan masuk. Dengan hati-hati mobilnya melaju meninggalkan rumah tinggal Sabina. Ada sudut hati yang terasa sakit melihat tangis Sabina tadi, tapi sudut hati yang lain terasa sangat menggebu untuk menyuruhnya pergi, menyusul kepergian Lala.
“Aaggh!” Levine memukul stir dengan sangat kesal. “Bajingaan! Dia siapa sih?! Kenapa bisa bikin gue kepikiran kek gini?!” lalu mengacak rambut dengan sentaan nafas kasar.
**
Pukul 04.00pm
Algi mulai mengeliat, matanya terbuka dengan pelan. Lalu kedua tangan mengeliat dengan lengkuhan halus. Semalam penuh nggak tidur, ditambah dengan alkohol beberapa botol. Kepalanya terasa pening, badan juga males banget diajakin untuk bangun.
Namun, mengingat ada Lala yang ikut istirahat di rumahnya, dia tetap memaksakan diri untuk bangun. Langsung turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar sepuluh menit, Algi keluar hanya dengan celana kolor saja. Satu tangannya sibuk mengusap rambutnya yang basah. Menggelengkan kepala, mengibaskan rambut basah itu, lalu mendudukkan p****t di kursi kamar.
Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Melihat baterai yang sudah 100%, Algi langsung mencabut kabel carger yang tertancap di ponsel. Menunggu ponsel nyala, dia beranjak mengambil kaos di lemari. Melangkah sembari memakai kaos itu. Lalu meraih ponsel lagi dan melangkah keluar dari kamar.
Langkahnya terhenti saat tau jika ada chat yang masuk dari nomor Lala. Kedua mata melotot, hampir keluar dari kelopaknya. Dengan cepat dia menekan gambar telpon di pojok atas, lalu menempelkan ponsel ke kuping.
Satu tangan menyugar rambut dengan deru nafas yang memburu. Terlihat sangat kesal saat panggilannya tak mendapatkan jawaban. Tak lelah, kembali Algi mencoba menelpon nomor Lala. Dia keluar ke teras samping, berdiri di sana dengan satu tangan menekuk di pinggang.
“Astaga ….” Keluhnya saat panggilannya tetap tak mendapatkan respon.
Menatap jam yang tertera di bawah chat Lala. “Ini udah tadi pagi. Gue susul ke bandara pun, gue nggak bakalan ketemu sama dia.” Membuang napas panjang, lalu mendudukkan pantatt di kursi teras.
[La, kenapa pergi? kenapa nggak tunggu papaku pulang? Pasti papa ijinin kita nikah.]
[La, aku nggak mau jauh dari kamu.]
[Kamu baik-baik aja kan, sayang?]
Chat yang dia kirim, semua centang dua abu-abu yang artinya memang nomor Lala aktif.
“La, kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya, menatap ponsel yang tak bisa bicara.
Tak bisa tenang, Algi segera beranjak masuk ke dalam rumah. Langsung masuk ke kamar, memakai celana panjang dan mengambil jaket. Meraih kunci motor dan kembali keluar dari kamar.
“Lho, Al,” sapa Melati yang ada di ruang keluarga. “Kamu mau kemana?”
“Mau pergi bentar, kak. Uumm, tadi Lala bilang apa gitu nggak, ke kakak?” tanyanya, menatap kakaknya yang menyandar di sofa.
Santai Melati menggelengkan kepala. “Cuma pamit kalau mau pulang sih. Kenapa emang?”
Algi mendesah pelan sembari menarik resreting jeketnya ke atas. “Lala pergi ke Lombok, kak.”
“Hah?!” Melati menegakkan tubuh. “Dia mau ngapain ke Lombok?”
“Ke rumah neneknya. Mau menetap di sana katanya.” Curhatnya.
“Kamu ada masalah sama dia?” tanya Melati yang jadi kepo.
Algi menggeleng. “Yaudah, aku pergi dulu.”
Tak menunggu jawaban Melati, Algi ngeloyor keluar dari rumah. Segera naik ke motor dan menjalankan motor meninggalkan halaman rumahnya. Sekarang tujuannya adalah ke rumah tinggal Lala. Dia akan memastikan sesuatu di sana.
Kurang lebih dua puluh menit motor hitam Algi sudah sampai di depan rumah Lala. Cowok ganteng itu melepaskan helm, sudah menjadi kebiasaannya selalu mengacak rambut setelah helm terlepas dari kepala. Lalu menoleh saat ada mobil yang masuk ke halaman.
