Eps 17

2277 Kata
“Usia kehamilannya sudah delapan minggu, tapi sangat bagus kalau ibu nggak mengalami morningsickness. Jadi tidak akan mengganggu nafsu makan, debay juga akan mudah mendapatkan nutrisi. Usia kehamilan yang masih muda, adalah usia paling rawan, jadi harus benar-benar dijaga. Tidak boleh terlalu kelelahan, tidak boleh banyak pikiran dan jangan sampai kurang tidur. Saya akan beri vitamin dan obat penambah darah.” Lalu bidan itu beranjak, mengambil toples kecil untuk menyiapkan obat. Kedua tangan Lala mengepal erat dengan ludah yang tercekat di tenggorokan. Ini adalah hal yang paling dia takutkan. Diusianya yang baru sembilan belas tahun, dia sudah hamil? Kenapa dia tak bisa memilih jalan hidupnya? Kenapa Tuhan tak mengijinkannya untuk memiliki cita-cita? Lalu … akan bagaimana setelah ini …. Lala menunduk, menatap tangan yang sekarang meremas perut tipisnya. Menggigit bibir untuk menahan luka hati dan pikiran yang semakin terasa menyakitkan. “Yaang,” Usapan lembut tangan Algi di bagian bahu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan. Menoleh, menatap Algi ketika tangannya di raih, lalu digenggam Algi. “Ada aku, yaang. Kita hadapi semua sama-sama,” bisik cowok ganteng itu dengan senyum yang begitu meyakinkan. Lalu mengecup punggung tangan Lala, cukup lama. Lala menunduk, hanya bisa mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Lalu mereka berdua keluar setelah mendapatkan obat. Dengan motor matik milik Vani, Algi membawa Lala pergi dari rumah bidan itu. Algi menghentikan motor di tempat parkir pantai. Menyerahkan selembar uang sebagai jasa parkir, lalu menggandeng tangan Lala untuk menyusuri pantai. “Al, kenapa ke sini?” tanya Lala, celikukan mengamati suasana pantai yang memang sangat indah. Hanya saja, dengan pikiran yang penuh seperti sekarang ini, Lala tak bisa menikmati keindahannya. Algi melirik kekasihnya, mengulas senyum tipis. “Biar nggak suntuk.” Mereka terus berjalan melewati pinggir pantai, melewati beberapa orang yang duduk dan bermain air. Setelah mendapatkan tempat yang sedikit jauh dari keramaian, Algi mengajak Lala untuk duduk beralas pasir. “Ini pantai apa?” tanya Lala, mulai memerhatikan laut lepas di depan sana. “Pantai pink, tadi di depan ada tulisannya. Tapi aku tau pasti kamu nggak baca. Terlalu fokus sama kesedihanmu.” Sahut Algi, menjawab pertanyaan Lala yang hanya singkat. Lala menunduk, memainkan pasir di samping kakinya. Ya, dia memang sedang banyak pikiran. Bukan hanya memikirkan soal kehamilannya, tetapi dia memiliki rasa takut dan rasa khawatir akan dihujat banyak orang. Hamil di luar nikah, siapa yang tak akan menghujat? Ditambah dia hamil anak Levine; kakak tirinya yang sekarang sudah menikah. Apa pendapat orang-orang tentang semua ini? “La,” Algi meraih tangan Lala, menggenggamnya. “Aku udah bilang, aku yang akan bertanggung jawab. Aku yang akan nikahin kamu.” Mendengar itu, Lala tak tahan membendung air matanya. “Al, tapi ini bukan perbuatan kamu. nggak seharusnya kamu—” “Aku udah bilang, La. Kita hadapi ini sama-sama. Aku cinta sama kamu, dan aku mau hidup selamanya sama kamu. Aku nggak peduli itu anak siapa, asal itu kamu, semuanya adalah milikku. Jadi, aku yang akan menjadi ayahnya nanti. Aku akan mengakuinya. Aku ayahnya, La,” tutur Algi panjang, menatap wajah Lala yang sudah banjir air mata. Algi meraih tubuh Lala, merangkul dan membawanya untuk menyadar di d**a. Lembut dia mengecup sisi kepala Lala. “Aku nggak akan biarin kamu hadapi semua sendirian, La.” “Tapi gimana kalau mereka tau … kalau ternyata aku hamil sama kakak—” “Sstt!” Algi mengecup sisi bibir Lala, membuat Lala