Rahang Algi mengeras melihat siapa yang duduk di kursi kemudi itu. Kedua matanya menyorot tajam dengan kedua tangan yang langsung terkepal erat. Bekas bibir berwarna merah sedikit keunguan yang sangat jelas terlihat di kulit putih Lala semalam, tak akan pernah dia lupakan. Tubuh bergetar dengan tangis ketakutan Lala serta hubungan dia yang hampir hancur, membuat amarah dan emosi langsung memenuhi d**a.
Algi segera turun dari atas motor, melangkah lebar menghampiri Levine yang baru saja keluar dari mobil. Dengan tanpa ba-bi-bu Algi langsung menarik kerah baju Levine.
Bhuk!
Levine yang tak siap dan tentu sangat terkejut, tak sempat menghindar. Sudut bibirnya sudah sobek, berdarah. Dia langsung terkapar di lantai, meringis menahan sakit.
Tak memberi kesempatan, Algi menunduk, kembali meraih kerah baju Levine. “Ini buat lo yang b******k!”
Bhukk!
“Ini buat elo yang bangsad!”
Bhukk!
“Ini buat Lala yang udah lo rusak!”
Bhuk! Bhuk! Bhuk!
“Dasar b******n! Anjing!”
Bhukk!
Vera yang mendengar ada suara ribut, segera berlari keluar rumah. Sangat terkejut melihat Algi yang gebukin Levine, bahkan anak tirinya itu sudah terkapar, tangannya mencoba melepaskan tarikan tangan Algi di bagian kerah baju, tapi terlihat kesulitan.
“Algi!” teriak Vera, lalu berlari mendekat. “Yaampun, Levine ….” Serunya terkejut melihat wajah Levine yang benar-benar babak belur. “Sudah, Al, sudah!” jerit Vera,
Bhukk!
Pukulan terakhir Algi yang tepat mengenai rahang hidung Levine, hingga ada darah segar yang keluar dari hidung mancung itu.
“Rasa sakit ini, nggak ada apa-apanya dari apa yang udah lo lakuin, b******k!” bisik Algi, tepat di depan wajah Levine yang sudah tak berdaya. Lalu melepaskan cekalan itu dengan mendorong tubuh lemah Levine. Membuat Levine terlempar sedikit keras ke lantai.
“Yaampun, Vin,” Vera mendekat, lalu jongkok menatap Levine yang meringis. Mendongak, menatap Algi yang deru nafasnya masih terlihat memburu. “Ada apa, Al? kenapa kamu gebukin Levine?”
Mendengar pertanyaan ibu dari gadis yang sangat dia cintai ini, membuat ingatan tentang Lala semalam, terlintas lagi. Algi kembali mengepalkan kedua tangan erat, lalu menggeleng. “Maaf,” ucapnya, lalu melangkah pergi menuju ke motornya.
Algi menaiki motor, menatap Vera yang berusaha menolong Levine. Namun tangannya di tepis oleh Levine beberapa kali. Rasa benci sudah terpupuk di dalam dirinya atas semua kelakuan Levine. Algi memutar kunci, menghidupkan mesin motor dan segera melajukan motor kesayangan meninggalkan rumah tinggal Lala.
Melihat Levine tetap berada di rumah, ada rasa tenang di dalam hati. Setidaknya, di perantauan sana Lala bisa hidup tenang tanpa rasa takut lagi.
**
Begitu tiba di bandara internasional Lombok, Lala memesan taxol untuk sampai ke Lombok Timur; kota tujuannya. Kurang lebih dua jam lebih beberapa menit, mobil taxi berwarna kuning yang mengantarkan Lala berhenti di kecamatan Jerowaru. Pak sopir membangunkan Lala yang tertidur di kursi penumpang.
Begitu turun dari taxi, Lala sempat memukul kepalanya karena merasa pusing. Dia tak tidur sehari semalam, lanjut sampai pagi dan sekarang sudah sore. Tersenyum saat melihat orang yang dia kenal keluar dari dalam rumah sederhana di depan sana.
Wanita berambut sebahu itu memekik, diam memerhatikan Lala yang melangkah mendekat. Lalu kedua mata melebar dengan binar bahagia saat melihat senyuman di bibir Lala.
“Yaampun, Lala ….” Seru Vani, adik kandung papa Lala.
Lala menyambut kedua tangan yang terlentang untuk memeluknya. Tersenyum bahagia, sampai ada embun di kedua mata.
“Ke sini kok nggak kabari dulu, La,” ucap Vani sembari melepaskan pelukan.
Lala mengusap kedua mata yang mengembun. “Pengen kasih kejutan.” Akunya, bohong.
“Aahh, kamu.” Vani memukul lengan keponakannya pelan. “Yaampun, kamu cantik banget lho,” pujinya.
Lala hanya tersenyum. “Nenek di mana, tan?”