tak meneruskan kalimatnya. “Tak perlu mengatakan kebenaran. Cukup katakan jika itu adalah anakku. Aku, La, bukan lelaki lain.” “Al,” pekik Lala, menengadah, menatap wajah Algi yang berada sangat dekat dengan wajahnya. “Al, kamu ….” Cowok ganteng itu mengulas senyum, wajahnya terlihat begitu santai. “Kamu sayang aku kan, La?” Lala menggeleng dengan dua bulir yang jatuh ke pipi. “Aku nggak mau sakiti kamu, Al … aku nggak mau.” “La, aku akan bahagia jika hidup sama kamu.” Lala terisak, mengusap hidung dan kedua mata yang sudah banjir. “Tapi … tapi kenapa kamu harus tanggung jawab sama apa yang bahkan nggak pernah kamu lakukan, Al … aku … aku ….” Algi makin mengeratkan pelukannya. “Kita saling cinta, La. Kita saling sayang. Semuanya akan baik-baik saja asal itu kamu dan aku.” Lala melingkarkan kedua tangan, membalas pelukan Algi. Rasa sedih, rasa hancur dan rasa bahagia karena memiliki Algi, membuat tangis Lala semakin menjadi. “Makasih, Al, makasih. Aku cinta kamu, Al, aku sayang kamu ….” Algi memejamkan mata, ada bulir yang menetes mengaliri pipi putihnya. Jujur, sebenarnya keadaan hati dan pikirannya tak baik-baik saja. Ada luapan emosi, amarah dan kesedihan yang sekarang sedang menyerang pikiran dan hati. Tetapi dia tau Lala sekarang sedang membutuhkan sandaran, sedang berada di titik terendah. Algi mengendurkan pelukan setelah tangis Lala mereda. Tersenyum dengan tangan yang mengusap kedua pipi putih Lala. Menunduk, lalu mengecup kedua mata Lala yang basah. “Ada aku, jangan sedih lagi.” Ucapnya tepat di depan wajah Lala. Senyum tampan itu menular ke bibir Lala. Gadis cantik itu mengangguk dengan wajah yang sudah terlihat lebih baik. “Janji ya, La,” pinta Algi, menatap wajah Lala yang juga menatapnya. “Jangan pernah tinggalin aku. Tetap stay sama aku, tetap cinta aku dan jangan pernah lakukan hal gila. Harus selalu ingat, ada aku yang cinta dan sayang sama kalian.” Mendengar kata ‘kalian’ kening Lala berlipat, dia belum paham. Sampai Algi menyentuh perut Lala yang masih sangat tipis. “Kamu dan … anak kita.” Bibir Lala sedikit terbuka, lalu bulir kembali menetes di kedua pipi. Terasa sakit mendengar penjelasan Algi tadi, tetapi memang kenyataannya seperti itu. Lebih menyakitkan ketika melihat Algi yang harus mengakui jika bayi di dalam rahimnya itu adalah anaknya. Lala berhambur, ngusel di d**a Algi. “Kamu malaikatku, Al ….” Tangan Algi bergerak, mengusap lembut punggung Lala. “Nanti aku bantu ngomong sama tante dan nenek. Juga sama papa dan mamamu.” Tak mengatakan apa pun, Lala hanya mengangguk di dalam dekapan Algi. ** Sepulang dari resto, Sabina mulai sibuk menyiapkan makan malam untuk bapak dan suaminya. Ya, jadi selama ini Sabina masih bekerja partime di sebuah resto yang tak terlalu jauh dari kampusnya. “Vin, makan dulu,” suruhnya, hanya menongolkan kepala di ambang pintu. Levine baralih dari layar laptop di depannya, lalu mengangguk dengan senyum tipis. Mematikan laptop lebih dulu, menyempatkan mengusap layar ponsel. Lalu tersenyum saat membuka file tersembunyi di dalam galerynya. Ada dua foto yang ia simpan, semua foto Lala yang terlihat sangat imut. Levine segera beranjak, menyimpan ponsel di saku celana lalu melangkah keluar dari kamar. Tersenyum saat tatapannya beradu dengan bapak mertua. Kedua mata menatap atas meja, ada ayam opor, sambal dan kerupuk. Menu yang cukup simple, dan pasti tadi Sabina membawanya dari tempat kerja. Levine mengelus perut setelah mendudukkan p****t di kursi. Entah kenapa tiba-tiba nafsu makannya jadi memburuk. “Udah, nasinya dikit aja, Bi.” Larangnya ketika Sabina akan kembali mengambil secentong nasi. Sabina melirik suami. “Ini baru setengah centong, Vin.” “Ntar nambah aja.” sahutnya, lalu mengambil sendok sayur. Menuangkan opor ayam serta bagian paha ayam ke piringnya. “Ini tadi kamu bawa dari resto?” Sabina mengambil duduk di samping Levine. “Bukan, ini warung yang di depan resto. Di resto kan khusus sea food. Enggak ada aya—” Kalimat Sabina menggantung di udara saat dengan cepat Levine mendorong kursi mundur. Lalu suaminya itu berlari menuju ke kamar mandi. Hoekk! Hooeek! Hooekk! Mendengar itu Sabina dan pak Basir saling tatap. Lalu menatap ke arah piring Levine yang nasinya baru habis beberapa suap saja. “Bi, suamimu sakit?” tanya pak Basir yang tentu juga penasaran. Sabina menggeleng, lalu beranjak meninggalkan piringnya yang belum terisi apa pun. Dia pergi menyusul Levine yang masih terdengar muntah-muntah. Lalu membantu suaminya kelaur dari kamar mandi, memapah Levine. “Vin, kamu kenapa? Perutmu sakit?” tanyanya disela melangkah masuk ke kamar. Begitu duduk di tepi tempat tidur, Levine menggeleng. Mengelus perutnya yang terasa aneh. “Enggak sakit sih. Tapi … opornya nggak enak. Rasanya … nggak kek biasanya.” Kening Sabina berlipat mendengar apa yang dikatakan Levine. “Uumm, kamu mau makan apa?” Levine menggeleng. “Kamu selesaiin makanmu dulu. Nanti buatin aku kopi aja.” ucapnya, lalu menyandarkan kepala ke papan ranjang. Sabina mengangguk, memilih melangkah kelaur kamar. Membiarkan Levine sendiri dulu. bahkan semenjak kejadian malam pertama yang dulu itu, Sabina tak lagi banyak meminta, tak lagi terlalu peduli. Memilih diam, agar semua terlihat baik-baik saja di mata bapaknya. “Kenapa Levine?” tanya pak Basir begitu Sabina kembali duduk di kursi yang tadi. Sabina mengambil sendok nasi, lalu menaruh secentong nasi ke piringnya. “Masuk angin, pak. Dia keseringan tidur malam.” Jawabnya ngasal. “Coba dikerikin, Bi. Mungkin nanti bisa membaik.” Saran si bapak. “Iya, nanti abis makan aku coba tawarin ke Levine.” Usai makan, Sabina kembali ke kamar. Menaruh secangkir kopi yang Levine mau. Memilih duduk bersandar papan ranjang sembari membuka laptop karena Levine menolak saat dia menawarkan diri untuk mencarikan obat. Setelah pukul sembilan malam Sabina keluar kamar untuk menyiapkan obat pak Basir. Membantu bapaknya tidur. Membuat kopi untuk diri sendiri lalu membawanya masuk ke kamar. Duduk diam di atas tempat tidur dengan laptop dipangkuan, tetapi kedua mata terfokus pada suaminya yang ada di kursi sana dengan tangan yang sibuk memainkan mouse. Sabina mengalihkan tatapan saat mengingat kejadian malam yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup itu. Tangannya mengepal kencang saat bayangan wajah Levine yang berada di antara kedua kaki itu terlintas. Wajah tampan yang kedua matanya memejam dalam dengan bibir manis yang mendesah merasakan kenikmatan. Lalu beberapa kali bibir itu memanggil sebuah nama yang bahkan dia sendiri tak pernah mengira. ‘Mungkinkah itu … Lala adik tiri yang tinggal serumah sama Levine? Gadis berambut panjang yang katanya sangat Levine benci itu?’ tanyanya dalam hati, mengingat setiap desahan yang keluar dari bibir Levine malam itu. Dengan cepat Sabina menghapus kedua mata yang sudah mengembun. Dia memilih mematikan laptop, menutupnya dan menyimpannya di atas meja yang ada di samping ranjang. Menarik selimut, tidur miring dengan kedua mata yang berair. Di meja sana, Levine memijat pelipisnya beberapa kali. Lalu menatap cangkir berisi kopi yang tentu seleranya. Entah kenapa tetiba dia malas dengan kopi itu. Mematikan laptop lalu beranjak dari duduk. Diam menatap istrinya yang sudah berbaring membelakangi. Levine tersenyum