“Ada, di belakang. Ayok,” ajaknya, lalu menuntun tangan Lala untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Sambutan hangat dan bahagia membuat Lala menangis haru. Rasa rindu sang nenek yang memang hanya memiliki cucu satu-satunya, yaitu Lala seorang, membuat Lala teramat di nanti kehadirannya di rumah ini.
Vani menjanda, dia diceraikan suami karena keluarga suami tak sabar ingin cepat memiliki seorang bayi. Sedangkan Vani tak juga hamil, padahal usia pernikahan mereka sudah delapan tahun. Suaminya sudah menikah lagi tiga tahun yang lalu, tepat dua minggu setelah dinyatakan resmi bercerai dengan Vani. Namun, hingga kini suaminya itu juga belum memiliki anak.
Vani sendiri belum ada niat untuk kembali membina rumah tangga. Tentu takut dan trauma jika kejadian dulu kembali menimpanya.
Pukul delapan malam Lala sudah masuk ke kamar yang sudah disiapkan oleh Vani. Dia tersenyum menatap tubuhnya yang berbalut daster kain milik Vani. Ya, karna Lala pergi ke sini tak membawa apa pun.
Dia naik ke atas tempat tidur, menyandarkan punggung di papan ranjang. Tangannya meraih tas, mengambil ponsel yang sejak siang tadi dia biarkan saja. Bibirnya mengulas senyum membaca rentetan chat yang dikirim oleh Algi. Ada rasa bahagia karna dalam keadaan terpuruk seperti ini, Algi tetap tak meninggalkannya.
Sedikit terkejut saat ponsel di genggaman langsung berdering. Ada panggilan vidio call yang masuk. Pelan jari Lala menggeser tombol berwarna hijau, lalu ada wajah Algi di dalam layar hapenya.
“La,” sapa Algi, terlihat meneliti setiap inci wajah Lala yang ada di layar. “Astaga … sayang ….” Rintih Algi, lalu mendesah dengan penuh kelegaan.
Lala mengulas senyum. “Aku baik-baik aja, Al,” ucapnya saat melihat ada wajah khawatir di wajah tampan kekasihnya.
Senyum manis Lala menular ke Algi. “Iya, aku khawatirin kamu banget, yaang.”
“Maaf ya, pas sampai tadi aku nggak langsung kabari kamu. Aku tadi langsung ngobrol-ngobrol sama tante dan nenek. Ini baru selesai makan malam dan beresin dapur. Enggak marah kan, Al?”
Algi tertawa kecil, rasanya ingin mencubit pipi Lala. “Aku nggak pernah marah sama kamu, sayang.”
Mendengar hal yang memang fakta itu, Lala kembali tersenyum.
“La, kirim alamat lengkap rumah nenekmu ya,” pinta Algi.
Lala mengerjab beberapa kali. “Kenapa? Kamu mau ke sini?”
Algi menggelengkan kepala. “Tapi kalo boleh, aku pasti ke situ.”
Lala langsung memanyunkan bibir dengan gelengan. “Kamu harus kuliah, Al. Jangan kecewain papa sama mamamu.”
Algi hanya diam dan terus menatap wajah cantik yang sudah berhasil membuatnya cinta mati. “Baik-baik di sana ya, sayang. Jangan pernah lupa untuk selalu chat aku. Selalu kasih kabar ke aku. Karna kalau kamu nggak kasih kabar, aku bakalan susulin kamu ke situ.”
Lala tertawa kecil mendengar ancaman Algi, lalu mengangguk. “Kamu juga baik-baik ya. Nggak boleh ke club lagi, nggak boleh mabuk lagi. Kuliahnya yang bener.”
Algi mengangguk, seakan benar-benar patuh dengan apa yang Lala katakan tadi. “La,” panggilnya.
Lala melebarkan kedua mata tanpa menjawab.
“Kalau terjadi sesuatu … jangan sembunyikan dari aku.” Kata Algi kemudian.
Mendengar itu, wajah Lala berubah jadi sedikit tartekuk. Lala menatap ke lain arah dengan d**a yang sekarang bergemuruh.
“Apa pun yang terjadi besok, kamu harus kabari aku. Kamu harus ingat, ada aku. Ada aku yang ada buat kamu.”
Lala meneguk ludah. Dia memang takut jika sewaktu-waktu akan ada nyawa di dalam rahimnya.
“La,” panggil Algi, karna Lala tak juga menyahut.
Lala mengangguk tanpa mengatakan apa pun.
“La,” panggil Algi lagi.
“Iya, Al. Aku pasti bilang ke kamu.”
“Janji,” pinta Algi.
Tangan Lala terkepal, dia sayang Algi, dia nggak mau lukai Algi. Kembali Lala meneguk ludah. “Iya, janji.”