menatap punggung Sabina yang tertutup kain halus berwarna cream. Dia naik ke atas tempat tidur, masuk ke dalam selimut yang sama dan berbaring di samping Sabina. Tangannya menelusup, melingkar di perut tipis Sabina. Memejamkan mata, sedikit mendekatkan wajah, berhenti saat sudah ada di leher belakang Sabina, lalu menghirup aroma tubuh Sabina yang selalu sama. Mencoba melupakan bayangan Lala yang berhasil membuat kepalanya terasa penuh. Lalu Levine mendesah saat di dalam perutnya terasa bergejolak. Segera dia menyibak selimut dan turun dari ranjang, berlari keluar kamar menuju ke kamar mandi yang memang berada di luar. Dia muntah lagi, makanan yang dia makan tadi siang. “Vin,” Sabina mengejar suami, mengelus tengkuk Levine dan menyodorkan air hangat di dalam gelas. “Kita periksa aja, ya?” tawarnya. Levine menggeleng, mendudukkan p****t di kursi depan teve. “Keknya aku pulang ke rumah dulu ya, Bi.” Ijinnya, menengadah, menatap istrinya yang berdiri di samping kursi yang ia duduki. “Kenapa? Kamu baru sakit gini, Vin. Bahaya kalau nyetir.” Levine memijat pelipis lagi, sekarang kepala terasa berdenyut. Pengen banget tidur di rumah, bayangin ranjang empuk di kamar Lala, sepertinya nyenyak banget. “Aku pesen taxol.” “Vin,” Levine meraih tangan Sabina, menggenggamnya dan menatap tepat pada kedua mata cantik itu. “Malam ini aku pengen banget tidur di kamarku, Bi. Rasanya kangen banget tidur di rumah. atau kamu mau ikut pulang?” Sabina menarik tangan dari genggaman. “Yaudah, pulang aja. Aku harus jagain bapak di rumah.” Pukul setengah sebelas malam, Sabina berdiri dengan kedua mata yang menganak sungai menatap mobil taxi yang membawa suaminya pergi. Lelaki yang ia cintai dan dulu begitu mencintainya itu, sekarang sudah jauh berubah. Levine yang dulu, bisa membedakan Sabina yang tak suka, tak nyaman, ngambek dan sedang protes dengan apa yang sedang dilakukannya. Namun, sekarang semua jauh, sangat jauh berbeda. Bahkan Levine tetap pergi meninggalkannya di rumah sendirian. Ah, nggak sendirian sih, masih ada bapak. Tapi tetap saja, malam-malam Sabina hanya akan berteman dengan dingin dan sepi. ** Lala memeluk Algi sangat erat, mengirup aroma tubuh kekasihnya yang dari dulu begitu ia sukai. Lalu melepaskan pelukan, mendongak menatap wajah tampan Algi. Memejamkan kedua mata saat sebuah kecupan mendarat di kening cukup lama. “Jaga diri baik-baik. kamu dan dia harus sehat.” Pesan Algi, mengelus perut tipis Lala dengan senyum yang sama. Lala mengangguk dengan kedua mata yang mengembun. “Tunggu aku ke sini sama papa mamaku. Aku pasti akan bawa kamu pulang ke rumahku,” lanjut Algi berucap, mengelus pipi Lala yang sudah dialiri air mata. Bibir Lala mengulas senyum disela derai air mata. “Aku hanya akan pulang kalau kamu yang jemput. Jadi … jangan sampai lupa sama janjimu, Al. Aku … nunggu kamu.” Algi mengangguk dengan begitu yakin. “Iya, sayang.” Sedikit membungkuk, mengecup bibir manis itu sekilas. Melepaskan genggaman tangan, lalu melambai dan melangkah pergi. Lala membalas lambaian tangan itu, mengusap kedua mata yang jadi tak bisa melihat sekitar karna tertutup oleh embun. Menoleh saat sebuah tangan merangkul pundaknya, ada Vani yang berdiri di dekatnya. “Tante nggak suka dibohongi, tapi … tante dukung kebohongan yang akan kalian lakukan ini.” Ucap Vani dengan kedua mata yang fokus menatap punggung Algi. “makasih, tan,” Lala menunduk, tangannya masih sibuk mengusap wajah. “Besok tante bantu ngomong sama mamamu.” Lala mengangguk, lalu melangkah meninggalkan bandara setelah melihat bayangan Algi yang sudah menghilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN